Di atas telah disingung, kekerasan yang diungkapkan dengan kata al-'unf
dan terorisme dengan al-irhab tidak ditemukan penggunaannya dengan
pengertian modern dalam al-Quran. Bahkan, 8 kali penyebutan kata al-irhab dan
derivasinya; 5 kali dalam surah-surah makkiyah dan 3 kali dalam
surah-surah madaniyah, selalu bermakna positif. Dalam pandangan
al-Qur'an tidak semua aksi yang menimbulkan ketakutan dan kengerian terlarang,
tentunya yang dibarengi dengan kemampuan dan kekuatan yang memadai sehingga
dapat menampilkan misi risalah tanpa mencederai dan melukai sasaran. Sebab, dalam
pandangan Islam, menyebarkan risalah Islam adalah sebuah keharusan, demikian
pula memelihara simbol-simbol keagamaan. Itu tidak dapat terlaksana tanpa
kekuatan dan kemajuan yang menggentarkan lawan/musuh sehingga tidak menyerang.
Dengan pengertian ini, memiliki kekuatan untuk 'menggentarkan' lawan demi
tersebarnya risalah kedamaian adalah sebuah keharusan, tentunya dengan
cara-cara yang konstruktif. Sebaliknya, aksi teror yang menimbulkan kengerian
dengan menggunakan cara-cara destruktif; merusak fasilitas umum, mengancam jiwa
manusia tak berdosa, mengganggu stabilitas negara dan lainnya tertolak dalam
pandangan Islam.
Al-Qur'an dengan tegas menyebut beberapa tindakan kekerasan yang
mengarah pada hal-hal yang negatif/destruktif aan mengecam serta mengancamnya
dengan balasan yang setimpal, antara lain melalui kata:
1.
Al-Baghy seperti tersebut pada QS. al-Nahl [16]: 90. Melalui ayat ini,
al-Qur'an melarang umat Islam untuk melakukan permusuhan dengan tindakan yang
melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy berarti melampaui
batas kewajaran.[1]
2.
Thughyan seperti pada QS. Hud [11]: 112. Allah berfirman:
"Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Kata thughyan pada mulanya digunakan untuk menggambarkan
ketinggian puncak gunung, tetapi dalam perkembangannya ia digunakan untuk
segala sesuatu yang melampaui batas ketinggian seperti ungkapan thaghdl
ntd'u yang berarti air meluap.[2]
Demikian pula orang yang sombong, angkuh, dan zalim diungkapkan dengan thdghiyah
atau thaghut. Sikap ini sangat dikecam oleh al-Qur'an seperti pada
QS. an-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan keras berupa neraka jahannam
bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin).
Pakar tafsir asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan Id
tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 di atas mencakup larangan untuk melakukan
segala bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat
tersebut menghimpun upaya mencapai kemaslahatan melalui sikap istiqdmah, konsisten
pada prinsip-prinsip agama, dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar
dalam kata thughyan.[3]
3. Azh-Zhulm (kezaliman)
Kata ini dan derivasinya disebut dalam al-Qur'an sebanyak 315
kali. Pengertiannya yang populer seperti dikeinukan para penyusun Mu'jam
Alfdzh al-Qur'an al-Karim adalah meletakkan atau melakukan sesuatu tidak
pada tempatnya, baik berupa kelebihan atau kekurangan. Karena itu melampaui
atau menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm, dan dapat terjadi
dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk kekafiran atau syirik (QS.
Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan antara manusia dan manusia
dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. asy-Syura [42]: 42), dan dalam
hubungan antara manusia dan dirinya (QS. Fathir [35]: 32).
Dalam banyak ayat disebutkan ancaman bagi para pelaku kezaliman
yaitu siksa dan balasan yang menistakan (lihat: QS. al-Furqan [25]: 19; QS.
asy-Syu'ara' [26]: 227; QS. az-Zukhruf [43]:
65). Dalam sebuah Hadits qudsi, Allah dengan tegas melarang
kezaliman. Allah berfirman, "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan
kezaliman untuk diri-Ku, dan Aku tetapkan kezaliman bagi kalian sebagai sesuatu
yang haram/terlarang dilakukan, maka janganlah kalian saling menzalimi."[4]
4. Al-'Udwan (Permusuhan)
Kata 'udwdn dan derivasinya berasal dari akar kata yang
terdiri atas huruf 'ain-ddl-waw yang makna asalnya 'lari'. Sebab, dengan
berlari orang dapat melampaui sesuatu, sehingga segala tindakan melampaui batas
dan kebenaran juga disebut dengan 'udwdn atau 'addwah. Dengan
demikian, ia juga dapat bermakna kezaliman yang juga sangat terlarang (lihat:
QS. al-Baqarah [2]: 19; QS. al-Ma'idah [5]: 87).
5. Al-Qatl (Pembunuhan)
Di atas telah disinggung, aksi kekerasan pertama yang terjadi
dalam sejarah kemanusiaan adalah pembunuhan atau penganiayaan terhadap jiwa
manusia tak bersalah. Membunuh satu jiwa tak berdosa dipersamakan dengan
membunuh umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32). Balasan yang disadiakan bagi
orang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan sangatlah berat. Dalam QS.
an-Nisa' [4]: 93 disebutkan, siapa saja yang dengan sengaja membunuh saudaranya
yang "Mukmin akan disediakan neraka jahannam untuk ditempati
selaina-lamanya, akan dimurkai dan dilaknat oleh Allah dan akan mendapatkan
siksa yang pedih dan menistakan.
6. Al-Hirdbah
Sebuah term dalam al-Qur'an yang paling dekat dengan pengertian
terorisme dalam pengertian modern adalah al-kirdbah. Dalam kitab Hdsyiyat
Qalyubi wa 'Umayrah, kata al-hirdbah didefinisikan dengan,
"aksi perampokan, atau pembunuhan, atau menimbulkan kecemasan dan
kekacauan".[5]
Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mendefinisikannya dengan, "Aksi
kekerasan dan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah
negara dengan tujuan menciptakan kekacauan dan ketidak-stabilan dalam negeri,
pertumpahan darah, perampasan harta, perenggutan harga diri dan perusakan
terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup manusia".[6]
Termasuk dalam kategori al-hirabah, masih menurut Sayyid Sabiq, mafia
pembunuhan, penculikan anak, perampokan bank dan rumah, penculikan wanita untuk
prostitusi, pembunuhan tokoh politik dengan tujuan mengganggu stabilitas
keamanan, pembalakan hutan dan perusakan lingkungan yang mengganggu flora dan fauna.
Al-Qur'an mengecam keras aksi al-hirdbah, dan menganggapnya
sebagai tindakan memusuhi atau memerangi Allah dan Rasul-Nya. Atau dengan kata
lain, terorisme dengan pengertian negatif dan destruktif yang membawa kerusakan
di muka bumi dipersamakan dengan perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya.
Karena itu, sanksi yang disediakannya pun sangat berat, sesuai dengan tingkat
beratnya perbuatan. Dalam QS. al-Ma'idah [5]: 33 dijelaskan beberapa bentuk
sanksi yang disediakan sesuai dengan tingkat kriminalitas yang dilakukannya,
yaitu:
a.
Hukuman mati bagi yang
membegal dan membunuh nyawa manusia;
b.
Hukuman mati dengan penyaliban
bagi yang membunuh dan merampas harta;
c.
Potong tangan atau kaki bagi
yang merampas harta tetapi tidak membunuh;
d.
Pengasingan (al-nafy) bagi
pembegal yang menimbulkan kengerian dan kecemasan bagi orang lain tetapi tidak
merampok dan membunuh.
Dari beberapa term di atas dapat disimpulkan, Islam menentang
segala bentuk kekerasan, kecuali jika berada dalam tekanan kezaliman pihak
lain. Dalarn kondisi itu pun Allah memerintahkan umat Islam menahan diri untuk
menggunakan kekuatan dan kekerasan, dan hanya diperkenankan untuk membalas
perbuatan dengan setimpal dan untuk mengembalikan situasi kepada keadaan yang
normal atau kembali seimbang. Allah berfirman dalam QS. an-Nahl [16]: 126:
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika
kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar".
Dengan melihat sebab pewahyuan (sabab al-nuzul) ayat di
atas, akan tampak jelas metode al-Qur'an agar menahan diri dan tidak
menggunakan kekuatan dalam menyikapi aksi kekerasan kecuali dalam keadaan
terpaksa. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah saw. sangat marah atas terbunuhnya
Hamzah, paman beliau dalam perang Uhud secara tidak wajar menurut ukuran
kemanusiaan. Dengan rasa sedih dan murka Rasulullah berkata, "Dengan nama
Allah, kematian Hamzah akan kubalas dengan membunuh 70 orang dari pasukan
musuh". Janji itu tidak dilaksanakan oleh Rasulullah, dan Allah pun tidak
membiarkannya melakukan itu, tetapi melalui wahyu seperti pada ayat di atas
Allah menetapkan metode pengendalian diri dalam peperangan. Setelah ayat di
atas turun, Rasulullah lalu mengatakan, "Kami memilih bersabar ya
Allah".[7]
Melalui ayat ini, al-Qur'an menjelaskan, hanya ada dua cara
menghadapi kekerasan; membalas dengan yang setimpal tanpa melampaui batas dan
bersabar, tetapi jalan yang kedua, yaitu sabar, yang sangat dianjurkan.
Jika dalam keadaan terpaksa al-Qur'an masih memberikan aturan,
apalagi dalam kondisi tidak memerlukan kekerasan atau kekuatan. Islam melarang
keras penggunaan segala bentuk kekerasan, termasuk intimidasi atau upaya
menimbulkan kengerian dan kecemasan; baik terorganisir maupun tidak;
terang-terangan dalam bentuk pembunuhan, penyiksaan dan lainnya maupun
tersebunyi seperti tekanan ekonomi atau sosial; dari penguasa maupun dari
rakyat jelata. Semuanya terlarang. Bahkan, menimbulkan kecemasan dan rasa tidak
nyaman pada orang lain, walaupun sekadar bercanda juga terlarang. Dalam sebuah
riwayat Amir bin Rabi'ah, suatu ketika ada seseorang yang mengambil sandal
orang lain dengan maksud bercanda. Setelah peristiwa itu dilaporkan kepada
Rasulullah, beliau bersabda: "Jangan membuat seorang Muslim cemas, sebab
membuat seorang Muslim cemas adalah sebuah kezaliman yang luar biasa".[8]
Islam melarang menimbulkan kengerian (teror) pada orang lain
dengan hanya sekadar mengangkat dan mengacungkan senjata/pedang. Rasulullah
saw. bersabda:
"Seseorang tidak boleh mengacungkan/'mengangkat senjata ke
hadapan orang lain. Karena boleh jadi dia tidak tahu setan akan mengendalikan
tangannya yang dengannya ia dapat membunuh sehingga terjerumus ke neraka”.[9]
Bahkan sekadar melihat orang lain dengan pandangan yang menakutkan
juga dilarang dalam Islam. Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa memandang orang lain dengan pandangan menakutkan
tanpa alasan yang benar, maka dia akan diperlakukan yang sama berupa pandangan
yang menakutkan dari Tuhan di hari kiamat".[10]
Karena itu, salah satu bentuk sedekah kepada orang lain adalah
pandangan dan senyuman manis kita di hadapan orang lain, demikian sabda Rasul.
Dalam pandangan al-Qur'an semua manusia yang hidup telah diberi
kemuliaan (takrim) oleh Allah swt. berupa hak-hak yang harus dihormati,
terlepas dari perbedaan agama, jenis kelamin, ras, dan suku (QS. al-Isra' [17]:
70)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar