Sabtu, 04 Agustus 2012

Dalil Menegakkan Syariat Islam


Amar makruf nahi munkar dengan pengertian menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran adalah salah satu sendi terbesar dalam setiap agama. Para nabi: pun di utus untuk itu, sebab tanpa prinsip tersebut kerusakan di bumi akan merajalela. Di dalam al-Qur'an perintah untuk itu sangat jelas. Allah berfirman:

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung".

Dalam Haditsnya Rasulullah bersabda:

Barangsiapa di antara 1 tlian mendapatkan kemungkaran maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatan), bila tidak bisa maka dengan lisannya, dan kalau itu pun tidak bisa maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.[1]

Dalam riwayat lain Rasulullah saw. berasabda:

Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma'ruf nahi munkar, atau (kalau tidak) Allah akan mengirimkan azab dari sisi-Nya dalam waktu dekat, kemudian kalian berdoa dan doa kalian tidak akan dikabulkan.[2]

Demikian prinsip-prinsip agama menyangkut amar ma'ruf nahi munkar. Dalam tradisi keilmuan Islam, prinsip ini dikenal dengan hisbah yang bertujuan menjaga stabilitas internal masyarakat Muslim dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan terhadap nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dilihat dari tujuannya sangatlah mulia, dan bukan sebuah tugas yang ringan, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa syarat dan perangkat kelengkapan yang memadai. Karena itu, seperti pada ayat di atas, yang diharapkan dapat melaksanakannya adalah Vnereka yang mencukupi syarat, tidak semua orang berkewajiban hisbah. Kata minkum mengesankan arti sebagian di antara kalian, tidak semua.







Konsep Jihad dalam al-Quran

Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah jihad. Konsep ini sering disalahpahami tidak hanya oleh kalangan non-Muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam yang tidak memahaminya secara baik, benar, dan utuh. Secara bahasa, menurut pakar al-Qur'an, ar-Raghib al-Ashfahani, dalam kamus kosakata al-Qur'an-nya (al-Mufraddt), jihad adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta, dan pikiran untuk mengalahkan musuh. Seperti diketahui, dalam jiwa setiap manusia kebajikan dar keburukan sama-sama bersanding. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang terdiri atas banyak individu. Dari sinilah lahir perjuangan (jihad) baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Karena itu al-Ashfahani membagi jihad kepada tiga macam: 1) menghadapi musuh yang nyata; 2) menghadapi setan; dan 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Di antara ketiga macam jihad ini yang terberat adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah saw. ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran; "Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.[1]
Memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur'an membuktikan bahwa Rasulullah saw. telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Mekkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijriah, tepatnya 17 Ramadhan, dengan meletusnya Perang Badar, yaitu setelah turun ayat yang mengizinkan perang mengangkat senjata seperti pada QS. al-Hajj [22]: 39-40. Allah berfirman:
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa".
Ayat ini menunjukkan bahwa perang yang diperkenankan adalah dalam rangka mempertahankan diri, agama, dan tanah air. Fithrah manusia cenderung tidak menyukai perang atau kekerasan, dan lebih mendambakan kedamaian. (QS. al-Baqarah [2]: 216) menyatakan demikian. Karena itu, hubungan Islam dengan dunia luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tetapi dalam kondisi tertentu, seperti jika ada pihak yang memusuhi Islam atau mengumumkan perang terhadap Islam dan umat Islam, Islam mengizinkan perang.
Perang membela agama tidak hanya dibolehkan oleh Islam. Agama Kristen yang sangat toleran sekalipun seperti tergambar dalam ungkapan Yesus dalam Injil Matius [5], 39: Jika ada yang menampar pipi kanan Anda maka putarlah dan berilah dia pipi kiri, juga membolehkan perang dalam situasi manakala dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22], 35-38; Lukas [12], 49-52).
Mayoritas ulama Islam berpandangan tidak boleh memulai peperangan kecuali jika orang kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam lebih bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan serangan. Para ahli hukum Islam (fuqahd) dari kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan, sebab perang dalam Islam adalah karena ada permusuhan atau penyerangan dari orang kafir, bukan karena kakafiran mereka. Kalau mereka menyerang umat Islam maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas serangan. Jadi, bukan karena kekafiran atau perbedaan agama. Karena itu tidak boleh menyerang seseorang lantaran berbeda agama atau kafir, tetapi hanya boleh jika ia menyerang lebih dahulu.[2]
Dari sini amat keliru pandangan sementara intelektual Barat yang menyatakan "Islam jaya di atas pedang", "Islam tersebar dengan jalan perang". Sejarah membuktikan sebaliknya. Di banyak belahan dunia, seperti di Melayu, Islam tersebar dengan cara damai. Inilah yang membuat pemikir Barat lain seperti Thomas Carlel, Gustav Le Bon, sejarawan terkenal asal Prancis, mengkritik tesis para koleganya dengan menafikan tesis Islam tersebar dengan pedang.[3] Apalagi kalau kita pahami izin kebolehan berperang baru diperoleh dari Tuhan setelah 15 tahun Rasulullah mengembangkan dakwah Islam.
Jihad dengan pengertian di atas tentunya sangat bertolak belakang dengan terorisme }'ang secara bahasa berarti 'menimbulkan kengerian pada orang lain yang biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu'. Jihad dengan pengertian perang bertujuan untuk melindungi kepentingan dakwah Islam, termasuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat manusia, sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama. (QS. al-Baqarah [2]:  256 dan (QS. al-Kahfi [18]: 29) Karena itu, ketika berhasil menaklukkan Yerussalem, Khalifah Kedua, Umar ra., memberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk kota yang beragama Kristen. Beliau mengatakan, "Gereja-gereja mereka tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka. Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka, dan juga tidak boleh disakiti......."[4]
Kendati dalam kondisi tertentu menggunakan kekerasan melalui jihad diperbolehkan tetapi Islam memberikan aturan yang ketat dan sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, misalnya dalam sebuah peperangan Islam melarang untuk membunuh agamawan yang mengkhususkan diri dengan beribadah, wanita, anak kecil, orang tua lanjut usia, dan penduduk sipil lainnya yang tidak ikut perang. Demikian pula Islam melarang perusakan lingkungan seperti menebang pohon, membakar rumah, merusak tanaman, dan menyiksa binatang.[5] Mufti Besar Mesir, Prof. Dr. Syekh Ali Jumu'ah, menyebutkan 6 syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yaitu:
1.        Cara dan tujuannya jelas dan mulia;
2.        Perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil;
3.        Perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai;
4.        Melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi;
5.        Memelihara lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, merusak rumah/bangunan;
6.        Menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.[6]
Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihad dengan pengertian perang dan terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma' al-Fiqh al-Islami no. 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional poin kelima menyatakan, "Perlu diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihad, terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai dengan pengertian yang sebenarnya".[7]

Pendapat Ulama Tentang Jihad dan Terorisme

Di atas telah disingung, kekerasan yang diungkapkan dengan kata al-'unf dan terorisme dengan al-irhab tidak ditemukan penggunaannya dengan pengertian modern dalam al-Quran. Bahkan, 8 kali penyebutan kata al-irhab dan derivasinya; 5 kali dalam surah-surah makkiyah dan 3 kali dalam surah-surah madaniyah, selalu bermakna positif. Dalam pandangan al-Qur'an tidak semua aksi yang menimbulkan ketakutan dan kengerian terlarang, tentunya yang dibarengi dengan kemampuan dan kekuatan yang memadai sehingga dapat menampilkan misi risalah tanpa mencederai dan melukai sasaran. Sebab, dalam pandangan Islam, menyebarkan risalah Islam adalah sebuah keharusan, demikian pula memelihara simbol-simbol keagamaan. Itu tidak dapat terlaksana tanpa kekuatan dan kemajuan yang menggentarkan lawan/musuh sehingga tidak menyerang. Dengan pengertian ini, memiliki kekuatan untuk 'menggentarkan' lawan demi tersebarnya risalah kedamaian adalah sebuah keharusan, tentunya dengan cara-cara yang konstruktif. Sebaliknya, aksi teror yang menimbulkan kengerian dengan menggunakan cara-cara destruktif; merusak fasilitas umum, mengancam jiwa manusia tak berdosa, mengganggu stabilitas negara dan lainnya tertolak dalam pandangan Islam.
Al-Qur'an dengan tegas menyebut beberapa tindakan kekerasan yang mengarah pada hal-hal yang negatif/destruktif aan mengecam serta mengancamnya dengan balasan yang setimpal, antara lain melalui kata:
1.        Al-Baghy seperti tersebut pada QS. al-Nahl [16]: 90. Melalui ayat ini, al-Qur'an melarang umat Islam untuk melakukan permusuhan dengan tindakan yang melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy berarti melampaui batas kewajaran.[1]
2.        Thughyan seperti pada QS. Hud [11]: 112. Allah berfirman:
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Kata thughyan pada mulanya digunakan untuk menggambarkan ketinggian puncak gunung, tetapi dalam perkembangannya ia digunakan untuk segala sesuatu yang melampaui batas ketinggian seperti ungkapan thaghdl ntd'u yang berarti air meluap.[2] Demikian pula orang yang sombong, angkuh, dan zalim diungkapkan dengan thdghiyah atau thaghut. Sikap ini sangat dikecam oleh al-Qur'an seperti pada QS. an-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan keras berupa neraka jahannam bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin).
Pakar tafsir asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan Id tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 di atas mencakup larangan untuk melakukan segala bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut menghimpun upaya mencapai kemaslahatan melalui sikap istiqdmah, konsisten pada prinsip-prinsip agama, dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[3]
3. Azh-Zhulm (kezaliman)
Kata ini dan derivasinya disebut dalam al-Qur'an sebanyak 315 kali. Pengertiannya yang populer seperti dikeinukan para penyusun Mu'jam Alfdzh al-Qur'an al-Karim adalah meletakkan atau melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, baik berupa kelebihan atau kekurangan. Karena itu melampaui atau menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm, dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. asy-Syura [42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS. Fathir [35]: 32).
Dalam banyak ayat disebutkan ancaman bagi para pelaku kezaliman yaitu siksa dan balasan yang menistakan (lihat: QS. al-Furqan [25]: 19; QS. asy-Syu'ara' [26]: 227; QS. az-Zukhruf [43]:
65). Dalam sebuah Hadits qudsi, Allah dengan tegas melarang kezaliman. Allah berfirman, "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan kezaliman untuk diri-Ku, dan Aku tetapkan kezaliman bagi kalian sebagai sesuatu yang haram/terlarang dilakukan, maka janganlah kalian saling menzalimi."[4]
4. Al-'Udwan (Permusuhan)
Kata 'udwdn dan derivasinya berasal dari akar kata yang terdiri atas huruf 'ain-ddl-waw yang makna asalnya 'lari'. Sebab, dengan berlari orang dapat melampaui sesuatu, sehingga segala tindakan melampaui batas dan kebenaran juga disebut dengan 'udwdn atau 'addwah. Dengan demikian, ia juga dapat bermakna kezaliman yang juga sangat terlarang (lihat: QS. al-Baqarah [2]: 19; QS. al-Ma'idah [5]: 87).
5. Al-Qatl (Pembunuhan)
Di atas telah disinggung, aksi kekerasan pertama yang terjadi dalam sejarah kemanusiaan adalah pembunuhan atau penganiayaan terhadap jiwa manusia tak bersalah. Membunuh satu jiwa tak berdosa dipersamakan dengan membunuh umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32). Balasan yang disadiakan bagi orang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan sangatlah berat. Dalam QS. an-Nisa' [4]: 93 disebutkan, siapa saja yang dengan sengaja membunuh saudaranya yang "Mukmin akan disediakan neraka jahannam untuk ditempati selaina-lamanya, akan dimurkai dan dilaknat oleh Allah dan akan mendapatkan siksa yang pedih dan menistakan.
6. Al-Hirdbah
Sebuah term dalam al-Qur'an yang paling dekat dengan pengertian terorisme dalam pengertian modern adalah al-kirdbah. Dalam kitab Hdsyiyat Qalyubi wa 'Umayrah, kata al-hirdbah didefinisikan dengan, "aksi perampokan, atau pembunuhan, atau menimbulkan kecemasan dan kekacauan".[5] Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mendefinisikannya dengan, "Aksi kekerasan dan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah negara dengan tujuan menciptakan kekacauan dan ketidak-stabilan dalam negeri, pertumpahan darah, perampasan harta, perenggutan harga diri dan perusakan terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup manusia".[6] Termasuk dalam kategori al-hirabah, masih menurut Sayyid Sabiq, mafia pembunuhan, penculikan anak, perampokan bank dan rumah, penculikan wanita untuk prostitusi, pembunuhan tokoh politik dengan tujuan mengganggu stabilitas keamanan, pembalakan hutan dan perusakan lingkungan yang mengganggu flora dan fauna.
Al-Qur'an mengecam keras aksi al-hirdbah, dan menganggapnya sebagai tindakan memusuhi atau memerangi Allah dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain, terorisme dengan pengertian negatif dan destruktif yang membawa kerusakan di muka bumi dipersamakan dengan perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya. Karena itu, sanksi yang disediakannya pun sangat berat, sesuai dengan tingkat beratnya perbuatan. Dalam QS. al-Ma'idah [5]: 33 dijelaskan beberapa bentuk sanksi yang disediakan sesuai dengan tingkat kriminalitas yang dilakukannya, yaitu:
a.        Hukuman mati bagi yang membegal dan membunuh nyawa manusia;
b.        Hukuman mati dengan penyaliban bagi yang membunuh dan merampas harta;
c.         Potong tangan atau kaki bagi yang merampas harta tetapi tidak membunuh;
d.        Pengasingan (al-nafy) bagi pembegal yang menimbulkan kengerian dan kecemasan bagi orang lain tetapi tidak merampok dan membunuh.
Dari beberapa term di atas dapat disimpulkan, Islam menentang segala bentuk kekerasan, kecuali jika berada dalam tekanan kezaliman pihak lain. Dalarn kondisi itu pun Allah memerintahkan umat Islam menahan diri untuk menggunakan kekuatan dan kekerasan, dan hanya diperkenankan untuk membalas perbuatan dengan setimpal dan untuk mengembalikan situasi kepada keadaan yang normal atau kembali seimbang. Allah berfirman dalam QS. an-Nahl [16]: 126:
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar".
Dengan melihat sebab pewahyuan (sabab al-nuzul) ayat di atas, akan tampak jelas metode al-Qur'an agar menahan diri dan tidak menggunakan kekuatan dalam menyikapi aksi kekerasan kecuali dalam keadaan terpaksa. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah saw. sangat marah atas terbunuhnya Hamzah, paman beliau dalam perang Uhud secara tidak wajar menurut ukuran kemanusiaan. Dengan rasa sedih dan murka Rasulullah berkata, "Dengan nama Allah, kematian Hamzah akan kubalas dengan membunuh 70 orang dari pasukan musuh". Janji itu tidak dilaksanakan oleh Rasulullah, dan Allah pun tidak membiarkannya melakukan itu, tetapi melalui wahyu seperti pada ayat di atas Allah menetapkan metode pengendalian diri dalam peperangan. Setelah ayat di atas turun, Rasulullah lalu mengatakan, "Kami memilih bersabar ya Allah".[7]
Melalui ayat ini, al-Qur'an menjelaskan, hanya ada dua cara menghadapi kekerasan; membalas dengan yang setimpal tanpa melampaui batas dan bersabar, tetapi jalan yang kedua, yaitu sabar, yang sangat dianjurkan.
Jika dalam keadaan terpaksa al-Qur'an masih memberikan aturan, apalagi dalam kondisi tidak memerlukan kekerasan atau kekuatan. Islam melarang keras penggunaan segala bentuk kekerasan, termasuk intimidasi atau upaya menimbulkan kengerian dan kecemasan; baik terorganisir maupun tidak; terang-terangan dalam bentuk pembunuhan, penyiksaan dan lainnya maupun tersebunyi seperti tekanan ekonomi atau sosial; dari penguasa maupun dari rakyat jelata. Semuanya terlarang. Bahkan, menimbulkan kecemasan dan rasa tidak nyaman pada orang lain, walaupun sekadar bercanda juga terlarang. Dalam sebuah riwayat Amir bin Rabi'ah, suatu ketika ada seseorang yang mengambil sandal orang lain dengan maksud bercanda. Setelah peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah, beliau bersabda: "Jangan membuat seorang Muslim cemas, sebab membuat seorang Muslim cemas adalah sebuah kezaliman yang luar biasa".[8]
Islam melarang menimbulkan kengerian (teror) pada orang lain dengan hanya sekadar mengangkat dan mengacungkan senjata/pedang. Rasulullah saw. bersabda:
"Seseorang tidak boleh mengacungkan/'mengangkat senjata ke hadapan orang lain. Karena boleh jadi dia tidak tahu setan akan mengendalikan tangannya yang dengannya ia dapat membunuh sehingga terjerumus ke neraka”.[9]
Bahkan sekadar melihat orang lain dengan pandangan yang menakutkan juga dilarang dalam Islam. Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa memandang orang lain dengan pandangan menakutkan tanpa alasan yang benar, maka dia akan diperlakukan yang sama berupa pandangan yang menakutkan dari Tuhan di hari kiamat".[10]
Karena itu, salah satu bentuk sedekah kepada orang lain adalah pandangan dan senyuman manis kita di hadapan orang lain, demikian sabda Rasul.
Dalam pandangan al-Qur'an semua manusia yang hidup telah diberi kemuliaan (takrim) oleh Allah swt. berupa hak-hak yang harus dihormati, terlepas dari perbedaan agama, jenis kelamin, ras, dan suku (QS. al-Isra' [17]: 70)
 

Pengertian Terorisme dalam Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kekerasan didefinisikan dengan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1] Dalam bahasa Arab, kekerasan disebut dengan al-'unf, antonim al-rifq yang berarti lemah lembut dan kasih sayang. Pakar hukum Universitas al-Azhar, Abdullah an-Najjar, mendefinisikan al-'unf dengan penggunaan kekuatan secara ilegal (main hakim sendiri) untuk memaksakan pendapat atau kehendak.[2]  Dari beberapa pengertian di atas, kekerasan melambangkan sebuah upaya merebut suatu tuntutan dengan kekuatan dan paksaan terhadap pihak lain. Cara seperti ini tentu tidak terpuji dalam pandangan agama-agama dan nilai-nilai kemanusiaan, sebab
kekuatan akal, jiwa, dan harta yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang produktif bagi pengembangan diri dan masyarakat berubah menjadi kekuatan yang destruktif. Tetapi penggunaan kekerasan tidak selamanya tercela, yaitu bilamana digunakan untuk merebut hak yang terampas seperti pada perlawanan melawan penjajah atau memberantas kezaliman dalam masyarakat, terutama bila jalan damai tidak tercapai. Kekerasan menjadi tercela bilamana digunakan untuk membela satu hal yang dianggap benar dalam pandangan yang sempit, atau merebut hak yang sebenarnya dapat diperoleh tanpa melalui kekerasan.[3]
Sejarah kemanusiaan mencatat, seperti terekam dalam al-Qur'an, aksi kekerasan yang berupa pembunuhan pertama kali terjadi antara kedua anak Nabi Adam as; Qabil dan Habil. Al-Qur'an menceritakan itu agar fenomena kekerasan tidak terulang dan setiap aksi kekerasan pasti akan menimbulkan goncangan jiwa dan penyesalan yang mendalam dalam diri pelakunya seperti dialami oleh Qabil (Baca Ja’sah tersebut dalam QS. al-Ma'idah [5]: 27-31). Karena itu, al-Qur'an memberi ketentuan, membunuh satu jiwa tanpa alasan yang benar sama halnya dengan membunuh seluruh/ umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32). Dalam sejarah kenabian, kekerasan dialami oleh banyak nabi dari kalangan Bani Israil. Tidak sedikit para nabi yang dibunuh dalam menjalankan tugas kenabian (QS. al-Baqarah [2]: 61; QS. Ali 'Imran [3]: 21).
Dalam konteks ayat-aya di atas. al-Qur'an berbicara tentang kekerasan dalam pengertian negatif yang dikecamnya meski kata al-'unf sendiri tidak digunakan dalam al-Qur'an. Penggunaan kata al-'unf tampak jelas dalam beberapa Hadits Nabi saw. seperti:
"Sesungguhnya Allah sivt. tidak mengutusku untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk mengajarkan dan memudahkan”.[4]
"Sesungguhnya Allah swt. Mahalembut/Mahakasih-sayang. Melalui sikap kasih sayang Allah akan mendatangkan banyak hal positif, tidak seperti halnya pada kekerasan.”[5]
Suatu ketika sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi saw dan mengucapkan salam dengan diplesetkan menjadi, as-Samu Alaikum (kematian/kecelakaan untuk kalian). Dengan marah Aisyah, istri   beliau   menjawab:   Alaykum,   wa   la'anakumulldh wa ghadhiballahu 'alaikum (Kecelakaan untuk kalian, semoga Allah melaknat dan memurkai kalian). Lalu Rasulullah mengingatkan Aisyah, "Kamu harus berlemah-lembut, jangan melakukan kekerasan (al-'unf) dan kekejian.[6]
Dari penjelasan al-Qur'an dan Hadits di atas tampak jelas Islam sebagai agama yang antikekerasan terhadap siapa pun, termasuk yang berlainan agama.
Salah satu bentuk kekerasan yang menimbulkan kengerian dan kepanikan masyarakat dunia saat ini adalah terorisme. Kepanikan tersebut mengakibatkan ketidakjelasan pada definisi terorisme itu sendiri, sehingga tidak jarang pemberantasan terorisme dilakukan dengan melakukan aksi teror lainnya. Meskipun dalam sejarah kemanusiaan aksi teror telah menjadi bagian dari fenomena, kekacauan politik yang ada, tetapi sebagian kalangan mengaitkannya
dengan agama Islam dan peradaban Arab dan Islam. Padahal, terorisme adalah fenomena umum, tidak terkait dengan agama, budaya, dan identitas kelompok tertentu.
Istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun 1793 sebagai 3 akibat Revolusi Prancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan era baru yang disebut Reign of Terror (10 Maret 1793 - 27 Juli 1794).  Teror menjadi agenda penting para pengawal revolusi dan menjadi
keputusan pemerintah untuk mengukuhkan stabilitas politik. Sasarannya bukan hanya lawan politik, tetapi juga tokoh-tokoh moderat, pedagang, agamawan, dan lain sebagainya. Selama berlangsung Revolusi Prancis, Robespierre dan yang sejalan dengannya seperti St. Just dan Couthon melancarkan kekerasan politik dengan membunuh 1366 penduduk Prancis, laki-laki dan perempuan, hanya dalam waktu 6 minggu terakhir dari masa teror.[7]
Dalam kamus Oxford, kata terrorist diartikan dengan orang yang melakukan kekerasan terorganisir untuk mencapai tujuan politik tertentu. Aksinya disebut terrorisme, yaitu penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman, terutama untuk tujuan-tujuan politis.[8]
Dalam bahasa Arab, istilah vang populer untuk aksi ini adalah dan pelakunya disebut al-Irhdbi. Para penyusun al-Mu'jam al-Wasith memberikan arti al-Irhdbi dengan, "sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik".[9]  Al-lrhab dengan pengertian semacam ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an dan kamus-kamus bahasa Arab klasik, sebab itu istilah baru yang belum dikenal pada masa lampau. Bahkan, penggunaan kata ini dalam bentuk derivasinya, turhibun atau lainnya, dalam al-Qur'an seperti pada QS. al-Anfal [8]: 60 bermakna positif. Sebab, melalui ayat ini Allah memerintahkan umat beriman untuk mempersiapkan diri dengan berbekal kekuatan apa saja yang dapat menggentarkan (turhibun) musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka.
Tidak berbeda jauh dengan pengertian di atas, Kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan teror dengan usaha menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme: penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).
Organisasi-organisasi internasional, seperti PBB, mendefinisi-kannya dengan salah satu bentuk kekerasan terorganisir. Bentuknya, seperti disepakati masyarakat dunia, dapat berupa pembunuhan, penyiksaan, penculikan, penyanderaan tawanan, peledakan bom atau bahan peledak, dan lainnya yang dapat menjadi pesan pelaku teror. Aksi tersebut biasanya untuk tujuan politik, yaitu memaksa kekuatan politik tertentu, negara atau kelompok, agar mengambil kebijakan atau mengubahnya sesuai yang diinginkan pelaku.[10] Dalam Sidang Umum ke-83, tanggal 8 Desember 1998, PBB mengecam segala bentuk kekerasan aksi teror dengan alasan apa pun, termasuk yang bermotifkan politik, filsafat, akidah/keyakinan, ras, agama, dan lainnya.
Agen Rahasia Amerika (CIA) pada tahun 1980 mendefinisikan terorisme dengan; ancaman yang menggunakan kekerasan, atau menggunakan kekerasan untuk tujuan-tujuan politik, baik yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, untuk kepentingan negara ataupun melawan negara. Masuk dalam definisi ini kelompok-kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahan tertentu atau menghancurkan tatanan dunia internasional.
Definisi ini masih sangat umum, sehingga perlawanan rakyat untuk memperoleh hak-hak yang dirampas, seperti perjuangan bangsa Palestina dapat dikategorikan aksi terorisme. Karena itu para sarjana Muslim yang terhimpun dalam keanggotaan Majma' al-Fiqh al-Isldmi dalam sidang putaran ke-14 di Doha, Qatar, 8-13 Dzulqa'dah 1423 H/ll-16 Januari 2003, menegaskan bahwa terorisme adalah permusuhan, atau intimidasi, atau ancaman, baik fisik maupun psikis, yang dilakukan oleh negara, kelompok maupun perorangan, terhadap seseorang yang menyangkut keyakinan (agama), jiwa, harga diri, akal dan hartanya, tanpa alasan yang benar, melalui berbagai aksi yang merusak. Lembaga ini juga menegaskan, jihad dan upaya mati syahid untuk membela akidah, kebebasan/ kemerdekaan, harga diri bangsa dan tanah air bukanlah bentuk teror, tetapi upaya membela hak-hak prinsipil. Karena itu, bagi bangsa-bangsa yang tertindas atau terjajah harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kemerdekaan.[11]
Dari paparan di atas tampak perbedaan yang cukup mendasar dalam mendefinisikan terorisme. Perbedaan itu mengakibatkan kekaburan makna yang sebenarnya, sebab suatu perjuangan rakyat untuk meraih kemerdekaan atau lepas dari ketertindasan dapat dinilai sebagai aksi teror oleh pihak lain. Demikian sebaliknya, aksi kekerasan dan kezaliman menjadi legal dengan dalih menumpas terorisme. Karena itu tak heran, kendati masyarakat dunia telah sepakat mengecam terorisme, tetapi upaya pemberantasannya dalam bentuk kerja sama internasional selalu gagal.
Namun, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan beberapa ciri terorisme, antara lain: menciptakan suasana mencekam dan mengerikan, dilakukan secara terorganisir, bertujuan politik dan bersifat internasional. Untuk mengetahui sikap Islam terhadap kekerasan, apa pun bentuknya, terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa istilah terkait dengan kekerasan dan terorisme dalam al-Qur'an.


Amar Makruf Nahi Mungkar

Sejak tiga dekade terakhir di penghujung milenium kedua, tepatnya pertengahan tahun tujuh puluhan, masyarakat internasional dikejutkan oleh berbagai tindakun kekerasan, khususnya aksi teror terhadap berbagai kepentingan Amerika Serikat[1] dan Israel. Aksi-aksi tersebut terus meluas seiring dengan datangnya milenium ketiga yang ditandai dengan serangan 11 September 2001 terhadap gedung WTC dan Pentagon. Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut dan yang sebelumnya, dan dianggap sebagai ancaman" bagi kehidupan masyarakat dunia. Berbagai stigma dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme, radikalisme, dan sebagainya. Stigmatisasi ini seakan membenarkan pandangan beberapa pemikir Barat yang berpandangan Islam sebagai ancaman pasca-runtuhnya Soviet, seperti Samuel Huntington dengan tesisnya "the clash of civilization".
Dengan menggalang kekuatan internasional, AS melancarkan kampanye anti-teror. Atas nama itu Afghanistan dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan gerakan keagamaan juga menjadi sasaran, terutama jaringan al-Qaeda internasional. Tuduhan tersebut menemukan relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang menyebutkan motivasi keagamaan dibalik aksi mereka, sehingga banyak pengamat mengaitkan gerakan Islam garis keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak faktor yang melatar belakanginya, seperti politik. ekonomi, sosial, psikologi, dan lainnya, tetapi faktor keyakinan dan pemahaman. Terhadap beberapa doktrin keagamaan agaknya yang paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan tertentu, yang notabene berbeda agama, ialam berbagai dimensi kehidupan mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nashshl), parsial (juz'i) dan ekstrem/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga, terkesan konflik bukan lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan meluas kepada konflik agama.
Fenomena meningkatnya gairah keagamaan, untuk tidak mengatakan kebangkitan Islam, di kalangan muda seperti disinyalir oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga telah diwarnai dengan sikap berlebihan (al-ghuluw) dan ekstremitas (at-tatharruf)[2] sehingga tuduhan banyak kalangan bahwa Islam menganjurkan kekerasan dan terorisme menjadi semakin melekat. Konsep menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran (amar makruf nahi munkar) bagi sebagian kalangan menjadi dalih berbagai aksi kekerasan. Islam dan umat Islam 'seakan' menjadi tidak ramah lagi terhadap penganut agama lain. Padahal, sekian banyak teks keagamaan dalam Islam mengecam keras segala bentuk kekerasan dan terorisme seperti dalam pandangan banyak kalangan Barat.
            Sejujurnya, kita dapat mengatakan, pandangan-pandangan seperti itu lahir disebabkan, setidaknya, oleh dua hal: 1) ketidaktahuan Barat tentang Islam yang sebenarnya, karena pengetahuan Barat tentang Islam diwarnai oleh buku-buku keislaman yang ditulis oleh orientalis pada masa penjajahan dahulu; 2) kerancuan dalam memahami konsep jihad dan perang dalam Islam dan mempersamakannya dengan terorisme dalam pandangan mereka.
            Atas dasar itu, merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk memahami lebih jauh lagi ajaran Islam, sebelum kita memahamkan orang lain dan membuktikan dengan tindakan nyata bahwa Islam adalah agama kedamaian yang akan menebar kasih di muka bumi. Kami utus engkau (hai Muhammad) tidak lain untuk menebar rasa kasih bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya' [21]: 107)


Seruan Al-quran dan Sunnah untuk Berjihad

Banyak pakar mensinyalir, salah satu penyebab ketertinggalan umat Islam saat ini adalah karena meninggalkan dan menjauh dari ajaran al-Qur’an dan hadits. Meninggalkan dimaksud berupa ketidaktahuan yang berakibat pada kurangnya penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam kedua sumber ajaran Islam. Sikap seperti ini pernah dilakukan oleh umat terdahulu yang kemudian membuahkan kecaman keras. QS. Al-Baqarah [2]: 78 menyebut mereka yang bersikap demikian sebagai “ummiyyun” (buta huruf), yang tidak mengerti kitab suci dan sumber ajaran agama dengan baik. Kalaupun mengerti, pemahaman mereka tidak didukung oleh bukti-bukti kuat, tetapi hanya sekadar dugaan, sehingga timbul keengganan. Kebutaaksaraan (ummiyyah) seperti ini tidak lagi hanya sebatas tidak bisa membaca dan menulis aksara, tetapi tidak memahami ajaran agama dengan baik dan benar. Rajab al-Banna, kolumnis Mesir terkemuka, menyebutkan dengan istilah ummiyyah diniyyah (buta aksara agama). Menurutnya, wajah kusam Islam saat ini, selain karena propaganda musuh-musuh Islam, juga disebabkan oleh sikap, perilaku, dan pemikiran sebagian kaum Muslim yang tidak memahami ajaran agama secara utuh.
            Tak dapat disangkal, dalam kehidupan seorang Muslim, Al-Qur’an dan Hadist merupakan dua sumber ajaran yang mengatur banyak hal dan harus dipedomani dalam hidup. Allah berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. Al-Nahl [16]: 44). Al-Qur’an tidak hanya berisikan persoalan akidah dan ibadah, tetapi mencakup berbagai persoalan etika, moral, hukum, dan system kehidupan lainnya. Sedemikian lengkapnya ajaran al-Qur’an, sayyiduna Abu Bakar ra. Berujar, “Seandainya tambat untaku hilang, pasti akan aku temukan dalam al-Qur’an.” Ajarannya berlaku sepanjang masa dan bersifat universal untuk semua umat manusia. Ilmu pengetahuan modern membuktikan sekian banyak isyarat ilmiah dalam al-Qur’an, bahkan juga hadist, yang sejalan dengan penemuan ilmiah para ahli.
            Meski menyatakan dirinya telah “menjalankan segala sesuatu”, namun tidak berarti al-Qur’an tidak membutuhkan penjelasan. Jumlah ayatnya yang terbatas (6236 ayat) dan karakteristik bahasanya yang ringkas dan padat serta kandungannya yang bersifat umum menuntut adanya penjelasan atau penafsiran. Otoritas tertinggi untuk itu dimiliki oleh Rasulullah yang diwujudkan dalam bentuk ucapan, perbuatan dan ketetapan. Himpunan ketiganya disebut Hadits atau Sunnah. Dengan demikian, sebagai sumber ajaran Islam al-Qur’an dan Hadits tidak dapat dipisahkan, karena jika al-Qur’an dipandang sebagai sebuah konstitusi (dustur) yang mengandung pokok-pokok ajaran ketuhanan yang diperlukan untuk mengarahkan kehidupan manusia, maka Hadits merupakan rincian penjelasannya. Al-Qur’an sendiri menyatakan, selain bertugas menyampaikan kitab suci, Rasulullah diberi kewenangan untuk menjelaskan kitab tersebut (QS. An-Na-hl [16]: 44). Penjelasan itu tidak pernah keliru, sebab dalam menjalankan tugas tersebut Rasulullah senantiasa berada dalam bimbingan wahyu (QS. An-Najm [53]: 3).
            Dengan kata lain, Hadits dan Sunnah adalah bentuk lain dari al-Qur’an yang wujud dan hidup. Jika Anda ingin mengetahui tuntunan akhlak al-Qur’an, maka perhatikanlah kehidupan Rasul, demikian makna yang tersirat dari sebuah Hadits riwayat Aisyah ra. Tanpa Hadits atau Sunnah, banyak hal menyangkut ibadah dan muamalah dalam Islam yang tidak pernah diketahui. Dalam Al-Qur’an ditentukan perintah shalat, tetapi tidak ditemukan penjelasan rinci mengenai bilangan rakaatnya, tata cara, dan waktu  melaksanakannya, serta jenis shalat yang diwajibkan dan dianjurkan. Penjelasan semua itu ada dalam hadits. Ukuran, jenis, dan wktu pelaksanaan zakat juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Demikian pula tata cara pelaksanaan puasa, haji, transaksi jual beli, dan lainnya yang hanya diterangkan secara global oleh al-Qur’an. Dari sini banyak ulama memahami keduanya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, sehingga mengamalkan  Hadits berarti juga mengamalkan al-Qur’an. Firman Allah: “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan, barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisa’ [4]: 80).
Suatu ketika seorang perempuan dari Bani Asad mendatangi sahabat Rasul, Abdullah bin Mas’ud, dan memprotes sikap Ibnu Mas’ud yang mengecam keras perempuan yang mentato (al-wasyimat) dan yang minta ditato (al-mustawsyimat). Perempuan itu berdalih, larangan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an . Ibnu Mas’ud menjawab. “Larangan tersebut dapat Anda temukan dalam sebuah ayat, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr [59]:  7). Ayat ini juga dibacakan oleh Abdurrahman bin Yazid, seorang ulama generasi awal, ketika ada seorang yang memperotes larangan mengenakan baju saat berihram dengan alasan tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, ayat tersebut menegaskan kedudukan Hadits sebagai referensi hukum saat tidak ditemukan rincian penjelasan dalam al-Qur’an. Dari sini, tidaklah tepat pandangan sebagai kalangan yang merasa cukup dengan hanya berpedoman pada al-Qur’an. 
Contoh kasus dalam menjalankan Syariat Islam/
Satu hal yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks keagamaan, melainkan juga pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurniaan teks al-Qur’an dan Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung kemungkinan ragam interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syariat Islam.
            Lebih problematis lagi ketika teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan, maupun ketetapan mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti (tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapatkan petunjuk (QS. Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi, juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang tidak berimpilasi hukum, terutama yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Dia antara ulama yang mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atas  adalah  al-Qarafi (w. 684 H), Syah Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar, Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur, Mufti Tunis dan pengarang tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.
            Contoh khasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari pohon korma agar produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma, sebab kota Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan. Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang tidak terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab penjelasan (syarah) Shahih Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma qalahu syar’an, duna ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi ad-dunya ‘ala sabil al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syariat agama, bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).
            Pada bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar, bahkan liberal.

Pemahaman al-Quran dan al-Hadis: Dulu dan Sekarang/

            Ulama besar, asy-Syathibi, dalam kitab al-Muwafaqat mencatat empat aliran dalam pemahaman al-Qur’an dan Hadits, yaitu Zhahiriyyah (literal), bathiniyyah, al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas (rasionalis dan cenderung liberal), dan al-Rasikhun fi al-‘Ilm (mendalam ilmunya dan moderat).[1]

1.      Zhaririyyah
Sebuah mazhab fiqih yang berlandaskan pada al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, tetapi menolak intervensi akal dalam bentu qiyas, ta’lil, istihsan, dan lain sebagainya. Zhahiriyah, sebutan bagu para penganut mazhab ini, terambil dari nama tokoh panutannya, Daud bin Ali azh-Zhahiri. Muncul pertama kali pada paruh pertama abad ketiga Hijriah.
            Dalam memahami teks keagamaan Zhahiriyah berpegang kepada tiga prinsip dasar:
a.        Keharusan berperang teguh pada lahiriah teks dan tidak melampauinya kecuali dengan teks yang zhahir lainnya atau dengan konsessus (ijmak) yang pasti. Penggunaan akal tidak diperkenankan.
b.        Maksud teks yang sebenarnya terletak pada zhahir, bukan di balik teks yang perlu dicari dengan penalaran mendalam. Demikian pula maslahat yang dikehendaki syara’.
c.         Mencari sebab di balik penetapan syariah adalah sebuah kekeliruan. Ibnu Hazm, salah seorang tokohnya berkata,  “Seseorang tidak boleh mencari sebab dalam agama dan tidak diperkenankan mengatakan ‘ini’ adalah sebab ditetapkannya ‘itu’, kecuali ada nash tentang itu.” (La yus’alu ‘amma yaf’alu wahum yus’alun).
Banyak hasil ijtihad kelompok Zhahiriyah dalam memahami teks yang dinilai keliru oleh para ulama, antara lain karena:
a.        Tidak mau menggunakan akal dalam pengambilan hukum dengan memperluas cakupan zhahir, sehinggal al-Qur’an tidak lagi mampu mengantisipasi berbagai kemaslahatan yang timbul kemudian.
b.        Jumud dan tidak mengikuti perkembangan zaman, sehingga bertentangan dengan fungsi al-Qur’an sebagai kitab abadi di setiap ruang dan waktu. Teks al-Qur’an terbatas, sementara peristiwa dan kejadian yang dialami manusia selalu berkembang.
c.         Tidak sejalan dengan rasionalitas al-Qur’an, karena hanya membatasi pemahaman pada logika bahasa.

2.        Bathiniyyah
Sebuah nomenklatur bagi sekian banyak kelompok yang pernah ada dalam sejarah Islam. Muncul pertama kali pada masa al-Ma’mun (w.218), salah seorang penguasa Abbasiyah, dan berkembang pada masa al-Mu’tashim (w. 227). Sebagian ulama mensinyalir, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan bersumber dari kalangan Majusi. Dinamakan Bathiniyyah karena mereka meyakini adanya Imam yang gaib. Mereka mengklaim ada dua sisi dalam syariah; zhahir dan batin. Manusia hanya mengetahui yang zhahir, sedangkan yang batin hanya diketahui oleh Iman.[2]
            Pola yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan:
a.        Tujuan dan maksud dari sebuah teks (al-Qir’an dan Hadits) bukan pada makna zhahir yang diperoleh melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan konteks penyebutan, tetapi terletak pada makna di balik symbol zhahirnya.
b.        Mereka mengultuskan makna batin sebuah teks dan mengingkari zhahir teks, sehingga banyak hokum-hukum syar’I yang diabaikan, bahkan tidak ditaati lagi.
Karena itu, Imam al-Ghazali, seperti dikutip asy-Syathibi, mendudukkan mereka pada
tingkatan yang paling rendah dan hina disbanding kelompok sesat lainnya.[3] Kerusakan yang mereka lakukan, kata ar-razi, jauh lebih parah dari tindakan orang kafir, sebeba mereka menggerus syariah Islam dengan sebutan Islam itu sendiri.[4]
Mengapa mereka dinilai keliru dan sesat?
a.      Tidak memiliki perangkat pemahaman yang benar. Mereka tidak menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan dan pokok-pokok ilmu tafsir sebagai sandaran dalam memehami al-Qur’an, padahal al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan baru dapat dipahami maknanya jika sesuai dengan prinsip-prinsip kebahasaan Arab.
b.      Mengira ada yang kurang dalam syariah, dan baru sempurna jika dipahami secara batin yang hanya bisa dilakukan oleh Imam yang ma’shum.
c.       Mengedepankan akal daripada syariah yang dianggapnya kurang memadai dan melepaskannya tanpa kendali untuk menyelami lautan makna batin. Patut disadari, keragaman pandangan yang tidak didasari pada kaidah yang jelas akan menimbulkan kekacauan.

3.      Rasionalis (al-Aqlaniyyun), atau al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas
Sebagian ulama menisbatkan kecenderungan ini kepada Imam Sulaiman al-Thufi (w. 716 H) yang dikenal dengan teori maslahat yang dipahaminya sebagai “sebab yang dapat mengantarkan kepada tujuan syariah Allah dalam ibadah (al-ibadat) dan muamalah (al-mu’amalat).”
            Pendapatnya yang sangat berbeda dengan jumhur ulama dan mendapat kritikan tajam: “Jika ada maslahat yang bertentangan dengan nash yang terkait dengan mu’amalat (adat), maka maslahat harus dikedepankan daripada nash.”
            Menurut ath-Thufi, hubungan antara maslahat dan nash (dalil syar’i) berkisar pada tiga hal:
-       Dalil syar’I sejalan dengan maslahat, seperti dalam penetapan hudud terhadap pelaku pembunuhan, pencurian, qadzaf, dan selainnya.
-       Jika tidak sejalan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan melalui takhshish atau taqyid, maka keduanya dapat digunakan dalam batas-batas tertentu.
-       Jika terjadi benturan antara maslahat dan nash dan tidak bisa dikompromikan, maka maslahat harus dikedepankan dan nash ditinggalkan.[5]
Maslahat harus dikedepankan, karena akal dapat menalar dan membedakan maslahat manusia tanpa perlu bantuan syara’. Maslahat daoat diketahui secara pasti melalui kebiasaan sedangkan nash-nash syar’i tidak dapat menjelaskannya karena mengandung banyak interpretasi dan kemungkinan. Ukurannya adalah hukum muamalat sejalan dengan akal dan kebiasaan serta mewujudkan manfaat, baik ketika sejalan dengan nash maupun bertentangan.
Mengapa mereka keliru?
a.        Akal memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua maslahat manusia secara sempurna. Apa yang diduga akan mendatangkan maslahat boleh justru sebaliknya. Pengetahuannya sangat terbatas (QS. al-Isra [17]: 85; QS. an-Nahl [16]: 8 dan lain-lain). Melepaskan akal untuk menalar tanpa kendali sama tercelanya dengan mengekang akal untuk tidak berfikir.
b.        Akal mengikuti syara’ bukan sebaliknya
Dalam sejarah pemikiran Islam klasik terjadi perdebatan apakah akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan (at-tahsin wa at-taqbih al-aqliyyayn).
-       Asy’ariyyah: akal tidak dapat membedakan kebaikan dan keburukan tanpa bantuan syara’. Tolok ukur keduanya pada syara’.
-       Muktazilah: akal dapat mengetahui keduanya, sebab setiap perbuatan dan perkataan memiliki manfaat dan mudharat. Agama memerintahkan dan melarang karena manfaat dan mudharat yang ditetapkan akal.
-       Muturidiyah: akal dapat mengetahui dan keburukan, tetapi hukum agama tidak selalu sejalan dengan pertimbangan akal. Tolok ukurnya adalah perintah dan larangan agama, sebab akal boleh jadi keliru atau berbeda dalam menetapkan keduanya.
Kendati berbeda, mereka sepakat mangatakan, sumber penetapan huku adalah syariah, baik yang tertuang dalam bentuk teks maupun hasil ijtihad.[6]
c.    Kemaslahatan dalam muamalat duniawi ada yang tidak diketahui akal dan hanya dapat diketahui melalui wahyu, karena itu perlu berpegang pada ketentuan syariah untuk mencegah kekacauan dan kebimbangan.
d.   Hak-hak mukallaf (hamba) tidak lepas dari hak Tuhan. Ath-Thufi membedakan antara ibadat yang dianggap hak Tuhan sehingga perlu berpegang pada ketentuan syara', dan muamalat yang merupakan hak hamba sehingga yang menjadi tolok ukur adalah kemaslahatan hamba walaupun bertentangan dengan nash. Asy-Syathibi mengatakan, "Dalam setiap bentuk taklif terdapat hak Allah". Bentuk hukuman kudud jika telah sampai ke tangan hakim, selain qishash, qadzaf, dan mencuri, tidak dapat digugurkan meski telah dimaafkan oleh pihak terkait.
e.    Di dalam syariah tidak ada yang bertentangan dengan akal. Mengedepankan maslahat daripada nash mengesankan ada sekian maslahat yang bertentangan dengan syariah. Ini berlawanan dengan kenyataan bahwa agama (syariah) sejalan dengan akal dan fitrah manusia.
f.       Tidak ada pertentangan antara nash dan maslahat. Kemaslahatan yang hakiki terletak pada cakupan maqdshid syari'ah, sehingga tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya.[7]

Bagaimana al-Qur'an dipahami sekarang?

Zhahiriyyah, Bathiniyyah, dan 'Aqldniyyah bukan hanya milik zaman dan waktu tertentu, melainkan selalu ada di setiap zaman dalam bentuk yang berbeda.
I.          Neo-Zhahiriyyah
Mereka mewarisi kejumudan zhahiriyah masa lampau. Di antara cirinya dalam pemahaman teks:
a.        Memahami teks secara literal (harfiyah) dan kaku, tanpa melihat ^iliai atau maqashid di balik teks.
b.        Cenderung keras (tasyaddud), mempersulit dan berlebihan (al-ghuluww).
c.         Menganggap dirinya yang paling benar, dan lainnya salah.
d.        Tidak menolerir perbedaan pendapat atau pandangan.
e.         Berburuk sangka dan bahkan mengafirkan pandangan yang berbeda.
Di antara produk pemikirannya saat ini: uang kertas yang beredar saat ini bukan uang syar'i seperti dalam al-Qur'an dan Sunnah sehingga tidak wajib dizakatkan; Zakat fithrah hanya dapat dilakukan dengan bahan makanan, tidak dapat diganti uang; Televisi dan fotografi haram berdasarkan Hadits yang melaknat mushawwiru).
2.        Neo-Bathiniyyah
Perasaan inferiority complex yang dialami umat Islam melahirkan sikap kagum terhadap prototype peradaban Barat yang maju, sehingga menjadi dasar sebagian kalangan untuk menetapkan hukum-hukum agama walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang tsawdbit, bahkan meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang.
Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realitas dilakukan melalui upaya mencari maqdshid syari'ah yang diduga berada di balik simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya.
Yusuf al-Qardhawi menamakan kelompok ini dengan "al-Mu'aththilah al-Judud" (Neo-Mu'aththilah). Kalau mu'aththilah klasik bermain pada tataran akidah, neo-mu'aththilah bermain pada tataran  akidah, neo-mu’aththilah bermain pada tataran syariah.
Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia modern terjadi upaya meruntuhkan syariah seperti pada hukum keluarga, warisan, kudud, dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzul-nya.
Secara umum, kelompok ini bercirikan tidak mendalami sumber, prinsip, dan hukum syariah dengan baik, serta memiliki keberanian mengungkap pendapat meski tidak didukung argumentasi yang kuat.
            Pijakan dalam memahami teks:
1.        Mengedepankan akal daripada wahyu. Akal dapat menentukan mana yang lebih maslahat untuk dilakukan meskipun harus berbenturan dengan nash syar'i.
2.        Dengan dalih maslahat, Umar bin Khaththab telah mengalahkan nash seperti pada kasus al-mu'allafah qulubuhum yang tidak diberi zakat, menafikan hukum potong tangan saat paceklik terjadi dan lainnya.
3.        Ungkapan yang sering disebut berasal dari Ibnu al-Qayyim, "Di mana ada maslahat di situ ada syariah", padahal ungkapan tersebut berlaku pada kasus yang tidak ada nashnya, atau jika ada, mengandung berbagai kemungkinan yang dapat ditentukan melalui mana yang lebih maslahat. Ungkapan yang tepat, "di mana ada syariah di situ ada maslahat".
4.        Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzul-nya. Al-'Ibrah bi khushush as-sabab, la bi 'umum al-lafzh, demikian ungkapan yang sering digunakan.[8]

Metode Pembacaan Alternatif

Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariah Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya, terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariah. Keduanya merupakan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir. Diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks. Asy-Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang mendalam ilmunya (ar-rdsikhun fi al-'ilm),[9] sedangkan al-Qardhawi menyebutnya dengan manhaj wasathi (metode tengahan/ moderat).[10] Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur'an dan Hadits. Rasulullah saw. bersabda:
"Ilmu (al-Qur'an) akan selalu dibawa pada setiap generasi oleh orang-orang yang moderat ('udul); mereka itu yang memelihara al-Qur'an dari penakwilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil, dan penyelewengan mereka yang berlebihan".
Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini disebut dalam al-Qur'an sebagai ash-Shirdth al-Mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub 'alayhim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena melakukan banyak penyimpangan.
Wasathiyyah (moderasi) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; 'kiri' dan 'kanan', berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhll) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan 'tengah'. Dalam sebuah Hadits Nabi, ummatan wasathan ditafsirkan dengan ummatan 'udulan.
Ciri sikap moderat dalam memahami teks:
1.        Memahami agama secara menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun), dan mendalam.
2.        Memahami realitas kehidupan secara baik.
3.        Memahami prinsip-prinsip syariah (maqdshid asy-syari'ah) dan tida-iTjumud jbada tataran lahir.
4.        Terbuka dan memahami etika berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama, dengan senantiasa "mengedepankan kerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran pada hal-hal yang diperselisihkan".
5.        Menggabungkan antara "yang lama" (al-ashdlah) dan "yang baru" (al-mu 'dsharah).
6.        Menjaga keseimbangan antara tsawdbit dan mutaghayyirdt. Tsawdbit dalam Islam sangat terbatas, seperti prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun Islam), akhlak, hal-hal yang diharamkan secara qath'i (zina, qatl, riba, dan selainnya). Mutaghayyirdt; hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanni (tsubut atau dildlah).
7.        Cenderung memberikan kemudahan dalam beragama.

Pijakan dalam Memahami Teks
1.        Memadukan antara yang zhahir dan yang batin secara seimbang dan tidak memisahkan makna batin dengan zhahir nash.
2.        Memahami nash sesuai dengan bahasa, tradisi kebahasaan, dan pemahaman bangsa Arab (asy-Syari'ah Ummiyyah).
3.        Membedakan antara makna syar'i dan makna bahasa. Makna syar'i dimaksud adalah yang ditetapkan oleh agama, bukan makna yang berkembang kemudian. Kata as-Sd'ihun pada QS. at-Taubah [9]: 112 dalam al-Qur'an bermakna orang yang berpuasa atau berhijrah, bukan mereka yang berwisata.
4.        Memerhatikan hubungan (korelasi/mundsabah) antara satu ayat dan lainnya, sehingga tampak sebagai satu kesatuan.
5.        Membedakan antara makna haqiqi dan majdzi melalui proses takwil yang benar. Pada dasarnya, teks harus dipahami secara haqiqi. Suatu ungkapan (kalam) dimungkinkan untuk dipahami secara majdzi bila memenuhi tiga syarat berikut:
a.    Ada hubungan yang erat antara makna zhahir sebuah teks dengan makna lain yang dituju.
b.    Ada qarinah/konteks/dalil (maqdliyyah atau hdliyyah) yang menunjukkan penggunaan makna majdzi.
c.    Ada tujuan/hikmah di balik penggunaan makna majazi  yang ingin dicapai oleh pembicara (mutakallim).[11]

6.        Memerhatikan hak-hak al-Qur'an yang harus dipahami oleh setiap yang akan menafsirkannya, yaitu antara lain: pandangan komprehensif terhadap al-Qur'an, memahami makna ragam qira'at yang ada, memahami retorika dan konteks (siyaq) al-Qur'an, memerhatikan sabab nuzul dan tradisi bahasa al-Qur'an, mengerti ayat-ayat yang musykil atau terkesan kontradiktif. Demikian, wallahu a'lam.