Dalam sebuah hadits shahih, Imam Muslim meriwayatkan
dari Auf bin Malik, bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai
kalian, kalian mendoakan mereka dan sebaliknya mereka mendoakan kalian.
Seburuk-buruk pemimpin adalah yang memurkai kalian dan kalian juga murka kepada
mereka, yang melaknat kalian dan kalian pun melaknat mereka”. Aut berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah boleh kami perangi mereka? Rasulullah menjawab,
“Tidak boleh, selama mereka melaksanakan sholat, maka doakanlah mereka”. Dalam
riwayat lain dari Ummu Salamah, dijelaskan bahwa seseorang yang menolak
perilaku penguasa yang zhalim dengan mendoakan, karna tidak mampu mengubahnya
dengan perkataan dan perbuatan, maka dia telah lepas dari tanggung jawab. Tetapi,
mereka yang mengikuti langkah zalim penguasa mereka itulah yang berbuat maksiat
(al-‘ashi).
Berdasarkan Hadits di atas, kita dapat berkata bahwa Islam tidak
memperkenankan perbuatan melanggar hukum terhadap penguasa Muslim dan membunuh
atau memeranginya selama mereka melaksanakan beberapa ketentuan ajaran Islam,
walaupun hanya mendirikan sholat. Seorang muslim yang mendapati penguasa yang
melanggar ajaran Islam hendaknya memberi nasihat dan menempuh jalan damai.
Sebab, seperti dinyatakan dalam sebuah hadits, agama adalah nasihat, di
antaranya bagi pemimpin muslim. Jika mereka melanggar ketentuan ajaran Islam,
maka penduduk muslim tidak boleh menaatinya. Taat kepada penguasa hanya
diperkenankan dalam batas-batas yang telah di tetapkan oleh Allah dan Rasulnya.
Rakyat harus terus mengingatkan agar ajaran Islam di tegakkan dengan baik
melalui keteladanan dan argumentasi yang meyakinkan, bukan dengan mengafirkan
atau memerangi dan membunuh mereka. Dalam kaitan ini Imam Nawawi berkata:
“Janganlah kalian
menghalangi dan mengkhianati penguasa dalam menjalankan pemerintahan, kecuali
jika mereka secara terang-terangan mengingkari prinsip-prinsip ajaran Islam
yang telah kalian ketahui. Jika kalian mendapati mereka sedemikian rupa, maka
tolaklah dan sampaikan kebenaran di mana kalian berada. Adapun tindakan
memboikot dan memerangi mereka, maka hukum haram berdasarkan kesepakatan (ijmak
ulama), meskipun mereka fasik dan zalim. Penguasa yang zalim tidak dapat begitu
saja dilengserkan atau di khianati, sebab hal itu dapat menimbulkan kekacauan
di tengah masyarakat, pertumpahan darah, terputusnya hubungan persaudaraan,
sehingga dampak buruk jauh lebih besar dari kezaliman yang di lakukanya.”
Menurut Imam ad-Dawudi, mayoritas ulama berpandangan dalam hal penguasa
yang zalim, bila memungkinkan untuk di lengserkan tanpa menimbulkan gejolak
(fitnah) di tengah masyarakat dan di lakukan secara legal maka hukumnya wajib.
Tetapi bila tidak, maka hendaknya bersabar dengan mendoakannya.
Diakui, di Negara ajaran Islam, hukum-hukum Islam tidak di terapkan
secara menyeluruh (kaffah/komperhensif), padahal umat Islam di tuntut
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik pada tataran individu maupun
masyarakat. Tetapi, sejarah membuktikan,tuntutan agar di terapkan hukum Islam
oleh penguasa melalui aksi kekerasan dan benturan senjata tidak pernah berhasil
mengembalikan syariah Islam yang ‘hilang’ (tidak di terapkan). Bahkan
sebaliknya, seperti di akui oleh kelompok Jamaah Islamiyah, mesir, yang telah
menyatakan pertobatan massal mereka
tahun 1997, aksi kekerasan justru menimbulkan petaka besar bagi Islam dan umat Islam.
Peledakan dan pengeboman yang di lakukan sejumlah aktivis muslim bersenjata di
beberapa Negara telah mempersempit ruang gerak dakwah Islam. Sikap anti Islam
merebak di Negara-negara barat. Amerika Serikat dan sekutunya dengan beraninya mengintervensi
Negara-negara Islam dengan alasan mencegah pemikiran dan sikap radikal di
kalangan umat Islam. Aksi-aksi seperti itu juga telah menghambat laju
pertumbuhan ekonomi di Negara-negara Islam karena iklim usaha yang tidak
konduksif akibat hilangnya rasa aman.
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa melakukan
pemberontakan dan upaya penggulingan suatu pemerintahan yang sah dengan alasan
pengafiran massal terhadap Negara-rakyat dan pemerintah-berdasarkan ketiga ayat
surah al-Ma’idah tersebut, merupakan suatu tindakan yang bertentangan dengan
agama. Lebih-lebih lagi bila di ketahui bahwa terdapat banyak ayat al-Qur’an
dan sabda Nabi saw. Yang melarang untuk gegabah mengafirkan sesama Muslim tanpa
bukti-bukti yang jelas dan meyakinkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Ambillah misalnya firman Allah dalam Qs. an-Nisa’ [4]: 94:
“Dan janganlah
kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepadamu, ‘kamu bukan
seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda
kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak.”
Berkaitan dengan larangan untuk tidak gegabah mengafirkan sesama Muslim,
Rasulullah saw. Mewanti-wanti, antara lain, melalui dua sabdanya:
“Tiga hal yang
termasuk prinsip keimanan, di antaranya, tidak menyakiti orang yang mengucapkan
la ilaha illAllah, tidak mengafirkan karena berbuat dosa, dan tidak mengeluarkan
dari Islam karena amalnya.
“Tidaklah
seseorang menuduh orang lain sebagai fasik dan kafir, kecuali tuduhan itu akan
kembali kepadanya jika yang di tuduh tidak demikian keadaannya”. (HR. Ahmad)
Dari nash-nash di atas menjadi jelas kiranya bahwa Islam tidak
membenarkan mengafirkan seorang muslim yang telah berbuat dosa_lebih-lebih
dalam bentuk takfir missal terhadap Negara-baik dosa karena meninggalkan
kewajiban maupun menjalankan yang di haramkan. Bahkan, begitu keras larangan
mengafirkan sesame Muslim dalam Islam, sampai-sampai tuduhan kafir yang
dilontarkan seseorang, jika tidak benar, justru akan menjadi boomerang bagi si
penuduh, wal-‘iyadzu billah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar