Ghuluw (ekstremitas) menurut bahasa berarti melebihi
batas. Adapun menurut istilah syariat, ekstremitas adalah melewati batas yang diperintahkan syariat. Seorang ekstremis merasa
apa yang diperintahkan syariat terlalu sedikit dan tidak cukup. Maka ia menambahinya
lagi atas inisiatifnya sendiri dan dia meyakini bahwa hal ini merupakan sesuatu yang dianjurkan
syariat. Ini juga merupakan pengertian tasyaddud,
tanaththu’ dan tatharruf (berlebihan).
Tentang hikmah diharamkannya sikap ekstrem, Syaikh Yusuf Qardhawi telah
memaparkannya dalam bukunya berjudul Ash-Shahwah Al-Islamiyah (hlm. 29
dan seterusnya). Kami menyebutkannya secara ringkas seperti berikut ini:
1. Sikap ekstrem cenderung
dijauhi manusia, tidak disukai tabiat manusia secara umum. Jika sebagian kecil manusia
mampu “bersabar” dalam ekstremitas, mayoritas manusia tidak sabar atasnya. Padalah
syariat-syariat diturunkan untuk semua manusia, bukan untuk kelompok tertentu. Karena
itu, Nabi Saw pernah marah kepada sahabat agung Mu’adz bin Jabal Ra ketika
berlama-lama dalam mengimami shalat manusia hingga sebagian mereka
mengadukannya kepada beliau. Beliau bersabda kepadanya, “Apakah kamu orang yang suka memberi cobaan wahai Mu’adz?” Beliau
mengulangi sabdanya ini hingga tiga kali.[1]
Dalam kesempatan lain, beliau marah besar karena ulah seorang imam.
Beliau bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ
مُنَفِّرِيْنَ، فَأَيُّكُمْ مَا صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ
فِيْهِمْ الْمَرِيْضَ وَالْكَبِيْرَ وَالضَّعِيْفَ وَذَا الْحَاجَةِ.
“Wahai manusia, sesungguhnya di antara kalian
terdapat orang-orang yang menakut-nakuti. Karena itu, jika salah seorang di
antara kalian menjadi imam shalat, hendaklah memperingan shalatnya karena di
antara mereka terdapat orang sakit, orang tua, orang lemah dan orang yang
memiliki hajat.”[2]
Oleh karena itu, ketika Nabi Saw mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman,
beliau menasihati mereka berdua,
“Mudahkanlah dan jangan persulit, berilah
kabar gembira dan jangan menakut-nakuti, tolong-menolonglah dan jangan
berselisih.”[3]
Umar bin Khathab Ra berkata, “Janganlah kalian membuat Allah dibenci
hamba-hambaNya. Salah seorang di antara kalian menjadi imam shalat dan
memperpanjang shalatnya atas makmum hingga membuat mereka benci atas apa yang
mereka alami.”
2. Ekstremitas cenderung berumur pendek dan menurut kebiasaan tidak mudah terus melakukannya. Manusia memiliki sifat bosan dan kemampuannya
terbatas. Jika seseorang menetapi sikap yang keras dan mempersulit, maka tenaga
jiwa dan badannya akan terkuras. Ia akan bosan dan meninggalkan sikapnya,
bahkan mungkin memilih jalan lain yang berkebalikan dari yang telah
dia tempuh. Maksudnya, berpindah dari sikap yang ekstra keras menuju sikap yang
ekstra lunak. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah kita saksikan.
Oleh karena itulah, Rasulullah Saw bersabda,
“Orang yang terlalu menguras tenaganya, tidak
mampu mencapai tujuan dan tidak menyisakan tenaga badan.”[4]
Dari sini, Nabi Saw memberikan pengarahan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْأَعْمَالِ
مَا تُطِيْقُوْنَ، فَإِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا، وَإِنَّ أَحَبَّ
الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ.
“Wahai manusia, hendaklah kalian melakukan amal
sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya Allah tidak bosan hingga
kalian bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah amal yang
dilakukan secara kontinyu meskipun sedikit.”[5]
Ada seorang perempuan pembantu Nabi Saw
yang melakukan puasa pada waktu siang dan shalat pada waktu malam. Apa
yang dilakukannya ini disampaikan sebagian orang kepada beliau. Maka beliau
bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً " أي
حدة و نشاطاً " وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً "أي استرخاءاً وفتوراً"
فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِى فَقَدْ اهْتَدَى وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ
إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ ضَلَّ
“Sesungguhnya setiap amal ada waktu semangatnya dan
setiap waktu semangat ada waktu kendornya. Maka barangsiapa yang pada waktu
kendornya menuju kepada Sunnahku, dia mendapat petunjuk dan barangsiapa yang pada waktu kendonya menuju selain itu,
maka dia tersesat.”[6]
Rasulullah Saw bersabda,
“Sesungguhnya agama itu mudah dan tidak ada
seorang pun yang mempersulitnya kecuali agama mengalahkannya. Maka berkatalah
yang baik, berusahalah dekat dengan kebaikan, bergembiralah dan pergunakanlah
waktu pagi, waktu sore dan sebagian waktu malam.”[7]
Syaikh Munawi mengatakan di dalam syarahnya, “Maksudnya, tidak ada
seorang pun terlalu memaksakan diri dalam beribadah dan meninggalkan sifat
belas kasih, kecuali dia akan menjadi lemah, lalu kalah. Berpeganglah pada kebenaran
tanpa sikap yang ekstrem. Jika kamu tidak mampu mengambil yang sempurna, maka
berusahalah dekat dengannya. Bergembiralah dengan amal yang berkelanjutan meskipun
sedikit.”
3. Ekstremitas mengakibatkan
zalim terhadap hak-hak lain yang wajib dijaga dan kewajiban-kewajiban yang
wajib dilaksanakan. Ahli hikmah mengatakan, “Aku tidak melihat sikap yang
melebihi batas kecuali ada hak yang terabaikan di sisinya.”
Ketika Rasulullah Saw mendengar ibadah Abdullah bin Umar yang berlebihan
sehingga melalaikan hak keluarganya, beliau bersabda, “Benarkah kamu senantiasa
puasa siang dan shalat malam?” Abdullah bin Umar menjawab, “Betul, wahai Rasul.” Rasulullah
Saw bersabda, “Janganlah kamu lakukan. Puasalah dan berbukalah, shalatlah dan
tidurlah. Sesungguhnya jasadmu punya hak, matamu punya hak, istrimu punya hak,
dan tamumu punya hak.”[8]
Demikian juga sahabat agung, Salman Al-Farisi Ra berkata kepada
saudaranya yang ahli ibadah dan mengambil jalan zuhud, yakni Abu Darda` Ra. Rasulullah Saw
telah mempersaudarakan mereka berduanya sehingga saling mencintai.
Salman mengunjungi Abu Darda`. Salman melihat Ummu Darda` berpenampilan remeh.
Salman bertanya kepadanya, “Kenapa kamu bersikap seperti itu?” Ia menjawab,
“Saudaramu Abu Darda` tidak butuh dunia.” Lalu Abu Darda` datang dan
menyuguhkan makanan. Salman berkata, “Makanlah.” Abu Darda` berkata, “Aku sedng
berpuasa.” Salman berkata, “Aku tidak akan makan hingga kamu makan.” Abu Dada`
pun makan.
Ketika waktu telah malam, Abu Darda` bangun. Salman berkata, “Tidurlah.”
Kemudian Abu Darda bangun lagi untuk shalat. Salman berkata, “Tidurlah.” Ketika
waktu akhir malam, Salman berkata, “Sekarang bangunlah.” Mereka berdua
melakukan shalat. Lalu Salman berkata, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak
atasmu, badanmu memiliki hak terhadapmu, dan keluargamu memiliki hak terhadapmu. Berikanlah
setiap hak kepada pemiliknya.”
Abu Darda` kemudian mendatangi Nabai Saw dan menceritakan hal
tersebut kepada beliau. Beliau bersabda, “Salman benar.”[9]
[3]
HR. Bukhari, nomor 2873 dan Muslim,
nomor 1733 dari Said bin Abi Bardah dari ayahnya dari kakeknya.
[4]
HR. Baihaqi, 3/18, nomor 4520 dari
Jabir bin Abdillah Ra.
Haitsami mengatakan dalam Majma’ az-Zawa`id, “Hadis ini diriwayatkan
Bazzar. Di dalam sanadnya ada Yahya bin Mutawakil Abu Uqail. Dia seorang
pendusta.”
[5]
HR. Bukhari, nomor 5523 dan Muslim,
nomor 215.
[6]
Haitsami menyebutkannya dalam Majma’
az-Zawa`id (nomor 3560) dan mengatakan, “Hadis ini diriwayatkan Bazzar
dengan para perawi shahih.”
[7]
HR. Bukhari, nomor 39 dari Abu
Hurairah Ra.
[8]
HR. Bukhari, nomor 1874 dan Muslim,
nomor 1159 dari Abdullah bin Amr bin Ash Ra.
[9]
HR. Bukhari, nomor 1867 dari
Juhaifah Ra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar