Sebelumnya,
satu prinsip yang penting untuk dikemukakan di sini adalah: perang yang
diperbolehkan dalam Islam (jihad) sebenarnya lebih bercorak defensif yang
bertujuan semata-mata untuk membela diri dari serangan musuh. Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai prisnsip ini
sangatlah gamblang. Allah swt.
mengizinkan kaum Muslim untuk melakukan peperangan bilamana musuh-musuh Islam
telah melakukan serangan terlebih dahulu.
Allah swt. berfirman:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang
yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu”. (QS. Al-Hajj [22]: 39)
Demikian pula dengan firman-Nya:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS.
Al-Bawarah [2]: 190)
Ayat di atas secara jelas dan
gamblang menyatakan bahwa kendati peperangan diizinkan dalam Islam untuk tujuan
membela diri, akan tetapi di dalamnya terkandung ancaman untuk tidak melampaui
batas-batas diperbolehkannya peperangan, karena Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. Karena
itulah Allah swt. Mengafirmasi ayat di atas dengan firman-Nya:
“Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu,
maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”. (QS. Al-Baqaah
[2]: 194)
Menjaga perdamaian dan
anti-peperangan sebenarnya merupakan watak dasar dari wajah Islam
sesungguhnya. Ia menjadikan pertumpahan
darah dan peperangan sebagai bentuk pengecualian untuk membela diri dari
serangan musuh; suatu pengecualian yang, kendatipun tidak menyenangkan, menjadi
pilihan terbaik ketimbang menyerah kepada musuh tanpa perlawanan. Inilah pengertian yang dapat kita petik dari
fiman Alllah swt:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci”. (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Dengan demikian, peperangan ofensif
dalam bentuk dan dengan tujuan untuk menyerang musuh telebih dahulu merupakan
tindakan yang tidak direstui Islam dan tidak mendapatkan dukungan pembenaran
dari agama yang sangat menganjurkan perdamaian dan kedamaian ini.
Jihad dalam Islam yang berarti suatu
bentuk perang defensif sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya tidak terbatas
dalam arti peperangan fisik semata (qitâl), tetapi juga mencakup jihad melalui
harta, jiwa, pemikiran, serta sarana-sarana lain yang dapat membantu mematahkan
gerak ofensif musuh (penjajah) dengan berbagai bentuknya. Sebab, tujuan jihad adalah memlihara dan
menjaga eksistensi masyarakat Muslim dan keyakinan yang mereka anut; suatu hak
yang sah bagi umat mana pun untuk mempertahankannya sebagaimana ditegaskan oleh
hukum internasional modern.
Kemudian, dalam suatu peperangan,
jika kaum Muslim mendapati pihak musuh berkeinginan untuk berdamai dan
menawarkan gencatan senjata, maka Islam memerintahkan untuk menerima inisiatif
damai itu, sebagaimana firman Allah swt:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian,
maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” (QS. al-Anfâl [8]: 61)
Oleh karena itu, menjadi sangat
logis bila Islam sesungguhnya senantiasa mengajak untuk menciptakan suatu tata
kehidupan yang damai(ko-eksistensi/ al-ta’âyusy
al-silmî) dengan umat dan Negara lain selama mereka menghormati eksistensi
kaum Muslim. Di sinilah kita mendapatkan
mengapa Al-Qur’an sangat menganjurkan umat Islam untuk berinteraksi dengan umat
lain atas dasar keadilan. Allah swt.
berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS.
al-Mumtahanah [60]: 8)
Lebih jauh, Islam memerintahkan
untuk selalu menghormati dan menjalankan perjanjian dan kesepakatan. Terdapat cukup banyak nash al-Qur’an yang
mengandung perintah ini, antara lain firman Allah swt:
“Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi
cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu
di antaramu, disebabkan adanya saru golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan yang lain. Sesungguhnya Allah
hanya menguji kamu denganhal itu.
Dansesungguhnya di hari kiamat kan dijelaskan-Nya kepadamu apayang
dalhulu kamu perselisihkan itu”. (QS. Al-Nahl [16]: 91-92)
Perintah Islam untuk senantiasa
menepati dan memelihara perjanjian dan kesepakatan bukan hanya terbatas antarindividu,
tetapi juga antar kelompok/negara. Dalam
hubungan antar kelompok/negara, Al-Qur’an berpesan untuk menepati perjanjian
yang telah dibuat, sebagaimana firman Allah swt:
“Dan jika meminta pertolongan kepadamu dalam
(urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka” (QS.
Al-Anfâl [8]: 72)
Prinsip ini bukanlah teori belaka,
tetapi benar-benar telah dipraktikkan dalam kehidupan Islam melakui keteladanan
Rasul-Nya saw. Misalnya, seperti riwayat Abu Râfî’[1]
yang ingin masuk Islam tatkal bertmeu Rasulullah saat ia menjadi duta
kaumQuraisy untuk menemui Nabi di Madinah.
Abu Râfî’ meminta Nabi utnuk memperkenankannya tinggal di Madinah
bersama Nabi dan tidak kembali ke Mekkah. Namun, Nabimenolak permintaan itu
karena beliau tidak ingin mengkhianati perjanjian dengan kaum Quraisy.[2]
Demikianlah, uraian di
atas semakin memperkuat bahwa Islama dalah agama yang menyebarkan perdamaian,
toleransi dan ke-eksistensi antarindividu, golongan,dan negara. Tidak hanya
sampai disitu, Islam pun mengajak umat manusia untuk bekerja sama demi terwujudnya
cita dan harapan manusia dan kemanusiaan.
Prinsip Islam tentang dianjurkannya kerja sama lintas agama, ras,
golongan, negara demi kebaikan dan kemaslahatan dapat dilihat, misalnya, dari
keterlibatan Nabi Muhammad saw. Dalam peristiwa Half al Fudhûl, di mana satu perjanjian telah dibuat oleh
beberapa suku Arab untuk membela seorang pria yang diperlakukan secara tidak
adil oleh seorang pria dari suku Arab lainnya. [3] Nabi berpartisipasi dalam perjanjian ini
sebelum beliau dibangkitkan menjadi Nabi.
Ketika beliau mengingat peristiwa tersebut setelah diutus menjadi Nabi,
beliau bersabda:
“Sungguh dahulu aku pernah
menyaksikan di kediaman Abdullâh bin Jad’ân suatu perjanjian/ pakta )Half
al-Fudhûl). Jika aku diminta untuk ikut
serta dalam peristiwa itu lagi dalam Islam, aku pasti akan berpartisipasi”.[4]
Pernyataan beliau ini
dengan jelas menunjukkan keharusan bekerja sama dalam kebaikan dan
keadilan,tanpa melihat apakah pihak lain yang bekerjasama itu adalah Muslim
atau bukan,[5] sebagaimana yang dapat dipetik
dari pernyataan al-Qur’an:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam bebuat dosa
dan pelanggaran”.(QS. Al-Ma’idah [5]: 2)
[1]
Hadits riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan al-Hakim.
[2]
Lihat: Muhammad ad-Dasûqî, Ushûl al-‘Alâqât ad-Dawliyyah, h. 602-603
dalamM.H. Zaqzouq (ed.), At-Tasâmuh
fi al-Hadhâharah
al-Islâmiyyah, (Cairo:
al-Majlis al-A’lâ li
al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004).
[3]
Tentang Half al-Fudhûl,
lihat antara lain: Ibnu Katsir, as-Sîrah
an-Nabawiyyah, 1/259 (Maktabah Syâmilah).
[4]
Al-Baihaqi, As-Sunan al Kubrâ,
6/367.
[5] M.
Hassan, Teroris Membajak Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah 2007), H. 47-48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar