Bohong
Secara Umum
Berbohong
(berdusta) merupakan salah satu bentuk dosa yang berkaitan dengan lisan (ajat
al-lisan) dan paling tinggi frekuensinya dilakukan manusia dalam pergaulan
sehari-hari. Cakupannya pun sangat luas, mulai dari bohong yang awalnya dari
sekedar canda sampai pada bohong yang dapat menyebabkan nyawa manusia melayang.
Perilaku berbohong pada umumnya selalu disertai oleh rangkaian bohong
berikutnya. Artinya, sekali orang berbohong, maka umumnya aka nada rangkaian
bohong lanjutannya. Seorang karyawan yang member alasan bohong ketika hari
sebelumnya tidak masuk kerja aklan membuat kebohongan tambahan ketika ditanya
oleh atasanny. Semakin banyak pertanyaan, semakin panjang pula rentetan
kebohongan itu. Itu sebabnya, agama melarang manusia berbohong karena akibat
buruknya besar dan umumnya berkelanjutan.
Karena akibat-akibat buruk yang
ditimbulkan oleh bohong (dusta) itu, Al-Quran mengecam sikap dan perilaku bohong. Dalam al-Quran tidak
kurang dari 160 kali disebut term al-kadzib dan derivasinya sebagai perbuatan
buruk. Salah satu di antaranya terdapat
pada (QS. Alu ‘Imran [3]: 78)
“Dan
sungguh diantara mereka niscaya ada segolongan yang memutarbalikkan lidahnya
membaca kitab, agar kamu menyangka (yang mereka baca) itu sebagian dari kitab,
padahal itu bukan dari Allah. Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah,
padahal mereka mengetahui.”
Dalam hadits Rasulullah saw. juga
ditemukan banyak sekali kecaman dan larangan terhadap perbuatan bohong. Manusia
diimbau untuk tetap konsisten dalam kebenaran, kejujuran , dan menghindari
perbuatan sebaliknya, berdusta, karena hal itu membawa malapetaka kehidupan.
Salah satu Hadits Rasulullah saw. adalah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim;
“Sesungguhnya
kebenaran itu membawa kepada kebajikan mengantarkan masuk syurga. Seseorang
yang terus berbuat benar akan dicatat sebagai orang benar. Sungguh kebohongan
membawa kepada dosa , dan dosa menjerumuskan masuk neraka. Seseorang yang
pembohong.”[1]
Berbohong merupakan suatu kejahatan
universal, karena siapa pun dia dan di mana pun berada pasti tidak suka
dibohongi. Kebohongan berpotensi menimbulkan be3rbagai masalah seperti permusuhan,
kebencian,kekerasan dan berbagai malapetaka kehidupan lainnya. Sudah terlalu
banyak bukti sejarah bagaimana akibat buruk dari kebohongan itu dapat
disaksikan di sudut-sudut bumi ini, termasuk orang-orang yang menolak
kebenaran. Allah swt. Menganjurkan manusia untuk menelisik dan mengambil
pelajaran dari bukti-bukti sejarah akibat buruk dari kebohongan ( penolakan
terhadap kebenaran). Perhatikan QS.Ali ‘Imran[3]: 137 [2]
Sebagai berikut :
“Sungguh,
telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu
ke (segenap penjuru)bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang
mendustakan (rasul-rasul).”
Meskipun berbohong
itu merupakan kejahatan universal, tapi ia boleh dilakukan untuk tiga hal kalu
hal itu dianggap sebagai kebohongan yaitu bohong pada situasi perang,
mendamaikan dua pihak yang berseteru, dan kebohongan suami atau istri pada
pasangannya(bohong sanjungan).
Bohong
yang Dibolehkan
Sebuah penggalan
sastra menggambarkan kebolehan berbohong dalam hal-hal tertentu, yang sesungguhnya
merupakan kiat atau strategi mencapai suatu hasil, tentu dengan syarat atau kriteria
tertentu.
“Boleh
berdusta (melakukan strategi) pada upaya perdamaian atau menghindari kezaliman,
kepada keluarga (pasangan suami atau istri) untuk sanjungan membahagiakan dan
pada situasi perang untuk menang.”[3]
Cakupan dari penggalan sastra
tersebut sejatinya merupakan turunan dari beberapa hadis yang berbicara tentang
pengecualian atau kebolehan berbohong karena ada sebab yang sangat mendesak dan
dibolehkan. Salah satu Hadis Rasulullah saw yang berkaitan dengan hal ini
adalah:
“Ummu
Kultsum berkata bahwa aku tidak pernah mendengar keringanan (rukhshah)
kebohongan kecuali dalam tiga hal. Rasulullah saw mengatakan bahwa aku tak
menganggap pendusta orang yang mengarang suatu ucapan tak lain hany aupaya
untuk mendamaikan dua orang yang berseteru, orang berucap sesuatu sebagai
strategi dalam peperangan dan sanjungan suami kepada istrinya dan istri kepada
suaminya.”[4]
Dari hadis ini
dapat dipahami ada tiga hal yang diperbolehkan berdusta dan orangnya tidak
dianggap sebagai pendusta. Pertama, berdusta untuk mendamaikan dua orang pihak
yang berseteru, misalnya menyatakan keinginan salah satu pihak ingin sekali
berdamai, dan itu dilakukan secara silang, meskipun sesungguhnya belum secara
jelas diungkapkan oleh yang bersangkutan, semata-mata sebuah upaya perdamaian (islah). Perdamaian
adalah sesuatu yang sangat mulia dan senantiasa diinginkan oleh al-Quran,
sebagaimana dipahami dari QS.al-Baqoroh [2]:228;an-Nisa [4]:35,114,128;al-Hujurat[49]:9-10.
Manusia harus selalu berupaya untuk mendamaikan orang-orang yang berseteru
dengan berbagai cara yang bisa dilakukan, bahkan kalu terpaksa dengan sedikit
bumbu-bumbu yang dapat meluluhkan hati orang berseteru. Bukan maksudnya untuk
berbohong atau membohongi orang, tetapi sekedar ucapan-ucapan bersayap yang
kadang-kadang dilebihkan dalam rangka menarik simp[ati untuk berdamai. Perilaku
orang beriman itu adalah memelihara perdamaian, apabila ia menjumpai ada dua
orang atau lebih berselisih dan berpotensi memunculkan pertengkaran atau
permusuhan, apalagi jika permusuhan itu telah terjadi, maka ia harus berupaya
mendamaikannya. Ayat ke-10 dari QS.al-Hujurat dengan jelas memerintahkan hal
tersebut.
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat
rahmat.”
Kedua
berdusta untuk memberikan sanjungan pasangan (suami atau istri),misalnya memuji
busana yang dikenakan, ide-ide yang dilontarkan hasil maskannya, dan selainnya.
Tidak ada maksud untuk berbohong, tetapi sekedar menyenangkan hati dengan
sanjungan yang berbunga-bunga. Ketiga, berdusta dalam situasi perang.
Peperangan yang dibenarkan dalam ajaran
agama mengharuskan strategi untuk menang. Strategi itu bersifat sangat rahasia
bagi lawan sehingga harus dikemas sedemikian rupa agar tidak bocor kepada pihak
musuh. Dalam kemasan kerahasiaan inilah kadangkala seseorang diharuskan
bersikap, berbicara atau bertingkah laku tidak sebagaimana adanya karena
menjaga sifat kerahasiaan tadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar