Selasa, 12 Maret 2013

Karakterisktik Negara Yang Dilaknat Allah


Dalam sebuah hadits shahih, Imam Muslim meriwayatkan dari Auf bin Malik, bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan sebaliknya mereka mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin adalah yang memurkai kalian dan kalian juga murka kepada mereka, yang melaknat kalian dan kalian pun melaknat mereka”. Aut berkata, “Wahai Rasulullah, apakah boleh kami perangi mereka? Rasulullah menjawab, “Tidak boleh, selama mereka melaksanakan sholat, maka doakanlah mereka”. Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah, dijelaskan bahwa seseorang yang menolak perilaku penguasa yang zhalim dengan mendoakan, karna tidak mampu mengubahnya dengan perkataan dan perbuatan, maka dia telah lepas dari tanggung jawab. Tetapi, mereka yang mengikuti langkah zalim penguasa mereka itulah yang berbuat maksiat (al-‘ashi).

     Berdasarkan Hadits di atas, kita dapat berkata bahwa Islam tidak memperkenankan perbuatan melanggar hukum terhadap penguasa Muslim dan membunuh atau memeranginya selama mereka melaksanakan beberapa ketentuan ajaran Islam, walaupun hanya mendirikan sholat. Seorang muslim yang mendapati penguasa yang melanggar ajaran Islam hendaknya memberi nasihat dan menempuh jalan damai. Sebab, seperti dinyatakan dalam sebuah hadits, agama adalah nasihat, di antaranya bagi pemimpin muslim. Jika mereka melanggar ketentuan ajaran Islam, maka penduduk muslim tidak boleh menaatinya. Taat kepada penguasa hanya diperkenankan dalam batas-batas yang telah di tetapkan oleh Allah dan Rasulnya. Rakyat harus terus mengingatkan agar ajaran Islam di tegakkan dengan baik melalui keteladanan dan argumentasi yang meyakinkan, bukan dengan mengafirkan atau memerangi dan membunuh mereka. Dalam kaitan ini Imam Nawawi berkata:
“Janganlah kalian menghalangi dan mengkhianati penguasa dalam menjalankan pemerintahan, kecuali jika mereka secara terang-terangan mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam yang telah kalian ketahui. Jika kalian mendapati mereka sedemikian rupa, maka tolaklah dan sampaikan kebenaran di mana kalian berada. Adapun tindakan memboikot dan memerangi mereka, maka hukum haram berdasarkan kesepakatan (ijmak ulama), meskipun mereka fasik dan zalim. Penguasa yang zalim tidak dapat begitu saja dilengserkan atau di khianati, sebab hal itu dapat menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat, pertumpahan darah, terputusnya hubungan persaudaraan, sehingga dampak buruk jauh lebih besar dari kezaliman yang di lakukanya.”

     Menurut Imam ad-Dawudi, mayoritas ulama berpandangan dalam hal penguasa yang zalim, bila memungkinkan untuk di lengserkan tanpa menimbulkan gejolak (fitnah) di tengah masyarakat dan di lakukan secara legal maka hukumnya wajib. Tetapi bila tidak, maka hendaknya bersabar dengan mendoakannya.

     Diakui, di Negara ajaran Islam, hukum-hukum Islam tidak di terapkan secara menyeluruh (kaffah/komperhensif), padahal umat Islam di tuntut menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik pada tataran individu maupun masyarakat. Tetapi, sejarah membuktikan,tuntutan agar di terapkan hukum Islam oleh penguasa melalui aksi kekerasan dan benturan senjata tidak pernah berhasil mengembalikan syariah Islam yang ‘hilang’ (tidak di terapkan). Bahkan sebaliknya, seperti di akui oleh kelompok Jamaah Islamiyah, mesir, yang telah menyatakan pertobatan massal  mereka tahun 1997, aksi kekerasan justru menimbulkan petaka besar bagi Islam dan umat Islam. Peledakan dan pengeboman yang di lakukan sejumlah aktivis muslim bersenjata di beberapa Negara telah mempersempit ruang gerak dakwah Islam. Sikap anti Islam merebak di Negara-negara barat. Amerika Serikat dan sekutunya dengan beraninya mengintervensi Negara-negara Islam dengan alasan mencegah pemikiran dan sikap radikal di kalangan umat Islam. Aksi-aksi seperti itu juga telah menghambat laju pertumbuhan ekonomi di Negara-negara Islam karena iklim usaha yang tidak konduksif akibat hilangnya rasa aman.

     Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa melakukan pemberontakan dan upaya penggulingan suatu pemerintahan yang sah dengan alasan pengafiran massal terhadap Negara-rakyat dan pemerintah-berdasarkan ketiga ayat surah al-Ma’idah tersebut, merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan agama. Lebih-lebih lagi bila di ketahui bahwa terdapat banyak ayat al-Qur’an dan sabda Nabi saw. Yang melarang untuk gegabah mengafirkan sesama Muslim tanpa bukti-bukti yang jelas dan meyakinkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Ambillah misalnya firman Allah dalam Qs. an-Nisa’ [4]: 94:
“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu, ‘kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak.”

     Berkaitan dengan larangan untuk tidak gegabah mengafirkan sesama Muslim, Rasulullah saw. Mewanti-wanti, antara lain, melalui dua sabdanya:
“Tiga hal yang termasuk prinsip keimanan, di antaranya, tidak menyakiti orang yang mengucapkan la ilaha illAllah, tidak mengafirkan karena berbuat dosa, dan tidak mengeluarkan dari Islam karena amalnya.
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain sebagai fasik dan kafir, kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya jika yang di tuduh tidak demikian keadaannya”. (HR. Ahmad)

     Dari nash-nash di atas menjadi jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan mengafirkan seorang muslim yang telah berbuat dosa_lebih-lebih dalam bentuk takfir missal terhadap Negara-baik dosa karena meninggalkan kewajiban maupun menjalankan yang di haramkan. Bahkan, begitu keras larangan mengafirkan sesame Muslim dalam Islam, sampai-sampai tuduhan kafir yang dilontarkan seseorang, jika tidak benar, justru akan menjadi boomerang bagi si penuduh, wal-‘iyadzu billah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar