Secara umum,
ajaran Islam bercirikan moderat (wasath);
dalam akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini di sebut dalam al-Qur’an
sebagai ash-Shirath al-mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan
jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhub
‘alaihim) dan yang sesat (adh-dhallun)
karena melakukan banyak penyimpangan. Kalau al-magdhubi ‘alaihim di pahami
sebagai kelompok yahudi, seperti dalam sebuah penjelasan Rasul, itu karena
mereka telah menyimpang dari jalan lurus dengan membunuh para nabi dan
berlebihan dalam mengharamkan segala sesuatu. Demikian jika adh-dhallin di
pahami sebagai kelompok nasrani, itu karena mereka berlebihan sampai
mempertuhankan nabi. Umat Islam berada di antara sikap berlebihan itu, sehingga
dalam al-Qur’an di beri sifat sebagai ummatan
wasathan. Allah berfirman:
“Dan demikian
(pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas (pebuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 143)
Wasathiyyah (moderasi) berarti
keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; ‘kiri’ dan ‘kanan’,
berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal, seperti
halnya sifat demawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhil) dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath biasa diartikan dengan ‘tengah’.
Dalam sebuah Hadits nabi, ummatan wasathan di tafsirkan dengan ummatan ‘udulan,
jamak dari ‘adl (umat yang adil dan proporsional). Karena mereka umat yang
adil, di tempat lain dalam al-Qur’an mereka di sebut sebagai khairu ummah, umat
terbaik (Qs. Ali ‘Imran [3]: 110). Keterkaitan
ini mengesankan bahwa sikap moderat adalah yang terbaik, sebaliknya sikap
berlebihan (al-ghuluww) terutama
dalam keberagamaan menjadi tercela. Al-Qur’an mengecam keras sikap ahlul kitab;
Yahudi dan Nasrani yang terlalu berlebihan dalam beragama. Allah berfirman:
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui
batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang
benar. Sesungguhnya al-masih, ‘Isa putra
maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-nya yang
di sampaikan-nya kepada maryam, dan (dengan tiupan) roh darinya. Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Rasulnya dan janganlah kamu mengatakan:
“(tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu.
Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, maha suci Allah dari mempunyai anak,
segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaannya. Cukuplah Allah sebagai
pemelihara”, (Qs. Al-Nisa [4]: 171)
Sikap berlebihan ini pula yang menjadikan
tatanan kehidupan umat terdahulu rusak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw.
Bersabda:
“jauhilah sikap berlebihan dalam beragama,
sesungguhnya sikap berlebihan telah membinasakan umat sebelum kalian.
Melihat sebab wurud (lahirnya) Hadits ini,
ada satu pesan yang ingin di sampaikan oleh Rasulullah, yaitu sikap berlebihan
dalam beragama terkadang di mulai dari yang terkecil, kemudian merembet ke hal-hal
lain yang membuat semakin besar. Hadits ini di latarbelakangi oleh peristiwa
saat nabi melakukan Haji Wada. Ketika di Muzdalifah beliau meminta kepada Ibnu
Abbas agar di ambilkan kerikil untuk melontar ke mina. Lalu Ibnu Abbas
memberikan beberapa batu kecil yang kemudian di komentari dengan pernyataan di
atas. Komentar tersebut mengingatkan agar jangan sampai ada yang berfikiran,
melontar dengan menggunakan batu-batu besar lebih utama dari pada batu-batu
kecil, mengingat ramyul jamarat
(melontar jumrah) merupakan simbol perlawanan terhadap setan. Niatnya memang
baik, di dorong oleh semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi itu belum cukup.
Kualitas sebuah amal dalam Islam sangat di tentukan oleh niat yang ikhlas dan
di dasari ilmu pengetahuan. Peringatan agar tidak berlebihan ini, menurut Ibnu
Taimiyah, berlaku dalam hal apa saja; keyakinan maupun ibadah atau perbuatan.
Kenyataan yang kita hadapi saat ini,
semangat keberagamaan yang tinggi telah mendorong sebagian kalangan,terutama
kalangan muda, mengambil sikap berlebihan (al-ghuluw)
dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama yang mendukung perlawanan terhadap
hegemoni Negara tertentu. Sikap ini menurut Yusuf al-Qardhawi, biasanya diikuti
dengan sikap: a) fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan
yang berbeda; b) pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan
tertentu yang biasanya sangat ketat dank eras; c) su’u zhann (negative thinking) terhadap orang lain karna menganggap
dirinya yang paling benar; d) menganggap orang lain yang tidak sepaham sebagai
telah kafir sehingga halal darahnya.
Sikap ini bukan saja telah menjauhkan
mereka dari sesama muslim, apalagi non-Muslim, tetapi juga menjauhkan mereka
dari Islam yang ajarannya sangat modert dan toleran, terutama terhadap mereka
yang berbeda, bak keyakinan maupun pandangan keagamaan. Catatan hitam aksi
kekerasan yang di lancarkan beberapa kelompok Islam garis keras di Mesir dari
tahun 1976 sampai 1996 menunjukkan sasaran aksi tersebut tidak hanya kepada
non-muslim seperti para turis,tetapi juga sesame muslim.Motif aksi terhadap
non-muslim,seperti tercantum dalam beberapa dokumen jama’at al-jihad seperti
sabilul huda wa al-rasyad dan al-kalimat al-mamnu’ah,adalah karena meraka orang
kafir yang memasuki sebuah Negara isalam tanpa ada perjanjian sehingga wajib
diperangi. Visa yang mereka peroleh sebagai jaminan keamanan memasuki sebuah
Negara dianggap tidak sah karena dikeluarkan oleh pemerintah yang kafir karena
tidak menerapkan syariat Islam.
Motif tersebut memang bukan satu satunya.
Banyak faktor yang melatarbelakangi aksi-aksi tersebut seperti politik, social, budaya dan lain
sebagainya, tetapi faktor-faktor tersebut bukan tempatnya diurai disini. Bukan
berarti tidak penting,tetapi yang terucap dan terungkap melalui berbagai
pernyataan atau penyidikan adalah motif keagamaan yang diterjemahkan dalam
pemahamaan teks-teks keagamaan yang sempit. Maka,menjadi penting untuk
menumbuhkan kembali sikap moderasi Islam,terutama dalam hubungannya dengan
non-muslim maupun dalam menyikapi berbagai realitas kehidupan. WAllahu A’lam.