Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan
kekerasan adalah jihad. Konsep ini sering disalahpahami tidak hanya oleh
kalangan non-Muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam yang tidak memahaminya
secara baik, benar, dan utuh. Secara bahasa, menurut pakar al-Qur'an, ar-Raghib
al-Ashfahani, dalam kamus kosakata al-Qur'an-nya (al-Mufraddt), jihad
adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta, dan pikiran untuk mengalahkan
musuh. Seperti diketahui, dalam jiwa setiap manusia kebajikan dar keburukan
sama-sama bersanding. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang terdiri atas banyak individu. Dari sinilah lahir perjuangan (jihad) baik
di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Karena itu
al-Ashfahani membagi jihad kepada tiga macam: 1) menghadapi musuh yang nyata;
2) menghadapi setan; dan 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri
masing-masing. Di antara ketiga macam jihad ini yang terberat adalah jihad
melawan hawa nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah saw. ketika beliau baru saja
kembali dari medan pertempuran; "Kita kembali dari jihad terkecil
menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.[1]
Memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan
bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur'an membuktikan
bahwa Rasulullah saw. telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Mekkah, dan
jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama.
Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijriah,
tepatnya 17 Ramadhan, dengan meletusnya Perang Badar, yaitu setelah turun ayat
yang mengizinkan perang mengangkat senjata seperti pada QS. al-Hajj [22]:
39-40. Allah berfirman:
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:
"Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa".
Ayat ini menunjukkan bahwa perang yang diperkenankan adalah dalam
rangka mempertahankan diri, agama, dan tanah air. Fithrah manusia cenderung
tidak menyukai perang atau kekerasan, dan lebih mendambakan kedamaian. (QS.
al-Baqarah [2]: 216) menyatakan demikian. Karena itu, hubungan Islam dengan
dunia luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tetapi dalam kondisi
tertentu, seperti jika ada pihak yang memusuhi Islam atau mengumumkan perang
terhadap Islam dan umat Islam, Islam mengizinkan perang.
Perang membela agama tidak hanya dibolehkan oleh Islam. Agama
Kristen yang sangat toleran sekalipun seperti tergambar dalam ungkapan Yesus
dalam Injil Matius [5], 39: Jika ada yang menampar pipi kanan Anda maka
putarlah dan berilah dia pipi kiri, juga membolehkan perang dalam situasi
manakala dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22], 35-38; Lukas [12],
49-52).
Mayoritas ulama Islam berpandangan tidak boleh memulai peperangan
kecuali jika orang kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam
lebih bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan
serangan. Para ahli hukum Islam (fuqahd) dari kalangan empat mazhab:
Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan, sebab perang dalam Islam
adalah karena ada permusuhan atau penyerangan dari orang kafir, bukan karena
kakafiran mereka. Kalau mereka menyerang umat Islam maka sudah menjadi
kewajiban untuk membalas serangan. Jadi, bukan karena kekafiran atau perbedaan
agama. Karena itu tidak boleh menyerang seseorang lantaran berbeda agama atau
kafir, tetapi hanya boleh jika ia menyerang lebih dahulu.[2]
Dari sini amat keliru pandangan sementara intelektual Barat yang
menyatakan "Islam jaya di atas pedang", "Islam tersebar dengan jalan
perang". Sejarah membuktikan sebaliknya. Di banyak belahan dunia, seperti
di Melayu, Islam tersebar dengan cara damai. Inilah yang membuat pemikir Barat
lain seperti Thomas Carlel, Gustav Le Bon, sejarawan terkenal asal Prancis,
mengkritik tesis para koleganya dengan menafikan tesis Islam tersebar dengan
pedang.[3]
Apalagi kalau kita pahami izin kebolehan berperang baru diperoleh dari
Tuhan setelah 15 tahun Rasulullah mengembangkan dakwah Islam.
Jihad dengan pengertian di atas tentunya sangat bertolak belakang
dengan terorisme }'ang secara bahasa berarti 'menimbulkan kengerian pada orang
lain yang biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu'. Jihad dengan
pengertian perang bertujuan untuk melindungi kepentingan dakwah Islam, termasuk
memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat manusia,
sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Tidak boleh ada
paksaan dalam memeluk agama. (QS. al-Baqarah [2]: 256 dan (QS. al-Kahfi [18]: 29) Karena
itu, ketika berhasil menaklukkan Yerussalem, Khalifah Kedua, Umar ra.,
memberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk
kota yang beragama Kristen. Beliau mengatakan, "Gereja-gereja mereka
tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka.
Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka,
dan juga tidak boleh disakiti......."[4]
Kendati dalam kondisi tertentu menggunakan kekerasan melalui jihad
diperbolehkan tetapi Islam memberikan aturan yang ketat dan sejalan dengan
prinsip-prinsip kemanusiaan, misalnya dalam sebuah peperangan Islam melarang
untuk membunuh agamawan yang mengkhususkan diri dengan beribadah, wanita, anak
kecil, orang tua lanjut usia, dan penduduk sipil lainnya yang tidak ikut
perang. Demikian pula Islam melarang perusakan lingkungan seperti menebang
pohon, membakar rumah, merusak tanaman, dan menyiksa binatang.[5]
Mufti Besar Mesir, Prof. Dr. Syekh Ali Jumu'ah, menyebutkan 6 syarat dan etika
perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yaitu:
1.
Cara dan tujuannya jelas dan
mulia;
2.
Perang/pertempuran hanya
diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil;
3.
Perang harus dihentikan bila
pihak lawan telah menyerah dan memilih damai;
4.
Melindungi tawanan perang dan
memperlakukannya secara manusiawi;
5.
Memelihara lingkungan, antara
lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman,
mencemari air dan sumur, merusak rumah/bangunan;
6.
Menjaga hak kebebasan beragama
para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.[6]
Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihad dengan pengertian
perang dan terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma'
al-Fiqh al-Islami no. 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan
Internasional poin kelima menyatakan, "Perlu diperjelas pengertian
beberapa istilah seperti jihad, terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan
media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus
dipahami sesuai dengan pengertian yang sebenarnya".[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar