Membuka bab ini, kedua penulis
bertanya-tanya, bagaimana jika pelaku amar makruf nahi mungkar memperkirakan
bahwa kemungkaran tidak akan berhenti dengan tindakannya, malah bisa berubah
menjadi kemungkaran yang lebih dahsyat lagi? Dalam keadaan seperti ini, apakah
penegak amar makruf nahi mungkar
sebaiknya meneruskan tindakannya untuk menghentikan kemungkaran, ataukah
sebaiknya ia tidak meneruskan usaha tindakannya tersebut? Jika ia memutuskan meneruskan usahanya itu, apakah berarti ia harus
bersikap masa bodoh dengan akibat usahanya itu, yaitu kemungkinan berubahnya
kemungkaran menjadi kemungkaran yang lebih besar?
Kedua penulis lalu mencontohkan
beberapa kasus. Misalnya menyiram wajah perempuan yang bersolek dengan air
mendidih, atau menghancurkan kuburan orang-orang yang tidak diketahui
identitasnya, atau menggusur lokalisasi prostitusi tanpa memberikan solusi
alternatif pilihan alih pekerjaan. Tindakan-tindakan tersebut memang bisa
diniatkan sebagai penegakan nahi
mungkar, tetapi justru dapat menimbulkan kemungkaran atau mudharat yang jauh lebih besar. Atas tindakan-tindakan seperti itu, Asy-Syathibi menyebutnya sebagai tindakan yang tidak benar dan tidak
sesuai dengan ajaran syariat. Jika kemaslahatan yang lebih besar tidak dicapai
maka suatu tindakan tidak bisa dikatakan menjadi amar makruf nahi mungkar. Demikian dinyatakan juga oleh Al-Izz bin Abdussalam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun dalam kitab Fatawa-nya
mengatakan bahwa syariat Islam diajarkan untuk mendatangkan maslahat dan
menjauhkan mudharat. Jika ada dua maslahat bertentangan maka yang diperjuangkan
adalah maslahat yang lebih besar, sedangkan bila ada dua mudharat yang mungkin
timbul maka yang dijauhkan adalah mudharat yang lebih besar. Allah Swt
berfirman, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi.
Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya....’” (QS.
Al-Baqarah [2]: 219).
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa perintah melakukan amar makruf nahi mungkar
memang disebutkan secara umum. Artinya seperti tidak ada pengecualian sama sekali. Namun, menurut Imam Al-Ghazali, pada praktiknya, penegakan amar makruf
nahi mungkar harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan
begitu, memungkinkan adanya pengecualian dalam tindakan amar makruf nahi
mungkar, baik berdasarkan ijmak maupun qiyas (silogisme). Tindakan yang dilakukan dalam nahi mungkar, misalnya, harus dilihat
dari pelaku kemungkarannya, tidak sekadar perbuatan mungkarannya. Jika jelas diketahui bahwa pelaku kemungkaran itu tidak
mungkin bisa dicegah atau ditanggulangi dari kemungkaran tersebut maka bisa
jadi memang tak ada gunanya menegakan nahi mungkar
terhadapnya.
Kedua penulis bahkan menyatakan,
jika seseorang memperkirakan penegakan nahi mungkar
justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar maka tanpa diragukan lagi wajib
baginya untuk meningalkan penegakan nahi mungkar. (hal. 141)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar