Al-Qusyairi menyebutkan bahwa
pengertian ikhlas adalah menghindarkan ketaatan dari tujuan tertentu. Artinya,
ketaatan itu dilakukan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ketaatan itu
dilakukan tidak untuk sesuatu yang lain, semisal agar dilihat orang lain, agar
dipuji orang lain, atau tujuan lain yang bersifat keduniaan.
Adapun Ar-Raqaq mengungkapkan
definisi ikhlas sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa menghiraukan perhatian
orang lain, jujur, dan bahkan diri sendiri pun mengacuhkan perbuatan yang sudah
dilakukan itu.
Kedua penulis lalu menjelaskan
tiga tanda keikhlasan sebagaimana pernah diungkap Dzun Nun, yaitu (1) pujian
atau cacian dari manusia dianggap sama; (2) langsung melupakan apa yang sudah
dilakukan; dan (3) menunggu balasan perbuatan hanya di akhirat.
Imam Syafi’i pernah mengatakan,
“Saya berharap kalian semua mempelajari ilmu ikhlas ini dengan
sebenar-benarnya, jangan sampai tertinggal barang satu huruf pun!” Imam Syafi’i
juga menambahkan, “Setiap kali berbicara dengan seseorang, saya selalu
mendoakan ia dapat mengamalkan ilmu ikhlas. Saya juga berharap ia mendapat
lindungan Allah Swt.” Dalam hal ini, Imam Syafi’i telah memberikan teladan
keikhlasan. Imam Syafi’i ingin orang lain belajar darinya dan ia tak
mengharapkan balasan apa pun, termasuk misalnya ilmu yang didapat orang lain
darinya tidak disandarkan kepadanya, ia pun tetap tidak mempermasalahkan. Imam
Syafi’i hanya mengharapkan balasan dari Allah Swt.
Sementara itu, ria (budaya
pamer) merupakan kebalikan dari ikhlas.
Ria yaitu beramal demi dilihat oleh manusia. Rasulullah Saw sendiri pernah mengingatkan bahaya ria dalam sabda beliau, “Hal
yang paling aku khawatirkan dari umatku adalah ria dan hawa nafsu tersembunyi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar