Ekstremisme mempunyai banyak bentuk. Syaikh Yusuf Qardhawi telah
memaparkannya dan di sini kami kutipkan secara ringkas dengan beberapa
tambahan. Bentuk-bentuk sikap ekstrem antara lain:
1. Fanatisme pendapat dan tidak mau
mengakui pendapat lain dalam masalah-masalah ijtihad.
Seringkali masalah-masalah ijtihad dijadikan sebagai perkara yang wajib
diyakini; hanya ada satu kebenaran yaitu pendapatnya sendiri. Orang yang bersikap
demikian tidak mau mendengar argumen-argumen orang lain, tidak mau berpikir
tentangnya, tidak mau membandingkan pendapatnya dengan pendapat mereka,
kemudian mengambil pendapat yang dia anggap lebih cemerlang dan lebih kuat.
Anehnya, sebagian mereka membolehkan dirinya berijtihad dalam masalah
yang paling rumit, padahal dia bukan ahli ijtihad, namun tidak membolehkan
ulama yang ahli ijtihad untuk berijtihad sebagaimana dia. Ini merupakan fanatik
yang dibenci dimana dia menetapkan dirinya dan meniadakan lainnya. Seolah dia
mengatakan, “Aku berhak bicara dan kamu wajib mengikuti. Pendapatku benar yang
tidak mungkin salah dan pendapatmu salah yang tidak mungkin benar. Dengan sikap
seperti ini, dia tidak akan bertemu dengan orang lain selama-lamanya.
Permasalahannya bertambah besar ketika ia memaksakan pendapat kepada
orang lain dengan tongkat yang besar. Tongkat di sini bukan dari besi atau
kayu. Hal itu karena dia memaksakan pendapat dengan cara melontarkan tuduhan
bid’ah (tindakan mengada-ngada dalam agama), meremehkan agama, kafir dan
keluar dari agama. Sesungguhnya teror pemikiran ini lebih menakutkan dan lebih
mengancam daripada teror fisik.
2. Mewajibkan
banyak hal yang Allah tidak mewajibkannya.
Di antara bentuk ekstrem dalam beragama adalah bersikap keras, padahal ada faktor-faktor yang
memudahkan. Orang yang bersikap ekstrem mewajibkan orang lain untuk
mengikuti pendapatnya yang keras.
Seorang muslim tidak patut menolak kemudahan ketika mengalami kondisi
sulit atau menolak kemurahan yang diberikan Allah, lalu dia menetapi sisi yang
sulit dalam segala keadaan. Ia tidak mau mengambil yang mudah, padahal Allah
telah mendatangkan kemudahan. Rasulullah Saw bersabda,
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا
وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا.
“Mudahkanlah dan janganlah mempersulit, berilah
kabar gembira dan jangan menakut-nakuti.”[1]
Beliau bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى
رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ.
“Sesungguhnya Allah suka kemurahan-kemurahannya
diambil sebagaimana membenci maksiat kepada-Nya dilakukan.”[2]
Allah Swt berfirman,
“Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (Qs. Al-Baqarah [2]: 185).
Seorang Muslim tidak boleh mewajibkan banyak manusia dengan sesuatu yang
mempersulit mereka dalam agama dan dunia mereka, padahal sifat Rasulullah Saw
yang paling tampak adalah sebagaimana yang difirmankan Allah,
“Dan yang menghalalkan segala
yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan
membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka” (Qs. Al-A’râf [7]: 157).
Apabila shalat sendirian, Rasulullah Saw memperpanjang shalatnya dan apabila menjadi imam
shalat, beliau meringankan shalat. Beliau bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ
فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ.
“Apabila salah seorang di antara kalian shalat
saendiri, silakan memperpanjang shalatnya sesuka hatinya.”[3]
Ibnu Mas’ud Ra meriwayatkan bahwa salah seorang berkata, “Ya Rasul,
sesungguhnya aku mengakhirkan shalat fajar karena imam shalat memperpanjang
shalatnya bersama kami.” Rasulullah Saw marah. Aku tidak pernah melihat beliau
marah seperti itu. Kemudian beliau bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ
مُنَفِّرِيْنَ فَمَنْ أمَّ بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ خَلْفَهُ
الضَّعِيْفَ وَالْكَبِيْرَ وَذَا الْحَاجَةِ.
“Wahai manusia, sesungguhnya di antara kalian ada
orang-orang yang menakut-nakuti. Barangsiapa yang mengimami manusia, hendaklah
meringankan shalatnya karena sesungguhnya di belakangnya ada orang lemah, orang
tua dan orang yang memiliki hajat.”
Beliau bersabda kepada Mu’adz, “Apakah
kamu orang yang suka menyiksa wahai Mu’adz?” Beliau mengulangi sabdanya ini
tiga kali.[4]
Beliau bersabda,
إِنِّى لأَدْخُلُ فِى الصَّلاَةِ وَأَنَا
أُرِيدُ إِطَالَتَهَا ، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِىِّ ، فَأَتَجَوَّزُ فِى
صَلاَتِى مِمَّا أَعْلَمُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ.
“Sesungguhnya aku masuk di dalam shalat dan aku
ingin memperpanjangnya, lalu aku mendengar tangisan anak kecil, maka aku mempercepat
shalatku karena aku mengetahui beratnya kesedihan sang ibu sebab tangisan anak
kecilnya.”[5]
Termasuk sikap keras terhadap manusia adalah mengawasi mereka dalam
melaksanakan perkara-perkara sunnah (dianjurkan)
seolah perkara-perkara fardhu (kewajiban) dan
perkara-perkara makruh (tidak dianjurkan) seolah perkara-perkara haram.
Seharusnya tidak boleh mewajibkan manusia kecuali dengan apa yang telah
diwajibkan Allah secara yakin. Selebihnya, manusia berhak memilih antara
melakukan atau meninggalkan. Cukuplah dalil kita dalam hal ini Hadis Thalhah
bin Ubaidillah Ra tentang kisah seorang Arab Baduwi (pedalaman) yang
bertanya kepada Nabi Saw tentang apa-apa yang diwajibkan kepadanya. Lantas
beliau memberitahukan dengan shalat lima waktu, zakat dan puasa Ramadhan. Ia
bertanya, “Apakah ada kewajiban lainnya?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali jika
kamu ingin melakukan sunnah.” Ketika berpaling orang tersebut berkata, “Demi
Allah, aku tidak akan menambahi ini dan tidak menguranginya.” Maka Nabi Saw
berasbda, “Dia beruntung jika benar, atau dia masuk surga jika benar.”[6]
3. Bersikap
keras tidak pada tempatnya.
Di antara perkara yang diingkari adalah bersikap keras yang tidak
semestinya. Misalnya, bersikap keras terhadap orang yang baru masuk Islam atau
baru bertaubat atau di luar negara Islam. Terhadap mereka sepatutnya kita
mempermudah dalam urusan-urusan yang tidak
erlalu pokok.
Hendaknya kita memfokuskan perkara-perkara yang umum sebelum perkara-perkara
yang bersifat bersifat fundamental dan meluruskan akidah mereka terlebih dahulu.
Jika hal itu terpenuhi, maka kita mengajak mereka menuju rukun-rukun Islam,
cabang-cabang iman dan tingkatan-tingkatan perbuatan baik.
Oleh karena itulah, Rasulullah Saw bersabda kepada Mu’adz ketika hendak
mengutusnya ke Yaman,
إِنَّكَ تَأْتِى قَوْمًا مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ. فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّى
رَسُوْلُ اللهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ
افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ
أَطَاعُوْا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً
تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ.
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum Ahlul
Kitab. Maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku utusan Allah. Jika mereka
menaatinya, beritahukan kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan
shalat lima waktu dalam satu hari satu malam. Jika mereka menaatinya,
beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan zakat yang
diambil dari orang-orang kaya di antara mereka lalu dibagikan kepada
orang-orang fakir di antara mereka.”[7]
Perhatikanlah, bagaimana beliau memerintahkan agar melalui
tahapan-tahapan dalam berdakwah. Dakwah dimulai dengan masalah yang prinsip
yaitu dua syahadat. Jika mereka telah melakukan ini, mereka diajak untuk
melakukan rukun kedua yaitu shalat. Dan jika mereka telah melakukan rukun
kedua, mereka diajak untuk melakukan rukun ketiga yaitu zakat.
Terkadang kita menemukan sebagian pemuda muslim Arab yang mempunyai
semangat tinggi mengingkari saudara-saudara mereka yang menggunakan celana,
bukan pakaian gamis putih Arab dan meningkari mereka memakan di atas meja,
bukan di atas tanah. Padahal yang lebih patut bagi mereka adalah mengajak
manusia untuk bertauhid kepada Allah, mengingatkan akhirat dan nilai-nilai agama yang tinggi.
4.
Bersikap kasar.
Di antara bentuk sikap ekstrem adalah sikap yang kasar dalam berhubungan sosial dan dakwah kepada Allah.
Hal ini bertentangan dengan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt
berfirman,
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka
dengan cara yang baik” (Qs. An-Nahl [16]: 125).
Allah Swt menyifati Rasul-Nya dengan bersabda,
“Sungguh, telah datang kepadamu
seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan
dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang
beriman” (Qs. At-Taubah [9]:
128).
Allah berfirman,
“Maka berkat rahmat Allah
engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau
bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 159).
Sesungguhnya bidang dakwah membutuhkan sikap lemah lembut, santun dan
ilmu. Tidak ada tempat kasar dan keras di dalamnya. Rasulullah Saw bersabda,
إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ
فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ.
“Sesungguhnya Allah Dzat yang lembut dan menyukai
kelembutan dalam segala urusan.”[8]
Dalam sebuah atsar disebutkan, “Barangsiapa yang memerintahkan perkara
yang makruf, hendaklah perintahnya dengan cara yang makruf.”
Nabi Saw bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيءٍ
إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ.
“Sesungguhnya lemah lembut
tidak ada dalam sesuatu kecuali menghiasinya dan tidak dicabut dari sesuatu
kecuali memperburuknya.”[9]
Sikap yang lemah lembut akan berpengaruh terhadap pikiran dan masuk ke
dalam hati sanubari sehingga akal dan hatinya mudah menerima nasihat.
Sangat disayangkan, kita menemukan sebagian pemuda pergerakan Islam
berinteraksi dengan manusia tanpa membedakan antara orang tua dan anak kecil,
orang yang harus dihormati secara khusus seperti ayah dan ibu dan orang yang
tidak demikian, antara orang yang berhak dihormati dan dimuliakan seperti
ulama, ahli hukum Islam, guru, pendidik dan orang yang tidak demikian, antara orang yang dimaafkan dan
orang yang tidak dimaafkan, antara orang yang bodoh dan orang yang memusuhi
Islam secara sengaja dan sadar.
5.
Berburuk sangka kepada manusia.
Di antara sikap ekstrem adalah berburuk sangka kepada orang lain.
Berburuk sangka merupakan prinsip orang yang bersikap ekstrem. Hal ini
tentunya bertentangan dengan apa yang ditetapkan undang-undang, “Sesungguhnya
orang yang dituduh, bebas dari tuduhan dengan adanya bukti.”
Kita menemukan orang-orang yang bersikap ekstrem dan keras cepat berburuk sangka
dan mudah menuduh karena sebab yang remeh sekalipun. Mereka tidak berusaha memaafkan
orang lain. Bahkan mereka mencari-cari aib dan kesalahan. Mereka menjadikan
kesalahan yang tidak disengaja menjadi kesalahan yang disengaja dan dari
kesalahan biasa menjadi kekafiran.
Jika ada suatu pendapat yang mengandung dua kemungkinan; kemungkinan baik
dan kemungkinan buruk, mereka memilih kemungkinan buruk. Hal ini bertentangan
dengan kaidah yang ditetapkan para ulama bahwa secara prinsip, menganggap orang
muslim sebagai orang yang baik.
Barangsiapa yang menyelisihi mereka dalam suatu pendapat atau perilaku
karena memiliki sudut pandang tersendiri, dia akan dituduh berbuat maksiat,
bid’ah atau meremehkan Sunnah. Jika kamu menyelisihi mereka dalam suatu sunnah
membawa tongkat atau makan di atas tanah, mereka akan menuduhmu sebagai orang
yang tidak menghormati Sunnah atau tidak mencintai Rasulullah Saw.
Mereka tidak hanya berburuk sangka terhadap orang awam. Mereka juga
berburuk sangka terhadap orang-orang khusus (para ulama). Jika seorang ahli hukum Islam mengeluarkan
suatu fatwa yang memudahkan manusia, akan dianggap mereka sebagai orang yang
mengentengkan agama.
Mereka tidak hanya menuduh orang yang masih hidup. Orang-orang yang sudah
meninggal pun tidak lepas dari tuduhan mereka. Misalnya, para imam mazhab yang
jelas memiliki keutamaan dan tempat di hati umat dalam segala zaman, tidak
lepas dari lisan dan buruk sangka mereka.
Sesungguhnya hobi mengkafirkan kaum muslimin merupakan hobi yang lama dan
kesukaan mereka mengkritik orang lain dan memuji diri sendiri merupakan perkara
yang sudah dikenal. Padahal Allah Swt berfirman,
“Maka janganlah kamu menganggap
dirimu suci” (Qs. An-Najm [53]:
32).
Sesungguhnya cacat mereka adalah buruk sangka yang telah tertanam dalam
hati mereka. Andaikata mereka kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, niscaya
mereka akan menemukan sesuatu yang menanamkan baik sangka kepada kaum muslimin.
Jika seseorang menemukan aib, ia akan merahasiakannya agar Allah menutupi
aibnya di dunia dan akhirat. Rasulullah Saw bersabda,
"..
مَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللهُ فِي
عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ.
“Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim,
Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan akhirat. Allah akan menolong hamba
selama ia menolong saudaranya.”[10]
Jika ia menemukan kebaikan, maka ia menampakkannya dan menyiarkannya. Allah
Swt. berfirman,
“Wahai orang-orang yang
beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu
dosa” (Qs. Al-Hujurât
[49]: 12).
Rasulullah Saw bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ.
“Jauhilah prasangka, sesungguhnya prasangka itu pembicaraan
yang paling buruk.”[11]
Pangkal dari itu semua adalah tertipu diri dan meremehkan orang lain.
Nabi Saw telah memberi peringatan tentang hal ini. Beliau bersabda,
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ: هَلَكَ النَّاسُ،
فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ.
“Jika seseorang berkata, “Manusia binasa,” maka
dialah yang paling binasa.”[12]
Kebanyakan mereka memakai kacamata hitam. Karena itu, mereka tidak
memandang kecuali kekurangan-kekurangan. Seringkali kamu menemukan mereka
mengkritik orang lain dan tidak menaruh simpati kepada siapa pun selain mereka. Jika kamu bertanya tentang seseorang, dia akan
menyebutkan kekurangan-kekurangannya dan diam dari kebaikan-kebaikannya.
Keadaan yang paling baik, mereka menyebutkan sedikit kebaikannya dan
merendahkannya. Ini merupaka pandangan yang tidak adil dan penyimpangan dari
jalan yang lurus. Allah Swt berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman!
Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu
kerjakan” (Qs. Al-Mâ`idah [5]: 8).
Allah Swt berfirman,
“Wahai orang-orang yang
beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun
terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia
(yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan
(kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan” (Qs. An-Nisâ` [4]:
135).
Yang dimaksud menjadi saksi karena Allah, bersikap adil karena Allah
bukan karena dunia. Jika yang disaksikan orang kaya, bersikaplah adil dalam
haknya. Janganlah kekayaannya mendorongmu untuk berbuat zalim terhadapnya atau
memberikan hak yang lebih dari haknya. Dan jika yang disaksikan orang fakir,
janganlah kefakirannya mendorongmu untuk berbuat zalim terhadapnya atau kamu
memberi hak yang lebih dari haknya.
Orang muslim wajib bersikap adil dan menimbang manusia dengan timbangan
syariat. Barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya lebih banyak daripada
keburukan-keburukannya, maka dia orang saleh. Dia tidak boleh dipandang dengan
pandangan yang negatif secara total. Orang muslim tidak patut mencela saudaranya
yang muslim. Rasulullah Saw bersabda,
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ
أَخَاهُ الْمُسْلِمَ.
“Cukuplah seseorang itu jahat ketika ia meremehkan
saudaranya muslim.”[13]
Dhamdam bin Jaus Al-Yamani berkata, “Abu Hurairah berkata kepadaku,
“Wahai Yamani, janganlah kamu berkata kepada seseorang, ‘Demi Allah, Allah
tidak mengampunimu,” atau “Allah tidak memasukkanmu ke dalam surga selamanya.”
Aku berkata, “Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya ini kata-kata yang sering
diucapkan salah seorang di antara kami kepada saudaranya ketika sedang marah.”
Abu Hurairah berkata, “Janganlah kamu mengatakannya, karena sesungguhnya aku
telah mendengar Rasulullah Saw bersabda,
‘Ada dua orang bani Israil.
Salah satu tekun beribadah dan yang lain banyak berbuat dosa. Keduanya, saling
bersaudara. Orang yang tekun senantiasa memandang saudaranya sebagai orang
banyak berbuat dosa. Ia berkata, ‘Wahai temanku, bertaubatlah.’ Temannya
berkata, ‘Biarkan aku dengan Tuhanku. Apakah kamu diutus untuk mengawasiku?’
Hingga suatu hari, ia melihat temannya melakukan dosa besar. Ia berkata
kepadanya, ‘Celaka kamu, berhentilah.’ Temannya berkata, ‘Biarkan aku dengan
Tuhanku. Apakah kamu diutus untuk mengawasiku?’ Ia berkata, ‘Demi Allah, Allah
tidak mengampunimu atau memasukkanmu ke dalam surga selamanya.’ Lalu Allah
mengutus malaikat kepada mereka berdua dan mencabut nyawa mereka. Keduanya
berkumpul di sisi-Nya, lalu Dia berkata kepada orang yang berdosa, ‘Pergilah
dan masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku.’ Dan berkata kepada yang lain,
‘Apakah kamu mengetahui-Ku, apakah kamu berkuasa atas apa yang ada di
tangan-Ku? Bawalah orang ini ke neraka.’ Nabi bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwa
Abul Qasim di tangannya, dia telah mengatakan suatu perkataan yang membuatnya
rugi dunia dan akhirat.’”[14]
Orang yang satu melihat temannya berbuat mungkar. Lalu dia berkeyakinan
bahwa Allah tidak mengampuninya selama-lamanya dan tidak memasukkannya ke dalam
surga. Ini adalah keyakinan yang batil karena rahmat Allah meliputi segala
sesuatu. Tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi rahmat Allah.
6.
Pandangan idealis terhadap masyarakat.
Sebagian dari bentuk ekstremitas adalah, seorang melihat masyarakat
dengan pandangan yang idealis. Dia meyakini bahwa sepatutya masyarakat muslim adalah
masyarakat yang bersih dari dosa dan di bawah kepemimpinan cinta, kasih sayang,
dan ketaatan yang sempurna. Jika masyarakat sekarang seperti ini, maka dia
disebut masyarakat muslim dan jika ditemukan maksiat-maksiat di dalamnya, maka
disebut masyarakat jahiliyah, alias tidak Islami.
Hal ini merupakan sikap ekstrem dalam keagamaan dan jauh dari realitas. Manusia disebut insân karena banyak lupa. Dan
sesungguhnya anak Adam itu sering berbuat salah, sebagaimana yang disabdakan Nabi
Saw[15]
Jika manusia tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan manusia yang
berbuat dosa, lalu meminta ampunan dan Allah mengampuni mereka, sebagaimana
yang terdapat dalam Hadis Nabi Saw.[16]
Sesungguhnya maksiat dan dosa-dosa telah ada dalam semua umat dan para
pengikut Rasul-rasul. Maka jika selain pengikut para Rasul melakukan maksiat dan
dosa, itu sudah wajar. Dosa dan maksiat
dilakukan manusia dalam sebaik-baik abad, yakni abad Nabi Saw, para sahabat dan
tabi’in. Abad ini tidak terlepas dari maksiat, baik besar maupun kecil. Kami
akan menjelaskannya agar orang-orang berpandangan idealis kembali kepada
realita manusia yang lemah dan kurang. Ini merupakan ciri manusia. Allah Swt
berfirman, “Manusia diciptakan (bersifat)
lemah” (Qs. An-Nisâ` [4]: 28).
Kami menyebutkan Hadis-Hadis yang menunjukkan kemanusiaan para sahabat
dan bahwa pada zaman mereka ada orang yang membunuh, mencuri, berbuat zina, meminum khamar dan maksiat-maksiat lainnya. Maksud kami
tidak mencela para sahabat karena mereka adalah sebaik-baik umat. Kami hanyalah
bermaksud menjelaskan bahwa maksiat tidak hilang dari manusia selama-lamanya
dan bahwa sebaik-baik abad pun tidak bersih dari maksiat. Maka secara logis,
maksiat lebih banyak terjadi pada abad-abad setelahnya. Namun, hal ini tidak
mengeluarkan umat Islam dari keislamannya. Tidak ada seorang pun yang boleh
menyifatinya sebagai umat yang murtad atau zaman jahiliyah seperti jahiliya
sebelum Islam.
Berikut ini kisah maksiat dan dosa-dosa yang terjadi pada zaman sahabat.
1. Anas
bin Malik Ra meriwayatkan bahwa sekelompok orang dari Urainah datang kepada Rasulullah
Saw di Madinah. Lalu mereka mengalami sakit perut. Maka beliau bersabda kepada
mereka, “Jika kalian mau, menujulah ke unta shadaqah dan kalian meminum air
susu dan air kencingnya.” Mereka melakukan saran beliau dan mereka sembuh.
Namun, kemudian mereka menuju kepada para penggembala dan membunuh mereka.
Mereka murtad dari Islam dan membawa kabur unta-unta Rasulullah Saw Berita ini
sampai kepada beliau. Maka beliau memerintahkan pengejaran. Mereka berhasil
ditangkap. Beliau memotong tangan dan kaki mereka, mencongkel mata mereka dan membiarkan mereka di
bawah terik panas matahari hingga mati.
Anas Ra mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Saw mencongkel mata mereka karena
mereka mencongkel mata para penggembala.”[17]
2. Di awal kedatangan Islam
terjadi orang yang murtad dari Islam karena penyiksaan yang dilakukan kaum
musyrik. Ibnu Ishaq mengatakan dalam kitab Sirah-nya, “Maka semua kabilah memusuhi kaum muslimin
yang ada di dalamnya. Mereka menahan dan menyiksa dengan pukulan, rasa lapar dan
haus di bawah panasnya matahari kota Mekah. Sebagian orang yang disiksa ada
yang tidak tahan dengan penyiksaan ini dan sebagian mereka ada yang ada
bersabar atas penyiksaan ini.”[18]
3. Ketika Rasulullah
Saw menceritakan Isra dan Mikrajnya kepada kaum Arab, banyak di antara mereka yang sudah kembali
murtad dari Islam. Ibnu Ishaq mengatakan, “Rasulullah Saw mengabarkan kisah Isra dan Mikraj kepada mereka. Kebanyakan
orang berkata, “Sesungguhnya masalah ini jelas sekali. Perjalanan unta dari
Mekah ke Syam membutuhkan waktu dua bulan, pulang dan pergi. Apakah Muhammad
menempuhnya dalam satu malam? Maka banyak orang yang awalnya telah
masuk Islam menjadi murtad.”[19]
4. Ayyasy
bin Abi Rabi’ah masuk Islam dan hijrah ke Madinah. Kemudian kaumnya datang dan
mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya ibumu bernazar tidak menyisir rambut dan
tidak berteduh di bawah matahari hingga melihatmu. Ayyasy tersentuh hatinya dan
kembali ke kota Mekah. Ketika sampai di Mekah, mereka menyiksanya hingga
kembali ke agama jahiliyah.
5. Alqamah
bin Wail menceritakan dari bapaknya, ia berkata, “Sesungguhnya aku duduk
bersama Nabi Saw. Lantas datanglah seorang laki-laki dan membawa laki-laki lain yang dia
ikat dengan tampar dari kulit. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
orang ini telah membunuh saudaraku.” Beliau bertanya, “Apakah kamu
membunuhnya.” Laki-laki tadi berkata, “Jika dia tidak mau mengakui, aku akan
menunjukkan bukti.” Laki-laki yang diikat berkata, “Ya, aku membunuhnya.”
Beliau bertanya, “Bagaimana kamu membunuhnya?” Ia berkata, “Awalnya kami dan
dia merontokkan daun-daun pohon. Lalu dia mencelaku dan membuatku marah. Maka
aku memukul kepalanya dengan kapak sehingga dia meninggal.”[20]
6. Abu
Hurairah Ra berkata, “Dua perempuan dari Hudzail bertengkar. Salah satunya
melempar temannya dengan batu hingga membuatnya terbunuh, termasuk janin yang
ada dalam perutnya. Mereka menyidangkan perkara ini kepada Rasulullah Saw. Lalu beliau memutuskan bahwa diyat
janinnya adalah budak laki-laki atau budak perempuan dan bahwa diyat perempuan dibebankan
kepada aqilah perempuan (yang membunuh).”[21]
7. Abu
Hurairah Ra berkata, “Seoang lelaki muslim datang kepada Rasulullah Saw di
masjid. Ia memanggil Nabi, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina.’
Beliau berpaling darinya. Laki-laki tadi kembali menghadap beliau dan berkata,
‘Wahai Rasulullah, aku telah berbuat zina.’ Beliau kembali berpaling. Hal ini
diulangi sampai empat kali. Ketika laki-laki ini bersaksi dengan empat kali
kesaksian, Rasulullah Saw memanggilnya. Beliau bersabda, ‘Apakah kamu gila?’ Ia
menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertaya, ‘Apakah kamu muhshan (telah menikah)?’ Ia
menjawab, ‘Ya.’ Beliau lantas bersabda, ‘Bawalah dia dan rajamlah.’[22]
Jika maksiat dan dosa telah terjadi pada zaman Nabi Saw, padahal zaman Nabi
Saw zaman yang terbaik tanpa diperdebatkan lagi, maka maksiat dan dosa seperti
ini atau lebih parah lagi yang terjadi dalam masyarakat sekarang, seseorang tidak boleh menyebut
masyarakat sekarang sebagai masyarakat jahiliyah atau masyarakat kafir.
Pada zaman dahulu, sebagian tabi’in memandang masyarakatnya dengan
pandangan idealis. Lalu mereka menemukan Kitabullah tidak seluruhnya diamalkan.
Hal ini terjadi pada zaman khalifah Umar bin Khathab Ra. Mereka pergi kepada sang
khalifah untuk memperbincangkan masalah kekurangan ini. Marilah kita lihat
kisahnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hasan bahwa sesungguhnya beberapa orang
menanyai Abdullah bin Amr bin Ash di Mesir. Mereka berkata, “Kami melihat
beberapa hal yang diperintahkan Al-Quran, namun tidak diamalkan. Kami ingin
bertemu dengan Amirul Mukminin untuk membahas masalah ini. Abdullah bin Amr bin
Ash datang bersama mereka. Abdullah bin Amr menemui Umar bin Khathab Ra. Ia bertanya, “Kapan kamu
datang?” Abdullah mengatakan, “Sejak demikian dan demikian.” Umar bertanya,
“Apakah dengan izin kamu datang?” Ia berkata, “Tidak.” Aku tidak mengetahui,
bagaimana ia menjawab. Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya
orang-orang menemuiku di Mesir. Mereka berkata, “Kami melihat beberapa hal yang
diperintahkan Al-Quran, namun tidak diamalkan.” Mereka ingin menemuimu terkait
dengan masalah tersebut.” Umar berkata, “Kumpulkanlah mereka kepadaku.” Mereka
dikumpulkan. Orang yang paling muda ditanyai Umar, “Terimakasih atas
perhatianmu dengan urusan Islam. Apakah kamu membaca Al-Quran seluruhnya?” Ia
menjawab, “Ya.” Umar berkata, “Apakah kamu menjaganya dalam dirimu?” Ia
menjawab, “Tidak.” Jika dia menjawab, ya, aku akan memperkarakannya. Umar
bertanya, “Apakah kamu menjaganya dalam pandanganmu? Apakah kamu menjaganya
dalam ucapanmu? Apakah kamu menjaganya dalam jejakmu?” Umar menanyai satu per
satu hingga yang terakhir. Yang terakhir berkata, “Benarlah Umar, apakah kalian
membebaninya untuk menegakkan manusia di atas Kitabullah? Sesungguhnya Tuhan
kita mengetahui bahwa kita memiliki keburukan-keburukan.” Kemudian ia membaca
firman Allah,
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa
besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu” (Qs. An-Nisâ` [4]: 31).[23]
Perhatikanlah bagaimana mereka ingin seluruh umat Islam menjalankan
Al-Quran dan Sunnah dan tidak meninggalkan sesuatu apa pun darinya, baik kecil maupun
besar. Lalu Umar membantah mereka dan mengatakan, “Sesungguhnya kalian tidak
mampu dan tidak akan mampu mempraktikkan Al-Quran dalam semua perbuatan dan
perkataan kalian. Bagaimana kalian memaksakan hal ini kepada seluruh umat
Islam?” sesungguhnya Allah telah mengetahui bahwa akan ada kekurangan dan
dosa-dosa. Hal ini merupakan perkara yang pasti. Maka tidak patut seorang
muslim mengkhayalkan tentang masyarakat
yang murni dari dosa dan kesalahan, karena hal ini tidak akan pernah terjadi.
Setiap anak Adam berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah
yang mau bertaubat.
7.
Terjerumus dalam jurang pengkafiran.
Sikap ekstrem mencapai puncaknya ketika menganggap kafir sesama muslim, darah, harta
dan kehormatan mereka halal. Mereka menuduh jumhur manusia keluar dari Islam
atau tidak masuk Islam sama sekali, seperti pengakuan sebagian mereka. Ini
merupakan puncak ekstremitas yang menjadikan pemiliknya dalam jurang, umat manusia dalam jurang yang
lain.
Inilah yang telah terjadi dalam kelompok Khawarij pada awal Islam. Mereka
orang yang sangat gigih memegang syiar-syiar ibadah; shalat, puasa, dan baca
Al-Quran. Kerusakan mereka dari pemikiran mereka, bukan dari hati mereka. Setan
menghias keburukan amal mereka sehingga mereka memandangnya bagus. Mereka
tersesat di dunia dan mereka menyangka bahwa mereka berbuat kebaikan. Karena
itu, Nabi Saw menyifati mereka dengan sabdanya, “Salah seorang di antara kalian meremehkan shalatnya dibanding dengan
shalat mereka, bacaannya dibanding dengan bacaan mereka...” meskipun
demikian beliau bersabda tentang mereka, “Mereka
terlepas dari Islam sebagaimana anak panah terlepas dari busurnya.” Beliau
menjelaskan hubungan mereka dengan Al-Quran, “Mereka membaca Al-Quran tanpa melewati kerongkongan mereka (tidak
memahami maksudnya).”
Beliau menyebutkan tanda-tanda khusus mereka, yaitu mereka membunuh
orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang yang menyembah berhala.[24]
Apa yang terjadi pada kaum Khawarij zaman dahulu, juga terjadi pada
kalompok takfîr (pengkafiran) dan
hijrah (kelompok militan di Mesir). Mereka mengkafirkan setiap orang yang melakukan
maksiat dan terus menerus melakukannya tanpa bertaubat. Mereka mengkafirkan
pemerintah, rakyat, ulama, orang awam dan setiap orang yang mau menerima
pemikiran mereka dan tidak masuk ke dalam golongan mereka. Mereka mengkafirkan
orang yang menerima pemikiran mereka, tetapi tidak bergabung dengan mereka,
tidak membaiat imam mereka. Barangsiapa yang membaiat imam mereka dan bergabung
dengan mereka, kemudian keluar dari mereka karena suatu sebab, mereka
menganggapnya sebagai orang murtad yang halal darahnya.
Demikianlah mereka berlebihan dalam mengkafirkan orang lain. Mereka
mengkafirkan manusia, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal. Rasulullah Saw
telah memperingatkan tuduhan kafir. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang berkata kepada temannya, ‘Wahai orang kafir,’ maka
salah satunya kembali dengannya.” Maksudnya, jika yang dituduh tidak kafir,
tuduhan kembali kepada yang menuduh!
[1]
HR. Bukhari, nomor 69 dan Muslim,
nomor 1734 dari Anas Ra.
[2]
HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 2/108 dari Ibnu Umar Ra Syaikh
Arnauth mengataka bahwa Hadis ini shahih.
[3]
HR. Bukhari, nomor 671 dan Muslim,
nomor 467 dari Abu Hurairah Ra.
[4]
HR. Bukhari.
[5]
HR. Bukhari, nomor 677-687 dan
Muslim, nomor 470.
[6]
HR. Bukhari, nomor 1792 dan Muslim,
nomor 11.
[7]
HR. Bukhari, nomor 1331 dan Muslim,
nomor 19 dari Mu’adz bin Jabal Ra.
[8]
HR. Bukhari, nomor 6528 dan Muslim,
nomor 2165 dari Aisyah Ra.
[9]
HR. Muslim, nomor 2594 dari Aisyah
Ra.
[10]
HR. Bukhari, nomor 2580 dan Muslim,
nomor 2699 dari Abu Hurairah Ra.
[11]
HR. Bukhari, nomor 4849 dan Muslim,
nomor 2563 dari Abu Hurairah Ra.
[12]
HR. Muslim, nomor 2623 dari Abu
Hurairah Ra.
[13]
HR. Muslim, nomor 2564 dari Abu
Hurairah Ra.
[16]
HT. Tirmidzi, nomor 2.
[17]
HR. Bukhari, nomor 1671.
[20]
HR. Muslim, nomor 1780.
[21]
HR. Bukhari, nomor 6512 dan Muslim,
nomor 1681.
[22]
HR. Bukhari, nomor 6747 dan Muslim,
1691.
[23]
Ibnu Katsir mengatakan, “Sanad
riwayat ini shahih dan matannya bagus.”
[24]
HR. Ibnu Jarir Ath-Thabari dari Abu Said Al-Khudri Ra sebagaimana tersebut dalam Al-Fath, 12/302.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar