Sejak tiga dekade terakhir di penghujung milenium kedua, tepatnya
pertengahan tahun tujuh puluhan, masyarakat internasional dikejutkan oleh
berbagai tindakun kekerasan, khususnya aksi teror terhadap berbagai kepentingan
Amerika Serikat[1]
dan Israel .
Aksi-aksi tersebut terus meluas seiring dengan datangnya milenium ketiga yang
ditandai dengan serangan 11 September 2001 terhadap gedung WTC dan Pentagon.
Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut dan yang
sebelumnya, dan dianggap sebagai ancaman" bagi kehidupan masyarakat dunia.
Berbagai stigma dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme,
radikalisme, dan sebagainya. Stigmatisasi ini seakan membenarkan pandangan
beberapa pemikir Barat yang berpandangan Islam sebagai ancaman pasca-runtuhnya
Soviet, seperti Samuel Huntington dengan tesisnya "the clash of
civilization".
Dengan menggalang kekuatan internasional, AS melancarkan kampanye
anti-teror. Atas nama itu Afghanistan
dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan gerakan keagamaan juga menjadi
sasaran, terutama jaringan al-Qaeda internasional. Tuduhan tersebut menemukan
relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang menyebutkan motivasi keagamaan
dibalik aksi mereka, sehingga banyak pengamat mengaitkan gerakan Islam garis
keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak faktor yang melatar belakanginya,
seperti politik. ekonomi, sosial, psikologi, dan lainnya, tetapi faktor
keyakinan dan pemahaman. Terhadap beberapa doktrin keagamaan agaknya yang
paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan tertentu,
yang notabene berbeda agama, ialam berbagai dimensi kehidupan mendapat
legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nashshl),
parsial (juz'i) dan ekstrem/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga,
terkesan konflik bukan lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat
hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan meluas kepada konflik agama.
Fenomena meningkatnya gairah keagamaan, untuk tidak mengatakan
kebangkitan Islam, di kalangan muda seperti disinyalir oleh Syekh Yusuf
al-Qaradhawi juga telah diwarnai dengan sikap berlebihan (al-ghuluw) dan
ekstremitas (at-tatharruf)[2]
sehingga tuduhan banyak kalangan bahwa Islam menganjurkan kekerasan dan
terorisme menjadi semakin melekat. Konsep menegakkan kebenaran dan memberantas
kemungkaran (amar makruf nahi munkar) bagi sebagian kalangan menjadi dalih
berbagai aksi kekerasan. Islam dan umat Islam 'seakan' menjadi tidak ramah lagi
terhadap penganut agama lain. Padahal, sekian banyak teks keagamaan dalam Islam
mengecam keras segala bentuk kekerasan dan terorisme seperti dalam pandangan
banyak kalangan Barat.
Sejujurnya, kita
dapat mengatakan, pandangan-pandangan seperti itu lahir disebabkan, setidaknya,
oleh dua hal: 1) ketidaktahuan Barat tentang Islam yang sebenarnya, karena
pengetahuan Barat tentang Islam diwarnai oleh buku-buku keislaman yang ditulis
oleh orientalis pada masa penjajahan dahulu; 2) kerancuan dalam memahami konsep
jihad dan perang dalam Islam dan mempersamakannya dengan terorisme dalam
pandangan mereka.
Atas dasar itu,
merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk memahami lebih jauh lagi ajaran
Islam, sebelum kita memahamkan orang lain dan membuktikan dengan tindakan nyata
bahwa Islam adalah agama kedamaian yang akan menebar kasih di muka bumi. Kami
utus engkau (hai Muhammad) tidak lain untuk menebar rasa kasih bagi semesta
alam. (QS. al-Anbiya' [21]: 107)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar