Islam adalah agama pembawa rahmat
dan berwatak toleran. Ia sangat
mendambakan keadilan dan kedamaian serta menjunjung tinggi kemuliaan dan
kebebasan manusia. Dan, ini bukanlah slogan
kosong tanpa bukti, melainkan prinsip dasar yang inheren dalam rancang-bangun
Islam.
Sebagaimana
termaktub dalam Al-Qur’an, Allah set. mengutus rasul-Nya, Muhammad saw. sebagai
“rahmat bagi semesta alam.”[1]
Nabi Muhammad saw. sendiri menyatakan tujuan risalah Islam yang dibawanya
sebagai, “Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”[2]
Islam juga memberikan kepada manusia kebebasan menetukan pilihan, bahkan dalam
hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) sekalipun. Allah swt. berfirman:
“
Maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”
(QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Oleh
karenanya, dakwah dalam Islam harus didasari atas, dan didorong oleh,
penerimaan secara sadar yang dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, atau
berdebat secara lebih baik, argumentatif dan objektif bukan berdasarkan paksaan
dan tekanan.[3]
Demikian pula, Islam sangat menganjurkan sikap adil dan ihsân, mengecam smeua
bnetuk perbuatan keji danmunkar, serta upaya-upaya destruktif di atas muka
bumi.[4]
Oleh karena itu, sangat tidak logis bila Islam yang memerintahkan para
pengikutnya utnuk bersikap saling mengasihi antarsesama manusia dan semua
makhluk hidup, akan memerintahkan perang yang terus-menerus terhadap non-Muslim
hanya karena perbedaan akidah.[5]
Islam
dan Toleransi Agama
Dalam Islam, kebebasan beragama dan
berkeyakinan mendapat jaminan yang jelas dan pasti. Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an telah
secara jelas dan tegas menyatakan, “Lâ
ikrâha fi and-dîn” [Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam)].[6]
Di sini, Islam melarang secara tegas berbagai bentuk pemaksaan untuk menganut
agama tertentu. Kebebasan manusi adalam
memilih agama dan keimanan merupakan prinsip paling fundamental dari ajaran
akidah Islam. Secara demikian, penegasan
Al-Qur’an tentang kebebasan manusia untuk beriman atau kufur tanpa paksaan
merupakan prinsip yang tidak lagi dapat ditawar. “Maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir,” demikian pernyataan Al-Qurân.[7]
Hal
ini karena masalah keimanan, keyakinan, dan keberagamaan agar benar dan
dipercayai dengan yakin haruslah merupakan tindkan yang berdiri di atas, dan
didasari oleh, penerimaan yang sadar, tulus dan tanpa paksaan. Keimanan dan keyakinan yang hakiki tidak akan
muncul jika landasannya adalah pemaksaan dan keterpaksaan. Dengan kata lain, masalah keimanan adalah
urusan dan komitme individuall, karenanya tak seorang pun dapat mencampuri dan
memaksa komitmen individual ini. Iman,
sebagaimana ditekankan dalam teks dasar Islam dengan kata-kata yang jelas dan
tak dapat diragukan, merupakan tindakan sukarela yang lahir dari keyakinan,
ketulusan, dan kebebasan. [8]
Non-Muslim dalam Negara Islam
Jaminan
Islam terhadap kebebasan beragama sebenarnya muncul dair pengakuan Islam atas
kemajemukan atau pluralitas keberagamaan.[9] Dalam praktiknya, jaminan ini telah
ditegaskan oleh Rasulullah saw. sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah.[10] Dalam konstitusi tersebut, dijelaskan antara
lain klausul tentang pengakuan eksistensi kaum Yahudi sebagai bagian dari
kesatuan komunitas umat bersama kaum Muslimin di Madinah.[11]
Bertolak dari kebebasan beragama
yang dijamin oleh Islam ini pula, Khalifah II “Umar bin al-Khaththab memberikan
jaminan keamanan bagi penduduk Baitul Maqdis yang beragama Kristen. “Bagi mereka jaminan keamanan atas kehidupan,
gereja-gereja dan salib-salib mereka.
Mereka tidak boleh diganggu dan ditekan karena alasan agama dan
keyakinan yang mereka anut, “demikian kebijakan dan jaminan ‘Umar bin al-Khaththab
bagi umat non-Muslim dalam negara Islam.[12]
[1]
QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107.
[2]
Hadits riwayat Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad.
[3]
Lihat: QS. An-Nahl [16]: 82 dan 125 al ‘Ankabût [29]: 18; Yâsin [36]: 17;
asy-Syûrâ [42]: 48; dan al-Ghâsyiyah [88]: 22.
[4]
Lihat: QS. Al-Nahl [16]: 90.
[5]
Lihat: M.. Zaqzouq, Haqâ’iq al-Islâmiyyah fi Muwâjahat Hamalât
al-Tasykîk, (Cairo: Maktabah al-Syurûq al-Dawiliyyah, 2004, h. 33.
[6]
QS. Al-Baqarah [2]: 256.
[7]
QS. Al-Kahf [18]: 29.
[8]
Lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan al-Kahfi [18]: 29.
[9]
Pengakuan ini terbaca, misalnya, melalui pernyataan al-Qur’an dalam surah
al-Mâ’idah [5]:48: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap apa
yang telah diberikan kepadamu. Maka,
berlomba-lombalah dalam kebaikan. Hanya
kepada Allah-lah kamu semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa-apa
yang telah kamu perselisihkan.”
[10]
Kajian dan analisis menarik mengenai kandungan “Konstitusi Madinah” dapat
dibaca, antara lain, dalam M.S. Al-‘Awwâ, Fî an-Nizhâm as-Siyâs li ad-Dawlah
al-Islâmiyyah, (Cairo: Dâr al-Syurûq, 1989), h. 50-64.
[11]
Pada poin ini, al-‘Awwâ melihat bahwa ko-eksistensi antara kaum Yahudi dan kaum
Muslim, sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah, erat kaitannya dengan konsep
Islam tentang kewarganegaraan dalam sebuah Negara (al-muwâthanah) (Fî an-Nizhâm
as-Siyâsi li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, h. 55.
Bandingkan: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lû Dzimmiyyûn: Mawqi’ Ghair
al-Muslimîn fî Mujtama’ Muslimîn, (Cario: Dâr asy-Syurûq, 1990), cet, 2, h.
124.
[12]
Pernyataan ‘Umar bin al-Khaththab yang sangat populer ini dapat dilihat, antara
lain, dalam al-Thabarî, Târîkh al-Thabarî, Maktabah Syâmilah, versi 2, 3/105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar