Selasa, 26 Maret 2013

Islam Agama yang Moderat dan Toleran



Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini di sebut dalam al-Qur’an sebagai ash-Shirath al-mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub ‘alaihim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan. Kalau al-magdhubi ‘alaihim di pahami sebagai kelompok yahudi, seperti dalam sebuah penjelasan Rasul, itu karena mereka telah menyimpang dari jalan lurus dengan membunuh para nabi dan berlebihan dalam mengharamkan segala sesuatu. Demikian jika adh-dhallin di pahami sebagai kelompok nasrani, itu karena mereka berlebihan sampai mempertuhankan nabi. Umat Islam berada di antara sikap berlebihan itu, sehingga dalam al-Qur’an di beri sifat sebagai ummatan wasathan. Allah berfirman:
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (pebuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 143)
     Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; ‘kiri’ dan ‘kanan’, berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat demawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhil) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan ‘tengah’. Dalam sebuah Hadits nabi, ummatan wasathan di tafsirkan dengan ummatan ‘udulan, jamak dari ‘adl (umat yang adil dan proporsional). Karena mereka umat yang adil, di tempat lain dalam al-Qur’an mereka di sebut sebagai khairu ummah, umat terbaik (Qs. Ali ‘Imran [3]: 110).  Keterkaitan ini mengesankan bahwa sikap moderat adalah yang terbaik, sebaliknya sikap berlebihan (al-ghuluww) terutama dalam keberagamaan menjadi tercela. Al-Qur’an mengecam keras sikap ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani yang terlalu berlebihan dalam beragama. Allah berfirman:
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya al-masih,  ‘Isa putra maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-nya yang di sampaikan-nya kepada maryam, dan (dengan tiupan) roh darinya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Rasulnya dan janganlah kamu mengatakan: “(tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaannya. Cukuplah Allah sebagai pemelihara”, (Qs. Al-Nisa [4]: 171)
     Sikap berlebihan ini pula yang menjadikan tatanan kehidupan umat terdahulu rusak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. Bersabda:
“jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya sikap berlebihan telah membinasakan umat sebelum kalian.
     Melihat sebab wurud (lahirnya) Hadits ini, ada satu pesan yang ingin di sampaikan oleh Rasulullah, yaitu sikap berlebihan dalam beragama terkadang di mulai dari yang terkecil, kemudian merembet ke hal-hal lain yang membuat semakin besar. Hadits ini di latarbelakangi oleh peristiwa saat nabi melakukan Haji Wada. Ketika di Muzdalifah beliau meminta kepada Ibnu Abbas agar di ambilkan kerikil untuk melontar ke mina. Lalu Ibnu Abbas memberikan beberapa batu kecil yang kemudian di komentari dengan pernyataan di atas. Komentar tersebut mengingatkan agar jangan sampai ada yang berfikiran, melontar dengan menggunakan batu-batu besar lebih utama dari pada batu-batu kecil, mengingat ramyul jamarat (melontar jumrah) merupakan simbol perlawanan terhadap setan. Niatnya memang baik, di dorong oleh semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi itu belum cukup. Kualitas sebuah amal dalam Islam sangat di tentukan oleh niat yang ikhlas dan di dasari ilmu pengetahuan. Peringatan agar tidak berlebihan ini, menurut Ibnu Taimiyah, berlaku dalam hal apa saja; keyakinan maupun ibadah atau perbuatan.
     Kenyataan yang kita hadapi saat ini, semangat keberagamaan yang tinggi telah mendorong sebagian kalangan,terutama kalangan muda, mengambil sikap berlebihan (al-ghuluw) dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama yang mendukung perlawanan terhadap hegemoni Negara tertentu. Sikap ini menurut Yusuf al-Qardhawi, biasanya diikuti dengan sikap: a) fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda; b) pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan tertentu yang biasanya sangat ketat dank eras; c) su’u zhann (negative thinking) terhadap orang lain karna menganggap dirinya yang paling benar; d) menganggap orang lain yang tidak sepaham sebagai telah kafir sehingga halal darahnya.
     Sikap ini bukan saja telah menjauhkan mereka dari sesama muslim, apalagi non-Muslim, tetapi juga menjauhkan mereka dari Islam yang ajarannya sangat modert dan toleran, terutama terhadap mereka yang berbeda, bak keyakinan maupun pandangan keagamaan. Catatan hitam aksi kekerasan yang di lancarkan beberapa kelompok Islam garis keras di Mesir dari tahun 1976 sampai 1996 menunjukkan sasaran aksi tersebut tidak hanya kepada non-muslim seperti para turis,tetapi juga sesame muslim.Motif aksi terhadap non-muslim,seperti tercantum dalam beberapa dokumen jama’at al-jihad seperti sabilul huda wa al-rasyad dan al-kalimat al-mamnu’ah,adalah karena meraka orang kafir yang memasuki sebuah Negara isalam tanpa ada perjanjian sehingga wajib diperangi. Visa yang mereka peroleh sebagai jaminan keamanan memasuki sebuah Negara dianggap tidak sah karena dikeluarkan oleh pemerintah yang kafir karena tidak menerapkan syariat Islam.
     Motif tersebut memang bukan satu satunya. Banyak faktor yang melatarbelakangi aksi-aksi tersebut seperti politik, social, budaya dan lain sebagainya, tetapi faktor-faktor tersebut bukan tempatnya diurai disini. Bukan berarti tidak penting,tetapi yang terucap dan terungkap melalui berbagai pernyataan atau penyidikan adalah motif keagamaan yang diterjemahkan dalam pemahamaan teks-teks keagamaan yang sempit. Maka,menjadi penting untuk menumbuhkan kembali sikap moderasi Islam,terutama dalam hubungannya dengan non-muslim maupun dalam menyikapi berbagai realitas kehidupan. WAllahu A’lam.
                             












Senin, 25 Maret 2013

Pemahaman al-Quran dan al-Hadis: Dulu dan Sekarang



Ulama besar, asy-Syathibi, dalam kitab al-Muwafaqat mencatat empat aliran dalam pemahaman al-Qur’an dan Hadits, yaitu Zhahiriyyah (literal), bathiniyyah, al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas (rasionalis dan cenderung liberal), dan al-Rasikhun fi al-‘Ilm (mendalam ilmunya dan moderat).[1]
                     
  1. Zhaririyyah
Sebuah mazhab fiqih yang berlandaskan pada al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, tetapi menolak intervensi akal dalam bentu qiyas, ta’lil, istihsan, dan lain sebagainya. Zhahiriyah, sebutan bagu para penganut mazhab ini, terambil dari nama tokoh panutannya, Daud bin Ali azh-Zhahiri. Muncul pertama kali pada paruh pertama abad ketiga Hijriah.
            Dalam memahami teks keagamaan Zhahiriyah berpegang kepada tiga prinsip dasar:
a.        Keharusan berperang teguh pada lahiriah teks dan tidak melampauinya kecuali dengan teks yang zhahir lainnya atau dengan konsessus (ijmak) yang pasti. Penggunaan akal tidak diperkenankan.
b.        Maksud teks yang sebenarnya terletak pada zhahir, bukan di balik teks yang perlu dicari dengan penalaran mendalam. Demikian pula maslahat yang dikehendaki syara’.
c.         Mencari sebab di balik penetapan syariah adalah sebuah kekeliruan. Ibnu Hazm, salah seorang tokohnya berkata,  “Seseorang tidak boleh mencari sebab dalam agama dan tidak diperkenankan mengatakan ‘ini’ adalah sebab ditetapkannya ‘itu’, kecuali ada nash tentang itu.” (La yus’alu ‘amma yaf’alu wahum yus’alun).
Banyak hasil ijtihad kelompok Zhahiriyah dalam memahami teks yang dinilai keliru oleh para ulama, antara lain karena:
a.        Tidak mau menggunakan akal dalam pengambilan hukum dengan memperluas cakupan zhahir, sehinggal al-Qur’an tidak lagi mampu mengantisipasi berbagai kemaslahatan yang timbul kemudian.
b.        Jumud dan tidak mengikuti perkembangan zaman, sehingga bertentangan dengan fungsi al-Qur’an sebagai kitab abadi di setiap ruang dan waktu. Teks al-Qur’an terbatas, sementara peristiwa dan kejadian yang dialami manusia selalu berkembang.
c.         Tidak sejalan dengan rasionalitas al-Qur’an, karena hanya membatasi pemahaman pada logika bahasa.

2.        Bathiniyyah
Sebuah nomenklatur bagi sekian banyak kelompok yang pernah ada dalam sejarah Islam. Muncul pertama kali pada masa al-Ma’mun (w.218), salah seorang penguasa Abbasiyah, dan berkembang pada masa al-Mu’tashim (w. 227). Sebagian ulama mensinyalir, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan bersumber dari kalangan Majusi. Dinamakan Bathiniyyah karena mereka meyakini adanya Imam yang gaib. Mereka mengklaim ada dua sisi dalam syariah; zhahir dan batin. Manusia hanya mengetahui yang zhahir, sedangkan yang batin hanya diketahui oleh Iman.[2]
            Pola yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan:
a.        Tujuan dan maksud dari sebuah teks (al-Qir’an dan Hadits) bukan pada makna zhahir yang diperoleh melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan konteks penyebutan, tetapi terletak pada makna di balik symbol zhahirnya.
b.        Mereka mengultuskan makna batin sebuah teks dan mengingkari zhahir teks, sehingga banyak hokum-hukum syar’I yang diabaikan, bahkan tidak ditaati lagi.
Karena itu, Imam al-Ghazali, seperti dikutip asy-Syathibi, mendudukkan mereka pada
tingkatan yang paling rendah dan hina disbanding kelompok sesat lainnya.[3] Kerusakan yang mereka lakukan, kata ar-razi, jauh lebih parah dari tindakan orang kafir, sebeba mereka menggerus syariah Islam dengan sebutan Islam itu sendiri.[4]


[1] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Mekkah: Tazwi Abbas Ahmad al-Baz, 1975), h. 2/394.
[2] Muhsin Abdul Hamid, Haqiqat al-Babiyah wa al-Baha’iyyah, (Kairo: Dar al-Shahwah, 1985), h. 22.
[3] Muhsin Abdul Hamid, Haqiqat al-Babiyah wa al-Baha’iyyah, h. 22.
[4] Asy-Syathibi, al-I’tisham, (Riyadh: Maktabat al-Riyadh, t.th.), h. 1/331.

Lebih dalam Memahami al-Quran dan as-Sunnah


Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariah Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya, terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariah. Keduanya merupakan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir. Diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks. Asy-Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang mendalam ilmunya (ar-rdsikhun fi al-'ilm),[1] sedangkan al-Qardhawi menyebutnya dengan manhaj wasathi (metode tengahan/ moderat).[2] Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur'an dan Hadits. Rasulullah saw. bersabda:
"Ilmu (al-Qur'an) akan selalu dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang yang moderat ('udul); mereka itu yang memelihara al-Qur'an dari penakwilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil, dan penyelewengan mereka yang berlebihan".
Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini disebut dalam al-Qur'an sebagai ash-Shirdth al-Mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub 'alayhim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan.
Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; 'kiri' dan 'kanan', berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhll) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan 'tengah'. Dalam sebuah Hadits Nabi, ummatan wasathan ditafsirkan dengan ummatan 'udulan.
Ciri sikap moderat dalam memahami teks:
1.        Memahami agama secara menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun), dan mendalam.
2.        Memahami realitas kehidupan secara baik.
3.        Memahami prinsip-prinsip syariah (maqdshid asy-syari'ah) dan tida-iTjumud jbada tataran lahir.
4.        Terbuka dan memahami etika berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama, dengan senantiasa "mengedepankan kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran pada hal-hal yang diperselisihkan".
5.        Menggabungkan antara "yang lama" (al-ashdlah) dan "yang baru" (al-mu 'dsharah).
6.        Menjaga keseimbangan antara tsawdbit dan mutaghayyirdt. Tsawdbit dalam Islam sangat terbatas, seperti prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun Islam), akhlak, hal-hal yang diharamkan secara qath'i (zina, qatl, riba, dan selainnya). Mutaghayyirdt; hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanni (tsubut atau dildlah).
7.        Cenderung memberikan kemudahan dalam beragama.

Pijakan dalam Memahami Teks
1.        Memadukan antara yang zhahir dan yang batin secara seimbang dan tidak memisahkan makna batin dengan zhahir nash.
2.        Memahami nash sesuai dengan bahasa, tradisi kebahasaan, dan pemahaman bangsa Arab (asy-Syari'ah Ummiyyah).
3.        Membedakan antara makna syar'i dan makna bahasa. Makna syar'i dimaksud adalah yang ditetapkan oleh agama, bukan makna yang berkembang kemudian. Kata as-Sd'ihun pada QS. at-Taubah [9]: 112 dalam al-Qur'an bermakna orang yang berpuasa atau berhijrah, bukan mereka yang berwisata.
4.        Memerhatikan hubungan (korelasi/mundsabah) antara satu ayat dan lainnya, sehingga tampak sebagai satu kesatuan.
5.        Membedakan antara makna haqiqi dan majdzi melalui proses takwil yang benar. Pada dasarnya, teks harus dipahami secara haqiqi. Suatu ungkapan (kalam) dimungkinkan untuk dipahami secara majdzi bila memenuhi tiga syarat berikut:
a.    Ada hubungan yang erat antara makna zhahir sebuah teks dengan makna lain yang dituju.
b.    Ada qarinah/konteks/dalil (maqdliyyah atau hdliyyah) yang menunjukkan penggunaan makna majdzi.
c.    Ada tujuan/hikmah di balik penggunaan makna majazi  yang ingin dicapai oleh pembicara (mutakallim).[3]

6.        Memerhatikan hak-hak al-Qur'an yang harus dipahami oleh setiap yang akan menafsirkannya, yaitu antara lain: pandangan komprehensif terhadap al-Qur'an, memahami makna ragam qira'at yang ada, memahami retorika dan konteks (siyaq) al-Qur'an, memerhatikan sabab nuzul dan tradisi bahasa al-Qur'an, mengerti ayat-ayat yang musykil atau terkesan kontradiktif.










[1] Al-Muwafaqat, 2/391
[2] Dirasah fi Fiqh Maqashid alsy-Syari’ah, h. 135.
[3] Muhammad Salim Abu’Ashi, Maqalatani fi at-Ta’wil, (Kairo: Dar al-Basha’ir, 2003), h. 25-27.

Selasa, 19 Maret 2013

Kontradiksi Ayat Perang dan Ayat Damai


“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, tangkaplah mereka, tawanlah mereka, dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Taubah [9]: 5)

            Ayat tersebut di atas adalah satu dari sejumlah ayat pada permulaan QS. At-Taubah yang membicarakan pemutusan hubungan (bara’ah) dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik (ayat 1-16). Dengan pemutusan hubungan itu, tidak berlaku perjanjian yang telah dijalin oleh orang-orang Muslim dengan orang-orang musyrik. Yang dimaksud ialah perjanjian untuk tidak saling berperang. Orang-orang musyrik diberi tengang waktu empat bulan untuk berfikir, apakah akan tunduk kepada kekuasaan imat Islam atau melawan. Selama empat bulan itu, orang-orang muslim tidak boleh memerangi atau mengganggu orang-orang musyrik. Sesudah habis masa tengang waktu itu, orang Islam boleh memerangi orang musyrik, melawan mereka dan mengintai mereka keberadaan mereka di mana pun berada, sehinga keadaan menjadi aman  dan umat Islam tidak tertanggu dalam menjalankan agama oleh kajahatan orang-orang musyrik. Akan tetapi, apabila mereka bertaubat, menjalankan shalat, dan membayar zakat, maka mereka diberi kebegbasan keselamatan.

            Pemutusan hubungan itu diumumkan kepada orang-orang musyrik pada bulan Haji tahun ke-9 H. Ketika itu, umat Islam sedang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Rasulullah saw. mengangkat sahabat Abu Bakar menjadi pemimpin rombongan dari madinah menuju ke Mekkah. Setelah keberangkatan rombongan, turunlah ayat-ayat Bara’ah itu dan Rasulullah saw. mengutus sahabat Ali bin Abi Thalib agar mengumumkannya kepada semua pihak yaitu kepada kaum muslim dan kaum musyrik yang pada saat itu sedang berkumpul untuk melaksanakan haji sesuai kebiasaan mereka. Pada hari yang disebut dalam Al-Qur’an hari Haji Akbar, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pengumuman tentang pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada kaum musyrik. 

Pengumuman itu disampaikan pada hari-hari ketika Haji Akbar dilaksanakan pada tahun ke-9 H. ada yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada hari Nahar, tanggal 10 Dzulhijah. Ada juga yang berpendapat bahwa pengumuman itu disampaikan pada hari ‘arafah, tanggal 9 Dzulhijah. Adapun yang dimaksud dengan Haji Akbar (Haji Besar) ialah ibadah haji yang dilaksanakan p[ada bulan Dzulhijah, dibedakan dengan umrah disebut haji ashghar (haji kecil), yang boleh dilaksanakan sepanjang tahun. Inilah yang dimaksud dengan Haji Akbar. Di dalam masyarakat terdapat pemahaman bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah apabila wuquf jatuh pada hari jumat. Pendapat tersebut tidak ditemukan dasarnya di dalam ajaran Islam.

Marilah kita kembali kepada surah at-Taubah ayat 5 tersebut di atas. “ Faidza insalakha al-asyhur al-hurum faqtulu al-musyrikin haitsu wajadtumuhum…”, (Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka), baik di tanah Haram maupun di luar tanah haram. Adapun yang di maksud dengan “asyhur al-hurum” ialah empat bulan merujuk kepada ayat 2 surah at-taubah, “fasihu fi al-ardhi arba’ata asyhur”, (empat bulan sesudah pengumuman pemutusan hubungan), dimulai tanggal 10 Dzulhijah sampai 10 Rabi’ul Akhir. Selama empat bulan itu, kaum Muslim memperoleh jaminan keselamatan. Sesudah masa tenggang waktu empat bulan itu usai, berlaku keadaan perang sebagaimana sebelumnya. “Wa’akhudzhum, wahshuruhumwaq’udu lahum kulla marshad” (Dan tangkaplah mereka,tawanlah mereka dan intailah ditempat pengintaian).  Ayat tersebut berisi perintah agar bermacam-macam cara yang tepat dalam strategi perang dilakukan sehingga kaum musyrik tidak memunyai kekuatan dan tidak ada jalan untuk melakukan kejahatan atau melangar aturan yang berlaku dalam ketentuan pemutusan hubungan. Di antaranya bahwa mereka tidak diperbolehkan melaksanakan haji dan berthawaf tanpa busana. “ Fain tabu wa aqamush shalata wa atuz zakata fakhallu sabilahum.” Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat,maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Ayat ini memberikan pengertian agar perang dihentikan apabila kaum muslim bertaubat, yakni bertaubat dari kemusyrikan yang menjadi penyebab memusuhi umat Islam, dan taubat itu dibuktikan kesungguhannya dengan mengerjakan shalat dan membayar zakat. ayat ini diakhiri dengan firman Allah,” Inna Allah Ghafurun rahim” (sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang), yakni mengampuni dosa-dosa kaum musyrik apabila mereka bertaubat, dan memberikan kasih saying kepada hamba-Nya yang beriman.

Ayat tersebut diatas dinamakan ayat perang (ayat al-qital) karena mengandung perintah berperang. Selain ayat tersebut terdapat beberapa ayat lain yang mengandung perintah berperang, antara lain surah at-taubah [9]:29; al-baqoroh [2]:190;al-anfal [8]:39 dan sebagainya. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ayat-ayat perang tersebut di atas me-mansukh-kan  dalam arti membatalkan berlakunya ayat-ayat yang mengandung perintah member maaf kepada orang yang tidak beriman(ayat al-afw). Menurut sebagian musafir, yang dikutif pendapatnya oleh Ibn Katsir, bahwa surah al-Baqoroh [2]: 109 (fa’fu washfahu hatta ya’tiya Allah bi Amrihi) di-nasakh oleh at-Taubah [9]:5 (faqtulu al-musyrikina haitsu wajadtumuhum)dan at-taubah [9]:29 (Qatilu alladzina layu’minuna bi Allah wa bi al-yawm al-akhir). Demikian pendapat Ali bin Abi thalhah dari Ibn ‘Abbas. Demikian juga pendapat Abul ‘Aliyah ar-Rabi’ bin Anas,Qatadah dan as-Suddi, bahwa ayat al-afw tersebut di atas di-mansukh oleh ayat al-sayf. [1]

Perlu dijelaskan bahwa ayat al-afw, yaitu ayat yang mengandung arti pemberian maaf kepada orang-orang kafir, diturunkan dalam periode Mekkah, ketika kondisi umat Islam lemah dan jumlahnya sedikit. Pada waktu itu, diperintahkan agar mereka bersabar dan menahan diri betapapun beratnya menghadapi penganiayaan kaum musyrik.sedangkan ayat qital diturunkan ketika kondisi umat Islam telah kuat, dan banyak jumlahnya. Mereka diperintahkan agar memerangi orang musyrik sebagaimana orang-orang musyrik itu memerangi mereka. Jadi,dalam hal ini tidak ada hukum yang dibatalkan, tetapi penundaan berlakunya perintah melakukan suatu perbuatan yaitu peperangan untuk melawan musuh-musuh Islam karena perbedaan dari kondisi-kondisi yang terjadi pada umat Islam ketika itu.

Dalam menjelaskan kaitan antara ayat al-afw dan ayat al-qital, as-suyuthi berkata di dalam al-itqan bahwa persoalan yang terjadi di sini sesungguhnya bukanlah naskh (pembatalan hukum ) tetapi penundaan (al-mansa’) merujuk kepada firman Allah:
“Kami tidak menasakhkan satu ayat pun atau kami menjangguhkan (hukumnya) (kecuali) kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah engkau mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu?.”(QS.al-Baqoroh [2]:106)

            Lebih lanjut, as-Suyuti menjelaskan bahwa Surah al-Baqoroh [2]:109 mengandung makna menunjuk kepada waktu dan keadaan tertentu yang hendak dicapai. Apa yang menunjuk kepada waktu dan tujuan adalah muhkam, tidak dibatalkan, karena ditentukan waktunya. Sesuatu yang ditentukan waktunya tidak ada naskh di dalamnya. Demikian as-Suyuthi menjelaskan di dalam kitabnya,al-Itqan:
“syekh Syaltut mengemukakan di dalam kitabnya al-Qur’an wa al-Qital, ada sebagian orang yang secara keliru memahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu mengandung kontradiksi. Di satu pihak, ada ayat-ayat yang mengandung perintah perang; ada yang bersifat defensive;dan ada yang bersifat umum tanpa dibatasi kepada orang-orang yang memerangi umat Islam. Di lain pihak, ada ayat-ayat yang menganjurkan perdamaian dan member maaf. Dengan pemahaman itu, orang-orang yang membenci Islam berkata bahwa kitab al-Quran tidak mungkin merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi. Di lain pihak, terdapat pendapat bahwa sebagian ayat-ayat al-Quran menaskhkan ayat-ayat lainnya.dalam hal ini ayat-ayat qital yang diturunkan ketika Islam telah kuat dan kota Mekah telah ditaklikan itu memansukhkan ayat-ayat pemberian maaf dan perdamaian dan ayat-ayat yang mengandung pengertian tidak ada pemaksaan dalam agama. Selanjutnya, pemahaman tersebut membawa kepada pendapat pendapat bahwa Islam adalah agama yang disebarluaskan dengan kekerasan melalui peperangan.”

            Dalam memahami ayat al-Qur’an, hendaknya akita tidak memahaminya sepotong-sepotong, tetapi hendaknya memahami suatu ayat dalam kaitannya dengan ayat lain, dengan pemahaman yang utuh dan komprehensif. Setiap ayat hendaknya kita pahami sesuai dengan konteknya tanpa terlepas dari ayat lain yang berkaitan. Didapati bahwa di dalam al-Qur’an terdapat perintah berperang tetapi juga dijelaskan sebab-sebabnya dan tujuan yang hendak dicapai dengan peprangan itu. Dalam pada itu, kita mendapati pula tentang ayat-ayat yang menjelaskan tentang watak Islam sebagai agama dakwah yang menyatakan bahwa tidak ada pemaksaan di dalam agama. Tidak ada satu ayat pun di dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa peprangan itu bertujuan untuk memaksa orang untuk masuk Islam. Demikian salah satu kesimpulan dari kajian Syekh Mahmud Syaltut, di dalam kitabnya al-Qur’an wa al Qital. Syekh Syaltut menjelaskan pula bahwa tujuan peprangan adalah untuk menghentikan kezaliman dan penganiayaan, untuk mewujudkan keamanan dan ketentraman dalam beragama. Dalam keadaan tidak diperangi tidak dianiaya ataupun di musuhi, umat Islam tidak akan memerangi umat lainnya, sesuai dengan ajaran al-Quran yang menyatakan tidak ada paksaan dalam agam,yang mengajak manusia kepada jalan Allah dengan hikmah (kebenaran, kebijaksanaan, ilmu pengetahuan), maw’izhah hasanah (tutur kata yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (dialog dan perdebatan dengan cara yang terbaik). Ayat-ayat perang dan ayat-ayat member maaf, dakwah,dan yang menyatakan tidak ada paksaan dalam agama bukanlah ayat-ayat al-Quran yang  bertentangan satu dengan yang lain, tetapi masing-masing dari ayat itu harus diletakkan pada konteksnya. Jika kita memahami ayat-ayat al-Quran yang bertentangan satu dengan yang lain, tetapi masing-masing dari ayat itu harus diletakkan pada konteksnya. Jika kita memahami ayat-ayat al-Quran itu secara utuh, kita tidak akan mendapati ada kontradiksi di dalamnya. Mengenai hal ini, Allah berfirman di dalam Al-Quran:
Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Quran? Seandainya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka mendapati di dalamnya pertentangan yang banyak.” (QS.al-Nisa[4]:82)


[1] Tafsir Ibn Katsir, jilid I, h.155-156