Senin, 04 Maret 2013

Darul Islam Dan Darul Harbi


Istilah dar al-Islam dan dar al-harb/al kufr begitu sangat popular dalam buku-buku fiqih dan sejarah Islam klasik. bahkan, tidak sedikit ulama kontemporer yang masih menggunakan istilah tersebut dengan mengklasifikasi masyarakat berdasarkan keyakinan/akidah; Muslim atau non-Muslim. Al-Maududi, ulama besar Pakistan, misalnya, menyatakan Negara/masyarakat yang tidak menerapkan hukum Allah (hakimiyyatullah) adalah masyarakat jahiliah dan dianggap telah kafir (wilayah/dar al-kufr). Mereka yang menerima prinsip-prinsip Negara Islam disebut muslim, dan yang tidak menerima disebut non-muslim. Atas dasar itulah masyarakat sebuah Negara Islam dibatasi. senada dengan itu, pakar hukum Islam dari irak, Abdul Karim Zaidan, menulis: ”syariah Islam mengelompokan masyarakat berdasarkan sikap mereka terhadap Islam;menolak atau menerima”. berangkat dari pemahaman ini, tidak sedikit kelompok muslim yang melancarkan serangan terhadap pemerintah Negara yang tidak menerapkan hokum Islam sepenuhnya, meskipun pemimpinnya seorang muslim.    

     Menurut mereka, menegakkan hukum Allah adalah sebuah keharusan, dan itu hanya dapat dicapai dengan mendirikan Negara Islam. Wilayah atau Negara yang menerapkan hukum Allah itu disebut.dar al-Islam. Sebuah dar al-Islam  berubah statusnya menjadi dar al-kufr/al-harb bila terdapat tiga hal: 1)berlaku hukum-hukum orang kafir; 2) tidak ada rasa aman bagi umat Islam di negeri tersebut; dan 3)berdampingan dengan wilayah kafir yang mengancam ketenangan umat Islam.mengingat hampir seluruh Negara berpenduduk muslim tidak menerapkan hukum Allah, tetapi menggunakan undang-undang atau hukum yang dibuat oleh non-muslim, maka pemerintahan Negara tersebut adalah kafir dan harus diperangi. Bagi mereka, sikap mengesampingakan hukum Allah dan menggantinya dengan hukum buatan manusia  merupakan tindakan yang dikecam oleh al-Qur’an seperti dalam firman nya:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs.al-Ma’idah [5]: 50).

     Pembagian wilayah /Negara atau masyarakat seperti di atas tidak di temukan dalam al-Qur’an ataupun hadits, tidak ada di bagian manapun dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara eksplisit klasifikasi seperti itu, begitu pula dalam sunnah Rasul. Pembagian tersebut merupakan ijtihad atau pandangan para ulama masa lalu dalam menggambarkan pola hubungan antara muslim dan non-muslim, yang di pengaruhi oleh situasi atau realitas saat mereka hidup dulu. Oleh karna itu, tidak patut untuk di pandang sebagai ajaran atau ketentuan agama. Pandangan tersebut dikemukakan dalam rangka merespons realitas yang sudah sangat berbeda dengan relitas saat ini.

     Thariq Ramadhan, cucu pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, menulis dalam bukunya, To Be a European Muslim:
“Dar al-Islam dan Dar al-harb adalah dua konsep yang tidak biasa di temukan dalam al-Qur’an maupun sunnah. Keduanya sebenarnya tidak berakar pada sumber dasar Islam yang prinsip-prinsipnya di persembahkan untuk seluruh dunia (lil ‘alamin), menembus batas waktu dan segala batasan geografis bahkan, hal itu adalah usaha manusia yang pengaruhi oleh sejarah dengan tujuan untuk mendeskripsikan dunia dan untuk memberi umat Islam suatu standar bagi mengukur dunia dan menyesuaikan diri dengan realitas mereka.”

Besarnya tantangan yang di hadapi dakwah Islam sejak perjalanannya, baik di jazirah Arab maupun di luarnya, membentuk pola pikir tersendiri di kalangan penganutnya dalam menghadapi pihak-pihak di luar Islam. Siksaan dan tekanan yang di lakukan kaum musyrik mekkah, konspirasi yahudi Khaibar, Bani Nadhir, dan Bani Qaynuqa’ serta serangan Persia dari timur dan Romawi Byzantium dari barat adalah sekedar menyebut contoh permusuhan terhadap Islam. Karena itu, sangat wajar kalau kemudian upaya mengamankan misi dakwah menjadi prioritas perhatian para aktivis dakwah pada periode awal. Dan menjadi sangat logis kalau para ahli fiqih dalam mengklasifikasi masyarakat pada waktu itu di pengaruhi oleh suasana psikologis seperti itu yang kemudian melahirkan kategori pembagian wilayah menjadi dar al-Islam (Negara/Islam) dan dar al-harb (Negara/wilayah perang). Istilah dar al-Islam pertama di sematkan kepada kota Madinah, tempat Rasulullah berhijrah. Selanjutnya, setelah perluasan wilayah, satu per satu wilayah tersebut dinamakan dar al-Islam. Sebaliknya, kota/wilayah selain Madinah pada masa awal di sebut wilayah perang dan perjuangan. Istilah lain untuk dar al-harb adalah dar al-kufr (wilayah kufur) atau dar al-syirk (wilayah syirik).

     Dalam fiqih Islam, klasifikasi masyarakat tidak selalu demikian, yaitu berdasarkan keyakinan/akidah. Para ulama sendiri berbeda pendapat mengenai definisi dar al-Islam dan dar al-harb. Para pengikut Mazhab Hanafi dan Zaidiyah berpandangan yang menentukan adalah terpenuhinya rasa aman bagi penduduknya. Jika di tempat tersebut seorang muslim secara penuh merasa aman, maka itulah dar al-Islam; dan jika tidak ada rasa aman, maka itulah dar al-harb (wilayah perang). Sebagian ulama berpendapat, jika umat Islam merasa aman di suatu wilayah dan dapat melaksanakan ritual keagamaan dengan baik, maka wilayah tersebut adalah dar al-Islam, meskipun dipimpin oleh seorang non-Muslim/kafir. Berdasarkan pandangan ini, klasifikasi wilayah tidak berdasarkan Islam atau tidak, tetapi terpenuhi rasa aman atau tidak. Maka, keliru jika ada yang beranggapan, yang di sebut warga Negara/penduduk dalam sebuah Negara Islam adalah yang menganut Islam, sementara non-muslim disebut warga Negara asing/pendatang.

     Selain itu, adanya dar al-harb tidak menandakan keadaan perang di antara kedua golongan. Klasifikasi itu tidak berarti harus membuat permusuhan terhadap non-muslim. Dua orang ulama paling terkenal dari Mazhab Hanafi, Abu Yusuf dan asy-Syaibani, memandang bahwa status dar al-harb boleh diberikan kepada tanah di bawah kekuasaan Muslim dan diisi oleh penduduk muslim jika berlaku hukum bukan Islam. Mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa suatu negeri non-muslim yang tidak berada dalam keadaan perang dengan muslim tidak dinamakan dar al-harb. Pandangan ini menepis anggapan bahwa umat Islam di perintahkan untuk senantiasa berperang tanpa henti dengan non-muslim.

     Pola hubungan antara umat Islam dan lainnya sangat jelas digambarkan oleh Rasulullah ketika membuat perjanjian dengan “pihak lain” (kabilah-kabilah Arab dan Yahudi), yang dapat di anggap sebagai naskah konstitusi Negara yang pertama dalam Islam. Di situ disebutkan, “Yahudi dari Bani Auf adalah bersama umat Islam”. Dalam kesepakatan itu, wilayah non-muslim tidak di kelompokkan sebagai dar al-harb, tetapi mereka adalah bagian dari umat Islam selama menunjukkan loyalitasnya.

     Prinsip hubungan muslim dan non-muslim adalah kedamaian dan keharmonisan. Walaupun berbeda dalam akidah, seorang muslim tidak diperkenankan menyerang mereka yang berbeda agama dan keyakinan hanya karena perbedaan itu. Selama mereka tidak menunjukkan permusuhan dan tidak melakukan ancaman perang, maka tidak boleh memerangi mereka. Prinsip hubungan tersebut di atur dalam firman Allah berikut:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Qs.al-Mumtahanah  [60]: 8-9)

     Klasifikasi itu dibuat di saat dunia belum mengenal hukum internasional dan organisasi-organisasi internasional yang mengatur pola hubungan antara masyarakat dunia. Konsep dar al-harb saat ini hanya ada dalam buku-buku sejarah masa lalu, dan sulit ditemukan bentuknya dalam masyarakat modern. Negara atau wilayah yang di huni umat Islam saat ini terbagi dalam banyak Negara yang terhubung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Hanya empat Negara yang dengan tegas menyebut sebagai Negara Islam, yaitu Pakistan, Iran, Komoros, dan Mauritania. Lainnya berbau nasionalisme, atau menyandang nama keluarga besar. Satu hal yang ironis, jika kita lihat realitas saat ini, wilayah perang (dar al-harb) tidak lagi di wilayah non-muslim, tetapi perang saat ini banyak terjadi antara Negara-negara yang di huni umat Islam. Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat saat ini sudah berubah, sehingga klasifikasi yang pernah dibuat oleh ulama masa lalu tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Para ulama sepakat bahwa sebuah fatwa hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan waktudan tempat.

     Selain itu,saat ini setiap Negara muslim yang merupakan anggota dari perserikatan bangsa-bangsa(PBB) secara otomatis mempunyai perjanjian damai dengan semua anggota PBB lain sesuai dengan aturan piagam PBB. Ketika suatu Negara menandatangani perjanjian untuk menjadi anggota PBB sebenarnya negara tersebut mendatangani kontrak. Islam mewajibkan muslim untuk memenuhi semua kontrak yang telah disepakati,tanpa membadakan kontrak tersebut ditandatangani sesama muslim ataupun dengan iman non-muslim. (QS. Al-Ma’idah [5]: 1)

     Lalu, bagaimana kita menyikapi Negara dan penguasa yang tidak menerapkan hukum Allah? Dan, apakah Negara-negara berpenduduk muslim saat ini, termasuk Indonesia, tidak menerapkan hukum Allah sehingga harus diperangi? urainnya terdapat pada tulisan berikut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar