Kedua penulis memulai bab ini
dengan menyebutkan bahwa sikap berlebihan dalam amar makruf nahi mungkar hadir dalam banyak bentuk dan macamnya. Di antaranya ada orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar tujuannya tidak lain adalah untuk memenuhi kegemarannya
dalam menguasai dan menaklukkan orang lain. Ada pula orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar secara berlebih-lebihan dalam arti untuk
memenuhi hawa nafsunya. Di sisi lain, ada pula orang yang suka melakukan amar makruf nahi mungkar, tetapi ia justru merasa kecewa jika
kemungkaran sudah mereda ketika ia sebelum datang. Hal itu karena ia merasa
tidak kebagian dalam mencegah kemungkaran dimaksud dan tidak berkesempatan
melawan atau menyakiti pelaku kemungkaran. Hal semacam ini tentu tidak baik
mengingat tujuan adanya perintah amar makruf nahi mungkar adalah untuk kebaikan
umat secara keseluruhan. Artinya, asalkan kemungkaran itu sudah tidak ada maka
hal itu menunjukkan kemajuan, tidak pandang siapa yang mencegah kemungkaran
itu. (hal. 33)
Keikhsalan merupakan rahasia
antara Allah dan hamba-Nya. Tidak ada yang mengetahui keikhlasan seseorang
kecuali Allah Swt., sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Dia mengetahui
(pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada” (QS.
Ghafir [40]: 19). Menurut
penulis buku ini, penting
bagi setiap orang untuk belajar keikhlasan, termasuk dalam melakukan amar
makruf nahi munngkar. Hal itu karena sebagaimana amalan lain, amar makruf nahi
munngkar pun dilakukan tidak lain untuk mencari ridha Allah. Allah Swt berfirman, “...Maka barang siapa mengharap
pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan
janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada
Tuhannya” (QS. Al-Kahfi [18]: 110).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar