Sampai titik ini, semakin jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan
memerangi seseorang atau negara non-Islam hanya semata-mata karena perbedaan
agama. Tetapi,beberapa ayat mengenai perang memang sering mengalami distorsi
makna akibat pemahaman parsial dan tidak utuh.
Misalnya, ayat-ayat tentang perang yang terdapat dalam surah at-Taubah
[9] ayat 5, 14, 29, dan 36 yang diambil secara sepotong-sepotong tidak jarang
menggiring ke pemahaman bahwa Islam memerintahkan untuk memerangi siapa saja
yang berbeda agama. Padahal, bila ayat
tersebut dicermati dan dibaca secara utuh, pemahaman ekstrem seperti ini
menjadi jelas penyimpangannya karena bertentangan dengan karakteristik dasar
Islam yang rahmah dan penuh damai.
Dalam ayat 5 surah at-Taubah, misalnya, potongan
ayat yang artinya, “Maka bunuhlah
orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai”, harus dibaca dalam
konteks yang utuh dan mengaitkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu
tentang orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian damai dan yang tetap
setia dengan perjanjian damai. Perintah Allah adalah memerangi orang-orang
musyrik yang berkhianat dan melanggar perjanjian damai. Dengan demikian, orang-orang musyrik yang
tetap setia dengan perjanjian damai dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi
kaum Muslim, maka tidak boleh diperangi.
Orang-orang musyrik ini dapat bebas tanpa gangguan dan dijamin
keamanannya selama masa ikatan perjanjian (ayat 4 surah at-Taubah). Dan, dalam ayat 6 sesudahnya, Allah
memerintahkan kepada Nabi saw. Dan kaum Muslim untuk memberikan jaminan
keamanan bagi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan.
Pada ayat 14 surah at-Taubah, orang-orang
non-Muslim yang diperintahkan untuk diperangi adalah mereka yangmelanggar
perjanjian damai dan berencana memerangi kaum Muslim, seperti yang dapat dibaca
dengan jelas dari ayat sebelumnya (ayat 12 dan 13surah at-Taubah). Demikian pula dengan ayat 29 dan 36 pada
surah yang sama. Dalam ayat 29, Allah
memerintahkanuntuk memerangi orang-orang kafir (Ahlul-Kitab) karenaadanya niat
permusuhan dalam dirimerekapada waktu itu untuk memerangi kaum Muslim. Sementara dalam ayat 36, perintah perang
kepadea kaum musyrik di bulan Haram, karena kaum musyrik itu telah berkhianat
dan melanggar perjanjian dengan melakukan penyerangan di bulan Haram yang dalam
tradisi Arab dilarang melakukan peperangan.[1]
Dalam konteks ini, ayat lain yang sering kali
mengalami distorsi makna sehingga terkesan radikal adalah ayat 193 surah
al-Baqarah dan ayat 39 surah al-Anfâl.
Dua ayat ini, yaitu firman-Nya, “Dan
perangilah mereka, supaya jangan ada finah dan supaya kepatuhan seluruhnya
semata-mata untuk Allah.”
Ayat 193 surah al-Baqarah yang memerintahkan kaum
Muslim untuk berperang di sini harus dibatasi untuk berperang melawan mereka
yang lebih dahulu melakukan agresi, sebagaimana terbaca dalam ayat 190
sebelumnya:
“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menukai orang-orang yang
melampaui batas”.
Kemudian, dalam ayat 192 selanjutnya, al-Qur’an
menyatakan bahwa peperangan itu harus dihentikan bila pihak musih menghentikan
serangan,”Kemudian jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.” Menurut pakar tafsir M. Quraish Shihab, bila
ayat 190 berbicara tentang kapan peperangan diizikan (yaitu saat ada musuh yang
lebih dulu menyerang), maka ayat 192 dan 193 menjelaskan kapan peperangan mesti
dihentikan.
Tujuan dari aturan perang seperti ini tidak lain
agar tidak timbul fitnah, yakni “agar kekuatan syirik kaum musyrik itu tidak
menimbulkan fitnah yang dapat menyakiti kaum Muslim sebagaimana dulu mereka
menyakiti kaum Muslim di Mekkah;”[2]
dan agar “wa yakûna al-dînu Lillâh” (kepatuhan hanya semata-mata kepada Allah),
yakni bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus ditaati, antara lain member
kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan mengamalkan agama dan
kepercayaannya karena masing-masing akan mempertanggungjawabakannya, sesuai
firman-Nya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
(QS. Al-Kâfîrun [109]: 6).[3]
sengaja disebarkan untuk memperburuk citra Islam. Sebaliknya, Islam adalah agama damai yang
penuh rahmat. Bahkan, jika dicermati
lebih teliti dari aspek kata Islam itu sendiri, secara kebahasaan, sebenarnya
ada kesesuaian antara lafal Islam (îslâm) dengan kedamaian (salâm). Dua lafal itu islâm dan salâm merupakan
derivat yang berasal dari akar kata yang sama, yakni dari gabungan huruf sîn,
lâm, dan mîm, yang berarti “selamat”dan “damai”.
Demikian pula, didalam al-Qur’an, Allah menyifati
zat-Nya sebagai as-Salâm (Mahadamai).
Ucapan penghormatan umat Islam disebut ucapan salâm (kedamaian) untuk
mengingatkan pengucapannya bahwa salâm atau kedamaian itu merupakan tujuan
utama yang harus disebarkan dan tidak boleh sedikit pun lepas dari
ingatan. Lebih dari itu, setiap hari
seorang Muslim diwajibkan paling kurang lima kali mengucapkan penghormatan
Islam salâm di akhir setiap shalat; salâm kedamaian untuk sisi kanan dan kiri
yang meliputi dua belahan bola bumi.
Demikianlah, jelas kiranya karakteristik Islam
sebagai Agama yang damai dan penuh rahmat.
Dari itu,tak ada tempat dalam agama ini
bagi kekerasan dan radikalisme, atau fanatisme dan terorisme, serta
berbagai bentuk kelaliman yang merusak dan menghancurkan kehidupan dan/ atau
hak milik orang lain. Terlebih lagi bila
kita menyadari bahwa tujuan pokok dari ajaran Islam (maqâshid syari’ah) adalah
menjaga danmemelihara hak-hak manusia yang paling mendasar, khususnya hak
hidup,hak beragama, hakmemlihara akal, keluarga dan kepemilikan. Tidaklah aneh karenanya bila Islam
mengharamkan berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman kepada
orang/golongan lain, sampai-sampai Islam menganggap kelaliman yang dilakukan
kepada seorang manusia, sama artinya melakukan kelaliman kepada umat manusia
secara keseluruhan, sebagai dinyatakan dalam Kitab Suci Islam:
“Barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan, barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 32)
[1]
Tinjauan lebih lanjut tentang ayat-ayat ini dapat dilihat dalam: Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah, (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), cet. II h. 197 dan seterusnya.
[2]
Muhammad Imârah (ed),
al-A’mâl al-Kâmilah li Muhammad ‘Abduh, h.
4, 490, 491, 492. Bandingkan M. Rasyid
Ridha, Tafsîr al-Manâr, 9/552. Menarik untuk
dicermati di sini bahwa al-Qur’an menggunakan kata wa qâtilûhum
hattâ lâ takûna fitnah (“perangilah mereka agar tidak ada
fitnah lagi”), bukan wa qâtilûhum hattâ yuslimû (“perangilah mereka sampai
mereka masuk Islam”) yang menunjukkan bahwa tujuan peperangan ini bukanlah karena
alasan perbedaan agama dan keyakinan (Lihat: Fahmî
Huwaydî, Muwâthinûn lâ
Dzimmyyûn, h. 256).
[3] M.
Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar