Syaikh Yusuf Qardhawi telah menyebutkan sebab-sebab dan faktor-faktor
yang mendoron terbentuknya ekstremitas. Kami menyebutkan sebagiannya secara ringkas beserta dengan tambahan-tambahan,
seperti berikut ini:
1. Wawasan
yang lemah tentang hakikat agama.
Di antara sebab-sebab munculnya ekstrem adalah wawasan yang lemah
tentang hakikat agama ini, pengetahuan yang sedikit untuk memahaminya dan
memperdalam ilmu tentang rahasia-rahasianya dan sampai kepada tujuan-tujuanya
dan ruhnya. Yang kami maksudkan di sini bukanlah ketidaktahuan yang mutlak tentang agama
ini. Ketidaktahuan seperti ini biasanya tidak mengantarkan
seseorang pada sikap ekstrem, akan
tetapi kepada sebaliknya yaitu terlepas dari aturan-aturan agama. Sesungguhnya
yang kami maksudkan dengan tidak tahu di sini ilmu yang setengah-setengah, tapi yang
bersangkutan menyangka
dirinya sebagai ulama besar, padahal dia masih tidak tahu banyak ilmu. Dia mengetahui secuil
ilmu dari sana-sini secara sepotong-sepotong. Ia memperhatikan bagian luar dan
tidak menyelam ke dalam. Ia tidak mengaitkan antara yang intrumenal dengan
yang fundamental, tidak mengembalikan yang mutasyabihat (multipemahaman)
kepada yang muhkamat (satu pemahaman) dan tidak
menguasai ilmu tarjih (mekanisme memilih pendapat
terabit di antara pendapat-pendapat yang ada) ketika terjadi pertentangan antara dalil yang
satu dengan yang lain. Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi berkata dalam kitab
Al-I’tisham, (2/173),
“Sebab awal adanya bid’ah dan perselisihan yang tercela dan menyebabkan
perpecahan umat menjadi kelompok-kelompok adalah keyakinan seseoang terhadap
dirinya atau dia diyakini sebagai ahli ilmu dan ijtihad dalam agama, padahal
dia belum mencapai derajat ijtihad. Hal inilah yang telah diperingatkan Hadis
shahih Nabi Saw,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ
انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَاِلمٌ اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً
جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا.
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara
langsung dari para hamba-Nya, akan tetapi mencabut ilmu dengan mencabut nyawa
para ulama. Sehingga apabila tidak tersisa ulama, manusia menjadikan
orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya dan memberikan fatwa
tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan.”[1]
Sejatinya, orang yang memiliki ilmu setengah-setengah, namun meyakini
dirinya benar-benar ulama, lebih berbahaya daripada orang sama sekali bodoh,
namun mengakui kebodohannya.
Sesungguhnya kebodohan akan mengarah pada pemahaman
yang dangkal dan hanya di permukaan. Sebagian pemuda berpegang dengan teks
keagamaan secara harfiah tanpa berusaha
memahai tujuan-tujuannya. Mereka tidak mengenal qiyas (silogisme), tidak
menggunakannya dan tidak memperhatikan ‘illat
(alasan hukum) dan hikmah di balik ketentuan syariat.
Sebagai contoh, sebuah Hadis dari Abdullah bin Umar Ra bahwa Rasulullah Saw
melarang Al-Quran dibawa ke negeri musuh.[2]
Orang yang memperhatikan alasan larangan ini mendapat kejelasan bahwa Nabi
Saw melarangnya karena khawatir orang-orang kafir menghinakan Al-Quran. Kita
menemukan para pemuda tersebut tidak memperhatikan alasan larangan ini. Mereka
melarang pergi ke negeri kafir dengan Al-Quran meskipun kaum muslimin di sana
amat membutuhkan mushaf untuk membaca, menghafal, dan mengajarkannya kepada
anak-anak mereka dan untuk dakwah terhadap orang-orang kafir.
Seorang ulama yang ahli dalam ilmu hukum Islam akan memberikan fatwa bolehnya
membawa pergi mushaf ke negeri-negeri kafir karena tidak adanya substansi alasan (‘illat) dalam larangan tersebut, yaitu
penghinaan terhadap mushaf. Hal ini juga sesuai dengan kaidah, hukum
berdasarkan (substansi) alasannya, dari segi ada dan tidak adanya (kaidah ushul ini dipraktikkan
para ulama mujtahid dengan ketentuan-ketentuannya). Jika ada (substansi) alasan, maka hukum ada. Dan jika
tidak ada (substansi) alasan, hukum tidak ada. Inilah yang telah diamalkan seluruh kaum
muslimin tanpa ada pengingkaran.
Contoh lain, Rasulullah Saw melarang musafir kembali ke rumah pada malam
hari.[3]
Alasan substansi dari larangan ini, ada dua: (1) menimbulkan
kesalahpahaman dan buruk sangka dan (2) membuat isteri tidak sempat berhias karena
tidak tahu kedatangannya. Namun, sekarang jika suami mengabari kedatangannya pada
malam hari melalui telefon, maka hilanglah (substansi)
larangan sehingga hukum
larangan pun hilang.
Dengan demikian memahami alasan hukum membantu memahami tujuan-tujuan
syariat sehingga dapat mencapai fatwa yang benar. Adapun hanya berpegang dengan teks secara
lahir, akan mengantarkan kepada sikap yang jumud (statis) dan jauh dari tujuan-tujuan
syariat.
2. Sibuk
dengan masalah khilafiyah yang bersifat instrumental
(furu’) dan lalai dari masalah-masalah
besar.
Di antara tanda ilmu yang tidak mendalam dan wawasan yang lemah tentang
agama, sibuk dengan masalah-masalah yang tidak
fundamental dan lalai
dengan masalah-masalah besar yang berhubungan dengan eksistensi umat Islam,
karakteristiknya dan masa depannya. Kita melihat banyak orang dari mereka
(orang-orang bersikap ekstrem) memperbesar masalah-masalah kecil yang telah
diperselisihkan para ulama sejak dahulu hingga sekarang tanpa ada kesepakatan
karena termasuk masalah-masalah ijtihad.
Berkat rahmat Allah, setiap masalah bertambah penting, perselisihan di
dalamnya sedikit. Dan setiap masalah semakin tidak penting, perselisihan para
ulama di dalamnya semakin banyak. Sesuatu yang paling penting dalam Islam
adalah lima rukun Islam. Yang paling penting di antara lima tadi adalah dua
syahadat. Kita melihat, tidak ada perselisihan di antara para ulama di
dalamnya. Kemudian ketika Anda turun ke masalah-masalah hukum Islam,
perselisihan semakin banyak. Hal ini karena mayoritas masalah-masalah yang
diperselisihkan para ulama bukanlah perkara yang paling pokok dalam syariat Islam,
seperti letak tangan dalam shalat. Apakah diletakkan di dada, di bawah pusar
atau dibiarkan ke bawah di dua sisi. Masalah seperti ini adalah masalah yang
sifatnya penyempurna tujuan dan bukanlah tujuan. Karena itu, perselisihan di
dalamnya bukanlah perselisihan yang besar.
Kita tidak boleh menghabiskan sebagian besar waktu untuk masalah-masalah
khilafiyah (perbedaan pendapat) seperti ini. Dalam waktu yang sama kita
membiarkan serangan sekulerisme terhadap umat Islam dan menyebarnya Marxisme dan
kampanye-kampanye kristenisasi yang semuanya ingin menghapus identitas
Islam. Dan dalam waktu yang sama pula, kaum muslimin di berbagai belahan dunia
dibunuh. Sangat disayangkan. Perselisihan dalam masalah-masalah pinggiran ini
menular kepada orang-orang yang pergi ke Eropa dan Amerika yang bertujuan
mencari ilmu atau rezeki. Yang patut mereka lakukan adalah mengerahkan tenaga
untuk menjaga akidah kaum muslimin, mengikat hal
tersebut dapat menjaga mereka
dari perbuatan-perbuatan dosa besar.
Sangat disayangkan. Sebagian mereka memperbesar perselisihan dalam
masalah-masalah cabang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang tidak
diperselisihkan dan melanggar larangan-larangan yang disepakati. Namun, mereka
menutup mata dari semua ini dan terus tenggelam dalam perdebatan seolah sudah
menjadi hobi yang menyenangkan bagi mereka. Perdebatan seperti inilah yang
telah disinggung Hadis Nabi Saw,
مَا ضَلَّ قَوْمٌ مِنْ بَعْدِ هُدًى كَانُوْا
عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجِدَلَ.
“Kaum tidak tersesat setelah mendapat petunjuk
kecuali mereka suka berdebat.”[4]
3.
Berlebihan dalam mengharamkan tanpa dalil.
Di antara
tanda pemahaman yang dangkal dalam hal keagamaan adalah selalu condong
mempersempit, mempersulit dan berlebihan dalam menghukumi haram. Padahal
Al-Quran, Sunnah dan ulama salaf telah memperingatkan hal ini. Allah Swt
berfirman,
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram,"
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung” (Qs. An-Nahl [16]: 116).
Ulama salaf tidak mengatakan haram kecuali keharamannya diketahui secara
yakin. Jika tidak yakin haram, mereka mengatakan, “Kami membenci begini, kami
tidak melihatnya, atau ungkapan lainnya yang tidak tegas mengharamkan. Adapun
orang yang ekstrem cepat-cepat mengharamkan tanpa kehati-hatian. Jika ada dua pendapat
dalam hukum Islam, yang satu mengatakan boleh dan yang lain mengatakan makruh, dia
mengambil yang makruh. Jika yang satu mengatakan makruh dan yang lain
mengatakan haram, dia mengambil yang haram. Jika ada dua pendapat yang satu
mempermudah dan yang lain mempersulit, dia selalu memilih yang mempersulit.
4.
Mengikuti yang masih menjadi perbedaan (mutasyabihat) dan meninggalkan yang sudah menjadi kesepakatan
(muhkamat).
Di antara sebab terjadinya ekstremisme dan pemahaman yang menyimpang
dalam agama, baik dulu maupun sekarang adalah mengikuti yang mutasyabihât dan meninggalkan yang muhkamat.
Yang saya maksudkan dengan mutasyâbih
lafal (teks) yang mengandung kemungkinan-kemungkinan makna dan belum jelas maksudnya.
Yang saya maksudkan dengan muhkam
adalah lafal (teks) yang jelas maknanya dan maksudnya. Sebagian orang suka mengikuti yang mutasyâbih untuk dijadikan alat
pendukungnya dan berpaling dari muhkam
padahal ucapan pemutus dan hukum yang adil ada di dalamnya. Orang-orang
yang ekstrem sekarang menggunakan ayat-ayat mutasyabih
dalam mengkafirkan umat manusia dan menghalalkan darah mereka. Jika merek
mengembalikan yang mutasyabih kepada
yang muhkam, maka mereka akan
menghukumi secara adil dan benar.
5. Tidak
belajar kepada para ulama.
Di antara sebab lemahnya pengetahuan sebagian orang karena tidak
belajar ilmu keislaman kepada ahlinya dan para ulama. Ia hanya mendapat ilmu dari
kitab-kitab dan surat kabar tanpa ada kesempatan untuk mengoreksi,
mendiskusikan, menguji pemahamannya dan mengkaji informasi yang dimiliki dengan
berbagai macam analisis. Akan tetapi, ia membaca sesuatu, memahaminya dan menyimpulkannya.
Terkadang ia salah membaca, salah memahami, atau salah menggali hukum darinya
tanpa diketahui. Terkadang, di luar yang ia baca ada dalil yang berlawanan
yang lebih kuat tapi dia tidak mengetahuinya. Hal itu karena tidak ada orang yang membimbingnya.
Para pemuda ini lupa bahwa untuk mengetahui dan memahami syariat wajib
merujuk kepada ahlinya yang terpercaya dan bahwa mereka tidak mampu menerjuninya
tanpa ada ahli yang membimbing, menjelaskan sesuatu yang samar dan sebagainya.
Karena itulah, para ulama salaf melarang mengambil ilmu dari orang yang
mendapatkan ilmu hanya melalui buku tanpa guru atau mengambil (pemahan) Al-Quran
dari orang yang menghafal Al-Quran dari mushaf saja tanpa menerimanya secara
riwayat dan langsung dari ahli qiraah (ahli
bacaan Al-Quran).
2.
Pengetahuan yang lemah tentang realitas, kehidupan, sejarah dan
hukum-hukum alam.
Kita menemukan sebagian mereka menginginkan sesuatu yang tidak ada,
menuntut sesuatu yang tidak terwujud, mengkhayal sesuatu yang tidak terjadi dan
memahami kenyataan-kenyataan tidak sesuai dengan hakikatnya, menafsirkannya
sesuai dengan paham-paham yang sudah tertanam dalam hatinya yang tidak berdasar
kepada Sunnatullah dan hukum-hukum syariat. Ia ingin mengubah masyarakat
secara menyeluruh; pemikiran, emosi, tradisi, etika, sistem sosial, politik, dan ekonomi dengan
sarana-sarana yang rapuh, metode-metode yang tidak realistis dan
langkah-langkah serampangan. Mereka menyertai semua itu dengan keberanian dan
pengorbanan, meskipun dengan biaya besar, tidak peduli dengan kematian, dan
tidak mempertimbangkan hasil. Oleh karena itu, tidak aneh jika mereka
memunculkan tindakan-tindakan yang sebagian orang menyebutnya ‘bunuh diri’ dan
sebagian lain menyebutnya ‘gila’. Korban yang ditimbulkannya banyak dan mereka
tidak peduli dengan semua itu.
Sebagian pemuda itu tidak membaca sejarah dengan baik. Membaca sejarah
dan peristiwa-peristiwa secara komprehensif tidak penting bagi mereka. Padahal
yang penting adalah mengambil pelajaran darinya dan mencapai Sunnatullah (ketetapan-ketetapan
Allah) di dalamnya. Allah Swt berfirman,
“Maka tidak pernahkah mereka
berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka
dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah
hati yang di dalam dada” (Qs. Al-Hajj
[16]: 46).
Sesungguhnya sejarah merupakan
gudang pelajaran dan guru bangsa. Jika manusia mempelajari peristiwa-peristiwa
kemarin untuk menghadapi hari besok, suatu bangsa juga mempelajari masa lalunya
untuk masa kininya, mengambil pelajaran dari yang benar dan yang salah, dari
kemenangan-kemenangan dan kekalahan-kekalahan.
Kenyataannya, sejarah merupakan memori bangsa yang cerdas. Bangsa yang
tidak menghiraukan sejarahnya seperti individu yang kehilangan memorinya dan
hidup untuk harinya sendiri tanpa masa lalu. Sesungguhnya dia adalah manusia
yang terputus dari akar masa kininya. Dia orang sakit yang sangat membutuhkan
pengobatan. Bagaimana suatu kelompok rela menjadikan kondisi yang sakit ini
sebagai prinsip hidupnya?
Oleh karena itu, Al-Quran sering memberi penekanan terhadap masalah ini.
Perhatikanlah firman Allah Swt,
“Sungguh, telah berlalu sebelum
kamu sunnah-sunnah (Allah),146)
karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (Qs. Âli ‘Imrân
[3]: 137).
Sunnah-sunnah ini bersifat tetap, tidak berubah-ubah. Allah berfirman,
“Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi Allah, dan tidak (pula)
akan menemui penyimpangan bagi ketentuan
Allah itu” ( Qs. Fâthir [35]: 43).
Sunnah-sunnah Allah ini juga
berlaku secara umum, tidak pandang agama dan bangsa. Masyarakat manapun yang
berbuat salah atau menyimpang, ia akan menemui balasan kesalahannya atau
penyimpangannya.
Kita tidak dapat memahami
Al-Quran sebagaimana mestinya dan tidak mengetahui keutamaan Islam secara
sempurna ketika tidak mengetahui kesesatan-kesesaan jahiliyah sebelum Islam.
Itulah rahasia perkataan Umar bin Khathab Ra, “Sesungguhnya tali-tali Islam
terlepas satu persatu ketika orang yang tidak mengetahui jahiliyah tumbuh di
dalam masyarakat Islam.”
Sesungguhnya
peristiwa-peristiwa sejarah itu berulang dan memiliki kesamaan-kesamaan, karena
di baliknya terdapat ketentuan-ketentuan Allah yang tetap. Oleh karena itu,
para ahli mengatakan, “Sesungguhnya sejarah itu terulang.” Al-Quran telah
mengisyaratkan hal ini. Perhatikanlah firman Allah,
“Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, "Mengapa Allah tidak
berbicara dengan kita atau datang tanda-tanda (kekuasaan-Nya) kepada
kita?" Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah berkata seperti
ucapan mereka itu. Hati mereka serupa” (Qs. Al-Baqarah [2]: 118).
Maksudnya, keserupaan sikap antara orang-orang dahulu dan orang-orang
belakangan terhadap para rasul menyebabkan akibat yang sama.
Di antara sunnah-sunnah Allah yang dilupakan banyak pemuda tersebut
adalah sunnah tadarruj (graduasi). Tadarruj merupakan sunnah yang berlaku
dalam alam dan syariat. Karena itulah Allah menciptakan langit dan bumi
dalam enam hari. Sebenarnya Allah mampu menciptakannya dengan mengatakan, kun fayakûn (jadilah, maka jadilah). Dia
menciptakan langit dan bumi melalui tahapan-tahapan dan fase-fase yang hanya
diketahui Allah. Begitu pula dalam penciptaan manusia, hewan, tumbuhan. Semua
tidak diciptakan secara langsung, akan tetapi melalui tahapan-tahapan hingga
menuju kesempurnaan. Inilah yang terjadi dalam alam. Adapun dalam agama Islam,
dakwah pertama yang dilakukan adalah masalah tauhid dan pemantapan akidah yang
bersih. Kemudian dakwah syariat yang juga melalui pertahapan.
Umar bin Abdul Aziz ingin mengembalikan kehidupan sesuai dengan petunjuk
Khulafaurrasyidin namun kondisinya tidak memungkinkan. Akan tetapi,
anaknya yang masih muda dan punya semangat tinggi, Abdul Malik, mengingkari tindakan ayahnya
yang tidak segera menghilangkan segala penyimpangan dan kezaliman. Ia berkata
kepada ayahya, “Wahai ayah, kenapa engkau tidak segera meluruskan
perkara-perkara. Demi Allah, aku tidak peduli terhadap resiko yang menimpa
diriku dan dirimu dalam membela kebenaran.”
Maka Umar bin Abdil
Aziz mengatakan kepadanya, “Wahai anakku, janganlah tergesa-gesa, sesungguhnya
Allah mencela khamar dalam Al-Quran dua kali dan mengharamkannya untuk yang
ketiga kali. Sesungguhnya aku khawatir
memaksa manusia untuk melaksanakan kebenaran secara umum, lalu mereka
meninggalkannya secara umum pula sehingga hal ini menjadi fitnah.”
[1]
HR. Bukhari, nomor 100 dan Muslim,
nomor 2673 dari Abdullah bin Amr bin Ash Ra.
[2]
HR. Bukhari, nomor 2828 dan Muslim,
nomor 1869.
[3]
HR. Bukhari, nomor 1707 dan Muslim,
nomor 715.
[4]
HR. Ibnu Majah, nomor 48. Syaikh
Albani menganggap Hadis ini hasan.
146) Yang
dimaksud dengan sunnah Allah di
sini ialah hukuman-hukuman Allah yang berupa malapetaka, bencana yang
ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan rasul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar