Amar makruf nahi munkar dengan pengertian menegakkan kebenaran dan
memberantas kemungkaran adalah salah satu sendi terbesar dalam setiap agama. Para nabi: pun di utus untuk itu, sebab tanpa
prinsip tersebut kerusakan di bumi akan merajalela. Di dalam al-Qur'an perintah
untuk itu sangat jelas. Allah berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah
dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung".
Dalam Haditsnya Rasulullah bersabda:
Barangsiapa di antara 1 tlian mendapatkan kemungkaran
maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatan), bila tidak bisa maka
dengan lisannya, dan kalau itu pun tidak bisa maka dengan hatinya, dan itu
adalah selemah-lemahnya iman.[1]
Dalam riwayat lain Rasulullah saw. berasabda:
Demi Zat Yang jiwaku berada di tangan-Nya,
hendaknya kalian beramar ma'ruf nahi munkar, atau (kalau tidak) Allah akan
mengirimkan azab dari sisi-Nya dalam waktu dekat, kemudian kalian berdoa dan
doa kalian tidak akan dikabulkan.[2]
Demikian prinsip-prinsip agama menyangkut amar
ma'ruf nahi munkar. Dalam tradisi keilmuan Islam, prinsip ini dikenal dengan hisbah
yang bertujuan menjaga stabilitas internal masyarakat Muslim dari berbagai
bentuk pelanggaran dan penyelewengan terhadap nilai-nilai agama dan
kemanusiaan. Dilihat dari tujuannya sangatlah mulia, dan bukan sebuah tugas
yang ringan, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa syarat dan
perangkat kelengkapan yang memadai. Karena itu, seperti pada ayat di atas, yang
diharapkan dapat melaksanakannya adalah Vnereka yang mencukupi syarat, tidak
semua orang berkewajiban hisbah. Kata minkum mengesankan arti
sebagian di antara kalian, tidak semua.
Salah satu konsep ajaran Islam yang dianggap menumbuhsuburkan
kekerasan adalah jihad. Konsep ini sering disalahpahami tidak hanya oleh kalangan
non-Muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam yang tidak memahaminya secara
baik, benar, dan utuh. Secara bahasa, menurut pakar al-Qur'an, ar-Raghib
al-Ashfahani, dalam kamus kosakata al-Qur'an-nya (al-Mufraddt), jihad
adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta, dan pikiran untuk mengalahkan
musuh. Seperti diketahui, dalam jiwa setiap manusia kebajikan dar keburukan
sama-sama bersanding. Begitu pula dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang terdiri atas banyak individu. Dari sinilah lahir perjuangan (jihad) baik
di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Karena itu
al-Ashfahani membagi jihad kepada tiga macam: 1) menghadapi musuh yang nyata;
2) menghadapi setan; dan 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri
masing-masing. Di antara ketiga macam jihad ini yang terberat adalah jihad
melawan hawa nafsu, sebagaimana sabda Rasulullah saw. ketika beliau baru saja
kembali dari medan
pertempuran; "Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad yang lebih
besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.[1]
Memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan
bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur'an membuktikan
bahwa Rasulullah saw. telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Mekkah, dan
jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama.
Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijriah,
tepatnya 17 Ramadhan, dengan meletusnya Perang Badar, yaitu setelah turun ayat
yang mengizinkan perang mengangkat senjata seperti pada QS. al-Hajj [22]:
39-40. Allah berfirman:
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:
"Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak
(keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi
dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa".
Ayat ini menunjukkan bahwa perang yang diperkenankan adalah dalam
rangka mempertahankan diri, agama, dan tanah air. Fithrah manusia cenderung
tidak menyukai perang atau kekerasan, dan lebih mendambakan kedamaian. (QS.
al-Baqarah [2]: 216) menyatakan demikian. Karena itu, hubungan Islam dengan
dunia luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tetapi dalam kondisi
tertentu, seperti jika ada pihak yang memusuhi Islam atau mengumumkan perang
terhadap Islam dan umat Islam, Islam mengizinkan perang.
Perang membela agama tidak hanya dibolehkan oleh Islam. Agama
Kristen yang sangat toleran sekalipun seperti tergambar dalam ungkapan Yesus
dalam Injil Matius [5], 39: Jika ada yang menampar pipi kanan Anda maka
putarlah dan berilah dia pipi kiri, juga membolehkan perang dalam situasi
manakala dipandang membahayakan diri (Injil Lukas [22], 35-38; Lukas [12],
49-52).
Mayoritas ulama Islam berpandangan tidak boleh memulai peperangan
kecuali jika orang kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam
lebih bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan
serangan. Para ahli hukum Islam (fuqahd) dari kalangan empat mazhab:
Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan, sebab perang dalam Islam
adalah karena ada permusuhan atau penyerangan dari orang kafir, bukan karena
kakafiran mereka. Kalau mereka menyerang umat Islam maka sudah menjadi
kewajiban untuk membalas serangan. Jadi, bukan karena kekafiran atau perbedaan
agama. Karena itu tidak boleh menyerang seseorang lantaran berbeda agama atau
kafir, tetapi hanya boleh jika ia menyerang lebih dahulu.[2]
Dari sini amat keliru pandangan sementara intelektual Barat yang
menyatakan "Islam jaya di atas pedang", "Islam tersebar dengan
jalan perang". Sejarah membuktikan sebaliknya. Di banyak belahan dunia,
seperti di Melayu, Islam tersebar dengan cara damai. Inilah yang membuat
pemikir Barat lain seperti Thomas Carlel, Gustav Le Bon, sejarawan terkenal
asal Prancis, mengkritik tesis para koleganya dengan menafikan tesis Islam
tersebar dengan pedang.[3]Apalagi kalau kita pahami izin kebolehan berperang baru diperoleh dari
Tuhan setelah 15 tahun Rasulullah mengembangkan dakwah Islam.
Jihad dengan pengertian di atas tentunya sangat bertolak belakang
dengan terorisme }'ang secara bahasa berarti 'menimbulkan kengerian pada orang
lain yang biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu'. Jihad dengan
pengertian perang bertujuan untuk melindungi kepentingan dakwah Islam, termasuk
memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat manusia,
sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Tidak boleh ada
paksaan dalam memeluk agama. (QS. al-Baqarah [2]:256 dan (QS. al-Kahfi [18]: 29) Karena
itu, ketika berhasil menaklukkan Yerussalem, Khalifah Kedua, Umar ra.,
memberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk
kota yang beragama Kristen. Beliau mengatakan, "Gereja-gereja mereka
tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka.
Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka,
dan juga tidak boleh disakiti......."[4]
Kendati dalam kondisi tertentu menggunakan kekerasan melalui jihad
diperbolehkan tetapi Islam memberikan aturan yang ketat dan sejalan dengan
prinsip-prinsip kemanusiaan, misalnya dalam sebuah peperangan Islam melarang
untuk membunuh agamawan yang mengkhususkan diri dengan beribadah, wanita, anak
kecil, orang tua lanjut usia, dan penduduk sipil lainnya yang tidak ikut
perang. Demikian pula Islam melarang perusakan lingkungan seperti menebang
pohon, membakar rumah, merusak tanaman, dan menyiksa binatang.[5]
Mufti Besar Mesir, Prof. Dr. Syekh Ali Jumu'ah, menyebutkan 6 syarat dan etika
perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yaitu:
1.Cara dan tujuannya jelas dan
mulia;
2.Perang/pertempuran hanya diperbolehkan
dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil;
3.Perang harus dihentikan bila
pihak lawan telah menyerah dan memilih damai;
4.Melindungi tawanan perang dan
memperlakukannya secara manusiawi;
5.Memelihara lingkungan, antara
lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman,
mencemari air dan sumur, merusak rumah/bangunan;
6.Menjaga hak kebebasan beragama
para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.[6]
Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihad dengan pengertian
perang dan terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma'
al-Fiqh al-Islami no. 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan
Internasional poin kelima menyatakan, "Perlu diperjelas pengertian
beberapa istilah seperti jihad, terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan
media massa.
Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai
dengan pengertian yang sebenarnya".[7]
Di atas telah disingung, kekerasan yang diungkapkan dengan kata al-'unf
dan terorisme dengan al-irhab tidak ditemukan penggunaannya dengan
pengertian modern dalam al-Quran. Bahkan, 8 kali penyebutan kata al-irhab dan
derivasinya; 5 kali dalam surah-surah makkiyah dan 3 kali dalam
surah-surah madaniyah, selalu bermakna positif. Dalam pandangan
al-Qur'an tidak semua aksi yang menimbulkan ketakutan dan kengerian terlarang,
tentunya yang dibarengi dengan kemampuan dan kekuatan yang memadai sehingga
dapat menampilkan misi risalah tanpa mencederai dan melukai sasaran. Sebab,
dalam pandangan Islam, menyebarkan risalah Islam adalah sebuah keharusan,
demikian pula memelihara simbol-simbol keagamaan. Itu tidak dapat terlaksana
tanpa kekuatan dan kemajuan yang menggentarkan lawan/musuh sehingga tidak
menyerang. Dengan pengertian ini, memiliki kekuatan untuk 'menggentarkan' lawan
demi tersebarnya risalah kedamaian adalah sebuah keharusan, tentunya dengan
cara-cara yang konstruktif. Sebaliknya, aksi teror yang menimbulkan kengerian
dengan menggunakan cara-cara destruktif; merusak fasilitas umum, mengancam jiwa
manusia tak berdosa, mengganggu stabilitas negara dan lainnya tertolak dalam
pandangan Islam.
Al-Qur'an dengan tegas menyebut beberapa tindakan kekerasan yang
mengarah pada hal-hal yang negatif/destruktif aan mengecam serta mengancamnya
dengan balasan yang setimpal, antara lain melalui kata:
1.Al-Baghy seperti tersebut pada QS. al-Nahl [16]: 90. Melalui ayat ini,
al-Qur'an melarang umat Islam untuk melakukan permusuhan dengan tindakan yang
melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy berarti melampaui
batas kewajaran.[1]
2.Thughyan seperti pada QS. Hud [11]: 112. Allah berfirman:
"Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Kata thughyan pada mulanya digunakan untuk menggambarkan
ketinggian puncak gunung, tetapi dalam perkembangannya ia digunakan untuk
segala sesuatu yang melampaui batas ketinggian seperti ungkapan thaghdl
ntd'u yang berarti air meluap.[2]Demikian pula orang yang sombong, angkuh, dan zalim diungkapkan dengan thdghiyah
atau thaghut. Sikap ini sangat dikecam oleh al-Qur'an seperti pada
QS. an-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan keras berupa neraka jahannam
bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin).
Pakar tafsir asal Tunisia,
Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan Id tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 di
atas mencakup larangan untuk melakukan segala bentuk kerusakan (ushul
al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut menghimpun upaya mencapai
kemaslahatan melalui sikap istiqdmah, konsisten pada prinsip-prinsip
agama, dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[3]
3. Azh-Zhulm (kezaliman)
Kata ini dan derivasinya disebut dalam al-Qur'an sebanyak 315
kali. Pengertiannya yang populer seperti dikeinukan para penyusun Mu'jam
Alfdzh al-Qur'an al-Karim adalah meletakkan atau melakukan sesuatu tidak
pada tempatnya, baik berupa kelebihan atau kekurangan. Karena itu melampaui
atau menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm, dan dapat terjadi
dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk kekafiran atau syirik (QS.
Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan antara manusia dan manusia
dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. asy-Syura [42]: 42), dan dalam
hubungan antara manusia dan dirinya (QS. Fathir [35]: 32).
Dalam banyak ayat disebutkan ancaman bagi para pelaku kezaliman
yaitu siksa dan balasan yang menistakan (lihat: QS. al-Furqan [25]: 19; QS.
asy-Syu'ara' [26]: 227; QS. az-Zukhruf [43]:
65). Dalam sebuah Hadits qudsi, Allah dengan tegas melarang
kezaliman. Allah berfirman, "Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan
kezaliman untuk diri-Ku, dan Aku tetapkan kezaliman bagi kalian sebagai sesuatu
yang haram/terlarang dilakukan, maka janganlah kalian saling menzalimi."[4]
4. Al-'Udwan (Permusuhan)
Kata 'udwdn dan derivasinya berasal dari akar kata yang
terdiri atas huruf 'ain-ddl-waw yang makna asalnya 'lari'. Sebab, dengan
berlari orang dapat melampaui sesuatu, sehingga segala tindakan melampaui batas
dan kebenaran juga disebut dengan 'udwdn atau 'addwah. Dengan demikian,
ia juga dapat bermakna kezaliman yang juga sangat terlarang (lihat: QS.
al-Baqarah [2]: 19; QS. al-Ma'idah [5]: 87).
5. Al-Qatl (Pembunuhan)
Di atas telah disinggung, aksi kekerasan pertama yang terjadi
dalam sejarah kemanusiaan adalah pembunuhan atau penganiayaan terhadap jiwa
manusia tak bersalah. Membunuh satu jiwa tak berdosa dipersamakan dengan
membunuh umat manusia (QS. al-Ma'idah [5]: 32). Balasan yang disadiakan bagi
orang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan sangatlah berat. Dalam QS. an-Nisa'
[4]: 93 disebutkan, siapa saja yang dengan sengaja membunuh saudaranya yang
"Mukmin akan disediakan neraka jahannam untuk ditempati selaina-lamanya,
akan dimurkai dan dilaknat oleh Allah dan akan mendapatkan siksa yang pedih dan
menistakan.
6. Al-Hirdbah
Sebuah term dalam al-Qur'an yang paling dekat dengan pengertian
terorisme dalam pengertian modern adalah al-kirdbah. Dalam kitab Hdsyiyat
Qalyubi wa 'Umayrah, kata al-hirdbah didefinisikan dengan,
"aksi perampokan, atau pembunuhan, atau menimbulkan kecemasan dan
kekacauan".[5]
Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah mendefinisikannya dengan, "Aksi
kekerasan dan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam sebuah
negara dengan tujuan menciptakan kekacauan dan ketidak-stabilan dalam negeri,
pertumpahan darah, perampasan harta, perenggutan harga diri dan perusakan
terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup manusia".[6]
Termasuk dalam kategori al-hirabah, masih menurut Sayyid Sabiq, mafia
pembunuhan, penculikan anak, perampokan bank dan rumah, penculikan wanita untuk
prostitusi, pembunuhan tokoh politik dengan tujuan mengganggu stabilitas
keamanan, pembalakan hutan dan perusakan lingkungan yang mengganggu flora dan
fauna.
Al-Qur'an mengecam keras aksi al-hirdbah, dan menganggapnya
sebagai tindakan memusuhi atau memerangi Allah dan Rasul-Nya. Atau dengan kata
lain, terorisme dengan pengertian negatif dan destruktif yang membawa kerusakan
di muka bumi dipersamakan dengan perlawanan terhadap Allah dan rasul-Nya.
Karena itu, sanksi yang disediakannya pun sangat berat, sesuai dengan tingkat
beratnya perbuatan. Dalam QS. al-Ma'idah [5]: 33 dijelaskan beberapa bentuk
sanksi yang disediakan sesuai dengan tingkat kriminalitas yang dilakukannya,
yaitu:
a.Hukuman mati bagi yang
membegal dan membunuh nyawa manusia;
b.Hukuman mati dengan penyaliban
bagi yang membunuh dan merampas harta;
c.Potong tangan atau kaki bagi
yang merampas harta tetapi tidak membunuh;
d.Pengasingan (al-nafy) bagi
pembegal yang menimbulkan kengerian dan kecemasan bagi orang lain tetapi tidak
merampok dan membunuh.
Dari beberapa term di atas dapat disimpulkan, Islam menentang
segala bentuk kekerasan, kecuali jika berada dalam tekanan kezaliman pihak
lain. Dalarn kondisi itu pun Allah memerintahkan umat Islam menahan diri untuk
menggunakan kekuatan dan kekerasan, dan hanya diperkenankan untuk membalas
perbuatan dengan setimpal dan untuk mengembalikan situasi kepada keadaan yang
normal atau kembali seimbang. Allah berfirman dalam QS. an-Nahl [16]: 126:
"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu
bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar".
Dengan melihat sebab pewahyuan (sabab al-nuzul) ayat di
atas, akan tampak jelas metode al-Qur'an agar menahan diri dan tidak
menggunakan kekuatan dalam menyikapi aksi kekerasan kecuali dalam keadaan
terpaksa. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah saw. sangat marah atas terbunuhnya
Hamzah, paman beliau dalam perang Uhud secara tidak wajar menurut ukuran kemanusiaan.
Dengan rasa sedih dan murka Rasulullah berkata, "Dengan nama Allah,
kematian Hamzah akan kubalas dengan membunuh 70 orang dari pasukan musuh".
Janji itu tidak dilaksanakan oleh Rasulullah, dan Allah pun tidak membiarkannya
melakukan itu, tetapi melalui wahyu seperti pada ayat di atas Allah menetapkan
metode pengendalian diri dalam peperangan. Setelah ayat di atas turun,
Rasulullah lalu mengatakan, "Kami memilih bersabar ya Allah".[7]
Melalui ayat ini, al-Qur'an menjelaskan, hanya ada dua cara
menghadapi kekerasan; membalas dengan yang setimpal tanpa melampaui batas dan
bersabar, tetapi jalan yang kedua, yaitu sabar, yang sangat dianjurkan.
Jika dalam keadaan terpaksa al-Qur'an masih memberikan aturan,
apalagi dalam kondisi tidak memerlukan kekerasan atau kekuatan. Islam melarang
keras penggunaan segala bentuk kekerasan, termasuk intimidasi atau upaya
menimbulkan kengerian dan kecemasan; baik terorganisir maupun tidak;
terang-terangan dalam bentuk pembunuhan, penyiksaan dan lainnya maupun
tersebunyi seperti tekanan ekonomi atau sosial; dari penguasa maupun dari
rakyat jelata. Semuanya terlarang. Bahkan, menimbulkan kecemasan dan rasa tidak
nyaman pada orang lain, walaupun sekadar bercanda juga terlarang. Dalam sebuah
riwayat Amir bin Rabi'ah, suatu ketika ada seseorang yang mengambil sandal
orang lain dengan maksud bercanda. Setelah peristiwa itu dilaporkan kepada
Rasulullah, beliau bersabda: "Jangan membuat seorang Muslim cemas, sebab
membuat seorang Muslim cemas adalah sebuah kezaliman yang luar biasa".[8]
Islam melarang menimbulkan kengerian (teror) pada orang lain
dengan hanya sekadar mengangkat dan mengacungkan senjata/pedang. Rasulullah
saw. bersabda:
"Seseorang tidak boleh mengacungkan/'mengangkat senjata ke
hadapan orang lain. Karena boleh jadi dia tidak tahu setan akan mengendalikan
tangannya yang dengannya ia dapat membunuh sehingga terjerumus ke neraka”.[9]
Bahkan sekadar melihat orang lain dengan pandangan yang menakutkan
juga dilarang dalam Islam. Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa memandang orang lain dengan pandangan menakutkan
tanpa alasan yang benar, maka dia akan diperlakukan yang sama berupa pandangan
yang menakutkan dari Tuhan di hari kiamat".[10]
Karena itu, salah satu bentuk sedekah kepada orang lain adalah
pandangan dan senyuman manis kita di hadapan orang lain, demikian sabda Rasul.
Dalam pandangan al-Qur'an semua manusia yang hidup telah diberi
kemuliaan (takrim) oleh Allah swt. berupa hak-hak yang harus dihormati,
terlepas dari perbedaan agama, jenis kelamin, ras, dan suku (QS. al-Isra' [17]:
70)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kekerasan didefinisikan
dengan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1]
Dalam bahasa Arab, kekerasan disebut dengan al-'unf, antonim al-rifq yang
berarti lemah lembut dan kasih sayang. Pakar hukum Universitas al-Azhar,
Abdullah an-Najjar, mendefinisikan al-'unf dengan penggunaan kekuatan
secara ilegal (main hakim sendiri) untuk memaksakan pendapat atau kehendak.[2]Dari beberapa pengertian di atas,
kekerasan melambangkan sebuah upaya merebut suatu tuntutan dengan kekuatan dan
paksaan terhadap pihak lain. Cara seperti ini tentu tidak terpuji dalam
pandangan agama-agama dan nilai-nilai kemanusiaan, sebab
kekuatan akal, jiwa, dan harta yang seharusnya digunakan untuk
hal-hal yang produktif bagi pengembangan diri dan masyarakat berubah menjadi
kekuatan yang destruktif. Tetapi penggunaan kekerasan tidak selamanya tercela,
yaitu bilamana digunakan untuk merebut hak yang terampas seperti pada
perlawanan melawan penjajah atau memberantas kezaliman dalam masyarakat,
terutama bila jalan damai tidak tercapai. Kekerasan menjadi tercela bilamana
digunakan untuk membela satu hal yang dianggap benar dalam pandangan yang
sempit, atau merebut hak yang sebenarnya dapat diperoleh tanpa melalui
kekerasan.[3]
Sejarah kemanusiaan mencatat, seperti terekam dalam al-Qur'an,
aksi kekerasan yang berupa pembunuhan pertama kali terjadi antara kedua anak
Nabi Adam as; Qabil dan Habil. Al-Qur'an menceritakan itu agar fenomena
kekerasan tidak terulang dan setiap aksi kekerasan pasti akan menimbulkan
goncangan jiwa dan penyesalan yang mendalam dalam diri pelakunya seperti
dialami oleh Qabil (Baca Ja’sah tersebut dalam QS. al-Ma'idah [5]: 27-31).
Karena itu, al-Qur'an memberi ketentuan, membunuh satu jiwa tanpa alasan yang
benar sama halnya dengan membunuh seluruh/ umat manusia (QS.
al-Ma'idah [5]: 32). Dalam sejarah kenabian, kekerasan dialami oleh banyak nabi
dari kalangan Bani Israil. Tidak sedikit para nabi yang dibunuh dalam
menjalankan tugas kenabian (QS. al-Baqarah [2]: 61; QS. Ali 'Imran [3]: 21).
Dalam konteks ayat-aya di atas. al-Qur'an berbicara
tentang kekerasan dalam pengertian negatif yang dikecamnya meski kata al-'unf
sendiri tidak digunakan dalam al-Qur'an. Penggunaan kata al-'unf tampak
jelas dalam beberapa Hadits Nabi saw. seperti:
"Sesungguhnya Allah sivt. tidak mengutusku
untuk melakukan kekerasan, tetapi untuk mengajarkan dan memudahkan”.[4]
"Sesungguhnya Allah swt. Mahalembut/Mahakasih-sayang. Melalui
sikap kasih sayang Allah akan mendatangkan banyak hal positif, tidak seperti
halnya pada kekerasan.”[5]
Suatu ketika sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi saw dan
mengucapkan salam dengan diplesetkan menjadi, as-Samu Alaikum (kematian/kecelakaan
untuk kalian). Dengan marah Aisyah, istribeliaumenjawab:Alaykum,wala'anakumulldh wa
ghadhiballahu 'alaikum (Kecelakaan untuk kalian, semoga Allah melaknat dan
memurkai kalian). Lalu Rasulullah mengingatkan Aisyah, "Kamu harus
berlemah-lembut, jangan melakukan kekerasan (al-'unf) dan kekejian.[6]
Dari penjelasan al-Qur'an dan Hadits di atas tampak jelas Islam
sebagai agama yang antikekerasan terhadap siapa pun, termasuk yang berlainan
agama.
Salah satu bentuk kekerasan yang menimbulkan kengerian dan
kepanikan masyarakat dunia saat ini adalah terorisme. Kepanikan tersebut
mengakibatkan ketidakjelasan pada definisi terorisme itu sendiri, sehingga
tidak jarang pemberantasan terorisme dilakukan dengan melakukan aksi teror lainnya.
Meskipun dalam sejarah kemanusiaan aksi teror telah menjadi bagian dari fenomena, kekacauan politik yang ada, tetapi sebagian kalangan mengaitkannya
dengan agama Islam dan peradaban Arab dan Islam. Padahal,
terorisme adalah fenomena umum, tidak terkait dengan agama, budaya, dan
identitas kelompok tertentu.
Istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun
1793 sebagai 3 akibat Revolusi Prancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan
era baru yang disebut Reign of Terror (10 Maret 1793 - 27 Juli 1794). Teror menjadi agenda penting para pengawal
revolusi dan menjadi
keputusan pemerintah untuk mengukuhkan stabilitas politik.
Sasarannya bukan hanya lawan politik, tetapi juga tokoh-tokoh moderat,
pedagang, agamawan, dan lain sebagainya. Selama berlangsung Revolusi Prancis,
Robespierre dan yang sejalan dengannya seperti St. Just dan Couthon melancarkan
kekerasan politik dengan membunuh 1366 penduduk Prancis, laki-laki dan
perempuan, hanya dalam waktu 6 minggu terakhir dari masa teror.[7]
Dalam kamus Oxford,
kata terrorist diartikan dengan orang yang melakukan kekerasan
terorganisir untuk mencapai tujuan politik tertentu. Aksinya disebut terrorisme,
yaitu penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman, terutama untuk
tujuan-tujuan politis.[8]
Dalam bahasa Arab, istilah vang populer untuk aksi ini adalah dan
pelakunya disebut al-Irhdbi. Para
penyusun al-Mu'jam al-Wasith memberikan arti al-Irhdbi dengan,
"sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan menebar
kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik".[9]Al-lrhab dengan pengertian
semacam ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an dan kamus-kamus bahasa Arab klasik,
sebab itu istilah baru yang belum dikenal pada masa lampau. Bahkan, penggunaan
kata ini dalam bentuk derivasinya, turhibun atau lainnya, dalam
al-Qur'an seperti pada QS. al-Anfal [8]: 60 bermakna positif. Sebab, melalui
ayat ini Allah memerintahkan umat beriman untuk mempersiapkan diri dengan
berbekal kekuatan apa saja yang dapat menggentarkan (turhibun) musuh-musuh
Allah dan musuh-musuh mereka.
Tidak berbeda jauh dengan pengertian di atas, Kamus besar
Bahasa Indonesia mendefinisikan teror dengan usaha menciptakan ketakutan,
kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Terorisme: penggunaan
kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama
tujuan politik).
Organisasi-organisasi internasional, seperti PBB,
mendefinisi-kannya dengan salah satu bentuk kekerasan terorganisir. Bentuknya,
seperti disepakati masyarakat dunia, dapat berupa pembunuhan, penyiksaan, penculikan,
penyanderaan tawanan, peledakan bom atau bahan peledak, dan lainnya yang dapat
menjadi pesan pelaku teror. Aksi tersebut biasanya untuk tujuan politik, yaitu
memaksa kekuatan politik tertentu, negara atau kelompok, agar mengambil
kebijakan atau mengubahnya sesuai yang diinginkan pelaku.[10]
Dalam Sidang Umum ke-83, tanggal 8 Desember 1998, PBB mengecam segala bentuk
kekerasan aksi teror dengan alasan apa pun, termasuk yang bermotifkan politik,
filsafat, akidah/keyakinan, ras, agama, dan lainnya.
Agen Rahasia Amerika (CIA) pada tahun 1980 mendefinisikan
terorisme dengan; ancaman yang menggunakan kekerasan, atau menggunakan
kekerasan untuk tujuan-tujuan politik, baik yang dilakukan oleh individu maupun
kelompok, untuk kepentingan negara ataupun melawan negara. Masuk dalam definisi
ini kelompok-kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahan tertentu atau
menghancurkan tatanan dunia internasional.
Definisi ini masih sangat umum, sehingga perlawanan rakyat untuk
memperoleh hak-hak yang dirampas, seperti perjuangan bangsa Palestina dapat
dikategorikan aksi terorisme. Karena itu para sarjana Muslim yang terhimpun
dalam keanggotaan Majma' al-Fiqh al-Isldmi dalam sidang putaran ke-14 di
Doha, Qatar, 8-13 Dzulqa'dah 1423 H/ll-16 Januari 2003, menegaskan bahwa terorisme
adalah permusuhan, atau intimidasi, atau ancaman, baik fisik maupun psikis,
yang dilakukan oleh negara, kelompok maupun perorangan, terhadap seseorang yang
menyangkut keyakinan (agama), jiwa, harga diri, akal dan hartanya, tanpa alasan
yang benar, melalui berbagai aksi yang merusak. Lembaga ini juga menegaskan,
jihad dan upaya mati syahid untuk membela akidah, kebebasan/ kemerdekaan, harga
diri bangsa dan tanah air bukanlah bentuk teror, tetapi upaya membela hak-hak
prinsipil. Karena itu, bagi bangsa-bangsa yang tertindas atau terjajah harus
melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kemerdekaan.[11]
Dari paparan di atas tampak perbedaan yang cukup
mendasar dalam mendefinisikan terorisme. Perbedaan itu mengakibatkan kekaburan
makna yang sebenarnya, sebab suatu perjuangan rakyat untuk meraih kemerdekaan
atau lepas dari ketertindasan dapat dinilai sebagai aksi teror oleh pihak lain.
Demikian sebaliknya, aksi kekerasan dan kezaliman menjadi legal dengan dalih
menumpas terorisme. Karena itu tak heran, kendati masyarakat dunia telah
sepakat mengecam terorisme, tetapi upaya pemberantasannya dalam bentuk kerja
sama internasional selalu gagal.
Namun, dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan beberapa ciri terorisme, antara lain: menciptakan suasana mencekam
dan mengerikan, dilakukan secara terorganisir, bertujuan politik dan bersifat
internasional. Untuk mengetahui sikap Islam terhadap kekerasan, apa pun
bentuknya, terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa istilah terkait dengan
kekerasan dan terorisme dalam al-Qur'an.
Sejak tiga dekade terakhir di penghujung milenium kedua, tepatnya
pertengahan tahun tujuh puluhan, masyarakat internasional dikejutkan oleh
berbagai tindakun kekerasan, khususnya aksi teror terhadap berbagai kepentingan
Amerika Serikat[1]dan Israel.
Aksi-aksi tersebut terus meluas seiring dengan datangnya milenium ketiga yang
ditandai dengan serangan 11 September 2001 terhadap gedung WTC dan Pentagon.
Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut dan yang
sebelumnya, dan dianggap sebagai ancaman" bagi kehidupan masyarakat dunia.
Berbagai stigma dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme,
radikalisme, dan sebagainya. Stigmatisasi ini seakan membenarkan pandangan
beberapa pemikir Barat yang berpandangan Islam sebagai ancaman pasca-runtuhnya
Soviet, seperti Samuel Huntington dengan tesisnya "the clash of
civilization".
Dengan menggalang kekuatan internasional, AS melancarkan kampanye
anti-teror. Atas nama itu Afghanistan
dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan gerakan keagamaan juga menjadi
sasaran, terutama jaringan al-Qaeda internasional. Tuduhan tersebut menemukan
relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang menyebutkan motivasi keagamaan
dibalik aksi mereka, sehingga banyak pengamat mengaitkan gerakan Islam garis
keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak faktor yang melatar belakanginya,
seperti politik. ekonomi, sosial, psikologi, dan lainnya, tetapi faktor
keyakinan dan pemahaman. Terhadap beberapa doktrin keagamaan agaknya yang
paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan tertentu,
yang notabene berbeda agama, ialam berbagai dimensi kehidupan mendapat
legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nashshl),
parsial (juz'i) dan ekstrem/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga,
terkesan konflik bukan lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat
hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan meluas kepada konflik agama.
Fenomena meningkatnya gairah keagamaan, untuk tidak mengatakan
kebangkitan Islam, di kalangan muda seperti disinyalir oleh Syekh Yusuf
al-Qaradhawi juga telah diwarnai dengan sikap berlebihan (al-ghuluw) dan
ekstremitas (at-tatharruf)[2]sehingga tuduhan banyak kalangan bahwa Islam menganjurkan kekerasan dan
terorisme menjadi semakin melekat. Konsep menegakkan kebenaran dan memberantas
kemungkaran (amar makruf nahi munkar) bagi sebagian kalangan menjadi dalih
berbagai aksi kekerasan. Islam dan umat Islam 'seakan' menjadi tidak ramah lagi
terhadap penganut agama lain. Padahal, sekian banyak teks keagamaan dalam Islam
mengecam keras segala bentuk kekerasan dan terorisme seperti dalam pandangan
banyak kalangan Barat.
Sejujurnya, kita
dapat mengatakan, pandangan-pandangan seperti itu lahir disebabkan, setidaknya,
oleh dua hal: 1) ketidaktahuan Barat tentang Islam yang sebenarnya, karena
pengetahuan Barat tentang Islam diwarnai oleh buku-buku keislaman yang ditulis
oleh orientalis pada masa penjajahan dahulu; 2) kerancuan dalam memahami konsep
jihad dan perang dalam Islam dan mempersamakannya dengan terorisme dalam
pandangan mereka.
Atas dasar itu,
merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam untuk memahami lebih jauh lagi ajaran
Islam, sebelum kita memahamkan orang lain dan membuktikan dengan tindakan nyata
bahwa Islam adalah agama kedamaian yang akan menebar kasih di muka bumi. Kami
utus engkau (hai Muhammad) tidak lain untuk menebar rasa kasih bagi semesta
alam. (QS. al-Anbiya' [21]: 107)
Banyak pakar mensinyalir, salah satu
penyebab ketertinggalan umat Islam saat ini adalah karena meninggalkan dan
menjauh dari ajaran al-Qur’an dan hadits. Meninggalkan dimaksud berupa
ketidaktahuan yang berakibat pada kurangnya penghayatan dan pengamalan terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam kedua sumber ajaran Islam. Sikap seperti ini
pernah dilakukan oleh umat terdahulu yang kemudian membuahkan kecaman keras.
QS. Al-Baqarah [2]: 78 menyebut mereka yang bersikap demikian sebagai “ummiyyun”
(buta huruf), yang tidak mengerti kitab suci dan sumber ajaran agama dengan
baik. Kalaupun mengerti, pemahaman mereka tidak didukung oleh bukti-bukti kuat,
tetapi hanya sekadar dugaan, sehingga timbul keengganan. Kebutaaksaraan (ummiyyah)
seperti ini tidak lagi hanya sebatas tidak bisa membaca dan menulis aksara,
tetapi tidak memahami ajaran agama dengan baik dan benar. Rajab al-Banna,
kolumnis Mesir terkemuka, menyebutkan dengan istilah ummiyyahdiniyyah
(buta aksara agama). Menurutnya, wajah kusam Islam saat ini, selain karena
propaganda musuh-musuh Islam, juga disebabkan oleh sikap, perilaku, dan
pemikiran sebagian kaum Muslim yang tidak memahami ajaran agama secara utuh.
Tak
dapat disangkal, dalam kehidupan seorang Muslim, Al-Qur’an dan Hadist merupakan
dua sumber ajaran yang mengatur banyak hal dan harus dipedomani dalam hidup. Allah
berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri” (QS. Al-Nahl [16]: 44). Al-Qur’an tidak hanya berisikan
persoalan akidah dan ibadah, tetapi mencakup berbagai persoalan etika, moral,
hukum, dan system kehidupan lainnya. Sedemikian lengkapnya ajaran al-Qur’an, sayyiduna
Abu Bakar ra. Berujar, “Seandainya tambat untaku hilang, pasti akan aku
temukan dalam al-Qur’an.” Ajarannya berlaku sepanjang masa dan bersifat
universal untuk semua umat manusia. Ilmu pengetahuan modern membuktikan sekian
banyak isyarat ilmiah dalam al-Qur’an, bahkan juga hadist, yang sejalan dengan
penemuan ilmiah para ahli.
Meski
menyatakan dirinya telah “menjalankan segala sesuatu”, namun tidak berarti
al-Qur’an tidak membutuhkan penjelasan. Jumlah ayatnya yang terbatas (6236
ayat) dan karakteristik bahasanya yang ringkas dan padat serta kandungannya
yang bersifat umum menuntut adanya penjelasan atau penafsiran. Otoritas
tertinggi untuk itu dimiliki oleh Rasulullah yang diwujudkan dalam bentuk
ucapan, perbuatan dan ketetapan. Himpunan ketiganya disebut Hadits atau Sunnah.
Dengan demikian, sebagai sumber ajaran Islam al-Qur’an dan Hadits tidak dapat
dipisahkan, karena jika al-Qur’an dipandang sebagai sebuah konstitusi (dustur)
yang mengandung pokok-pokok ajaran ketuhanan yang diperlukan untuk mengarahkan
kehidupan manusia, maka Hadits merupakan rincian penjelasannya. Al-Qur’an
sendiri menyatakan, selain bertugas menyampaikan kitab suci, Rasulullah diberi
kewenangan untuk menjelaskan kitab tersebut (QS. An-Na-hl [16]: 44). Penjelasan
itu tidak pernah keliru, sebab dalam menjalankan tugas tersebut Rasulullah
senantiasa berada dalam bimbingan wahyu (QS. An-Najm [53]: 3).
Dengan
kata lain, Hadits dan Sunnah adalah bentuk lain dari al-Qur’an yang wujud dan
hidup. Jika Anda ingin mengetahui tuntunan akhlak al-Qur’an, maka perhatikanlah
kehidupan Rasul, demikian makna yang tersirat dari sebuah Hadits riwayat Aisyah
ra. Tanpa Hadits atau Sunnah, banyak hal menyangkut ibadah dan muamalah dalam
Islam yang tidak pernah diketahui. Dalam Al-Qur’an ditentukan perintah shalat,
tetapi tidak ditemukan penjelasan rinci mengenai bilangan rakaatnya, tata cara,
dan waktumelaksanakannya, serta jenis
shalat yang diwajibkan dan dianjurkan. Penjelasan semua itu ada dalam hadits.
Ukuran, jenis, dan wktu pelaksanaan zakat juga tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
Demikian pula tata cara pelaksanaan puasa, haji, transaksi jual beli, dan
lainnya yang hanya diterangkan secara global oleh al-Qur’an. Dari sini banyak
ulama memahami keduanya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan,
sehingga mengamalkanHadits berarti juga
mengamalkan al-Qur’an. Firman Allah: “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya
ia telah menaati Allah. Dan, barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu),
maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisa’
[4]: 80).
Suatu ketika seorang perempuan dari Bani
Asad mendatangi sahabat Rasul, Abdullah bin Mas’ud, dan memprotes sikap Ibnu
Mas’ud yang mengecam keras perempuan yang mentato (al-wasyimat) dan yang minta
ditato (al-mustawsyimat). Perempuan itu berdalih, larangan tersebut tidak
ditemukan dalam al-Qur’an . Ibnu Mas’ud menjawab. “Larangan tersebut dapat Anda
temukan dalam sebuah ayat, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr
[59]:7). Ayat ini juga dibacakan oleh
Abdurrahman bin Yazid, seorang ulama generasi awal, ketika ada seorang yang
memperotes larangan mengenakan baju saat berihram dengan alasan tidak ada
ketentuannya dalam al-Qur’an. Dengan kata lain, ayat tersebut menegaskan
kedudukan Hadits sebagai referensi hukum saat tidak ditemukan rincian
penjelasan dalam al-Qur’an. Dari sini, tidaklah tepat pandangan sebagai
kalangan yang merasa cukup dengan hanya berpedoman pada al-Qur’an.
Contoh kasus dalam menjalankan
Syariat Islam/
Satu hal yang patut disadari, persoalan
agama bukan hanya pada autentisitas teks-teks keagamaan, melainkan juga pada
pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurniaan teks al-Qur’an dan
Hadits sebagaia sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah
membuktikannya. Tetapi khazanah intelektual Islam menyodirkan fakta sekian
banyak perbedaan menyangkut pemahaman teks-teks tersebut. Sifat al-Qur’an yang
dinyatakan banyak pakar sebagai hamalatu awjuh, mengandung kemungkinan ragam
interpretasi. Semuanya dapat dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip
kebahasaan dan syariat Islam.
Lebih
problematis lagi ketika teks-teks tersebut beripa Hadits, sebab dalam
memahaminya diperlukan pengetahuan tentang latar belakang historisnya (asbab
al-wurud) dan maksud (maqashid) di balik pesan Hadits tersebut. Satu hal
yang harus diyakini, kebanyakan Sunnah Rasul, baik yang berbentuk ucapan,
perbuatan, maupun ketetapan mempunyai implikasi hukum yang harus diikuti
(tasyri’iyyah), sebab dengan mengikutinya kita akan mendapatkan petunjuk (QS.
Al-A’raf [7]: 158). Tetapi mayoritas ulama, seperti dikutip Yusuf al-Qardhawi,
juga sepakat, ada sekian banyak Hadits yang tidak berimpilasi hukum, terutama
yang berkaitan dengan beberapa persoalan keduniaan. Dia antara ulama yang
mengklasifikasikan Hadits dalam bentuk di atasadalahal-Qarafi (w. 684 H), Syah
Waliyyullah ad-Dahlawi (w.1176 H), M. Rasyid Ridha, penulis tafsir al-Manar,
Mahmud Syaltut, Pemimpin Tertinggi Lembaga al-Azhar, dan Tharir Ibnu ‘Asyur,
Mufti Tunis
dan pengarang tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.
Contoh
khasus yang sering dikemukakan adalah ketika Nabi dating ke Madinah dan
menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dam betina dari
pohon korma agar produktivitasnya meningkat. Saat itu Rasulullah mengajurkan
agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Saat panen tiba, penghasilan kebun
mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada
Rasulullah. Menanggapi itu beliau bersabda, “Aku
hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan suatu ajaran agama maka
ambillah, dan jika aku sampaikan hanyalah sekedar pendapat, maka ketahuilah aku
hanya seorang manusia biasa” (HR. Muslim). Dalam Hadits lain beliau
menanggapinya dengan ungkapan, “Kalian
lebih tahu dalam soal keduniaan (yang kalian geluti)” (HR. Muslim). Hadits
tersebut dengan berbagai versinya menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat
dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Beliau adalah
salah seorang dari penduduk Mekkah yang tidak berprofesi sebagai petani korma,
sebab kota
Mekkah adalah daerah tandus yang tidak cocok untuk pertanian dan perkebunan.
Saran beliau saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang
harus diikuti, kemudian ternyata saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang
diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang tidak
terkait dengan persoalan agama, para ahli di bidangnya lebih tahu dari Rasul.
Karenanya, para pakar Hadits terkemuka dan penyusun kitab penjelasan (syarah) Shahih
Muslim, Imam Nawawi, meletakkan Hadits tersebut di bawah judul, “Bab wujud imtitsali ma qalahu syar’an, duna
ma dzakarahu shallallahu ‘alayhi wa sallam min ma’ayisyi ad-dunya ‘ala sabil
al-ra’yi” (bab kewajiban mengikuti sabda Rasul yang berupa syariat agama,
bukan persoalan keduniaan yang disampaikan Rasul berdasarkan pendapat).
Pada
bidang keduniaan apa saja Hadits tidak berimplikasi hokum, tertentu bukan di
sini tempatnya untuk diurai. Tetapi dari contoh di atas dapat dipahami, titik
krusial dalam teks-teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang
terkait dengan pola hubungan antara lafal (teks) dan makna (batin). Tidak
jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan
terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman
yang begitu longgar, bahkan liberal.
Pemahaman
al-Quran dan al-Hadis: Dulu dan Sekarang/
Ulama besar, asy-Syathibi, dalam kitab al-Muwafaqat mencatat empat aliran dalam pemahaman al-Qur’an dan
Hadits, yaitu Zhahiriyyah (literal), bathiniyyah, al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas
(rasionalis dan cenderung liberal), dan al-Rasikhun
fi al-‘Ilm (mendalam ilmunya dan moderat).[1]
1.Zhaririyyah
Sebuah mazhab fiqih
yang berlandaskan pada al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, tetapi menolak intervensi
akal dalam bentu qiyas, ta’lil, istihsan, dan lain sebagainya. Zhahiriyah,
sebutan bagu para penganut mazhab ini, terambil dari nama tokoh panutannya,
Daud bin Ali azh-Zhahiri. Muncul pertama kali pada paruh pertama abad ketiga
Hijriah.
Dalam memahami teks keagamaan
Zhahiriyah berpegang kepada tiga prinsip dasar:
a.Keharusan
berperang teguh pada lahiriah teks dan tidak melampauinya kecuali dengan teks
yang zhahir lainnya atau dengan konsessus (ijmak) yang pasti. Penggunaan akal
tidak diperkenankan.
b.Maksud
teks yang sebenarnya terletak pada zhahir, bukan di balik teks yang perlu
dicari dengan penalaran mendalam. Demikian pula maslahat yang dikehendaki
syara’.
c.Mencari
sebab di balik penetapan syariah adalah sebuah kekeliruan. Ibnu Hazm, salah
seorang tokohnya berkata,“Seseorang
tidak boleh mencari sebab dalam agama dan tidak diperkenankan mengatakan ‘ini’
adalah sebab ditetapkannya ‘itu’, kecuali ada nash tentang itu.” (La yus’alu ‘amma yaf’alu wahum yus’alun).
Banyak hasil ijtihad kelompok Zhahiriyah
dalam memahami teks yang dinilai keliru oleh para ulama, antara lain karena:
a.Tidak
mau menggunakan akal dalam pengambilan hukum dengan memperluas cakupan zhahir,
sehinggal al-Qur’an tidak lagi mampu mengantisipasi berbagai kemaslahatan yang
timbul kemudian.
b.Jumud
dan tidak mengikuti perkembangan zaman, sehingga bertentangan dengan fungsi
al-Qur’an sebagai kitab abadi di setiap ruang dan waktu. Teks al-Qur’an
terbatas, sementara peristiwa dan kejadian yang dialami manusia selalu
berkembang.
c.Tidak
sejalan dengan rasionalitas al-Qur’an, karena hanya membatasi pemahaman pada
logika bahasa.
2.Bathiniyyah
Sebuah nomenklatur
bagi sekian banyak kelompok yang pernah ada dalam sejarah Islam. Muncul pertama
kali pada masa al-Ma’mun (w.218), salah seorang penguasa Abbasiyah, dan
berkembang pada masa al-Mu’tashim (w. 227). Sebagian ulama mensinyalir,
prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam memahami teks-teks keagamaan
bersumber dari kalangan Majusi. Dinamakan Bathiniyyah karena mereka meyakini
adanya Imam yang gaib. Mereka mengklaim ada dua sisi dalam syariah; zhahir dan
batin. Manusia hanya mengetahui yang zhahir, sedangkan yang batin hanya
diketahui oleh Iman.[2]
Pola yang digunakan dalam memahami
teks-teks keagamaan:
a.Tujuan
dan maksud dari sebuah teks (al-Qir’an dan Hadits) bukan pada makna zhahir yang
diperoleh melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan konteks penyebutan, tetapi
terletak pada makna di balik symbol zhahirnya.
b.Mereka
mengultuskan makna batin sebuah teks dan mengingkari zhahir teks, sehingga
banyak hokum-hukum syar’I yang diabaikan, bahkan tidak ditaati lagi.
Karena itu, Imam al-Ghazali, seperti dikutip
asy-Syathibi, mendudukkan mereka pada
tingkatan yang
paling rendah dan hina disbanding kelompok sesat lainnya.[3]
Kerusakan yang mereka lakukan, kata ar-razi, jauh lebih parah dari tindakan
orang kafir, sebeba mereka menggerus syariah Islam dengan sebutan Islam itu
sendiri.[4]
Mengapa mereka
dinilai keliru dan sesat?
a.Tidak
memiliki perangkat pemahaman yang benar. Mereka tidak menggunakan kaidah-kaidah
kebahasaan dan pokok-pokok ilmu tafsir sebagai sandaran dalam memehami
al-Qur’an, padahal al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan baru dapat
dipahami maknanya jika sesuai dengan prinsip-prinsip kebahasaan Arab.
b.Mengira
ada yang kurang dalam syariah, dan baru sempurna jika dipahami secara batin
yang hanya bisa dilakukan oleh Imam yang ma’shum.
c.Mengedepankan
akal daripada syariah yang dianggapnya kurang memadai dan melepaskannya tanpa
kendali untuk menyelami lautan makna batin. Patut disadari, keragaman pandangan
yang tidak didasari pada kaidah yang jelas akan menimbulkan kekacauan.
3.Rasionalis (al-Aqlaniyyun), atau
al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas
Sebagian ulama
menisbatkan kecenderungan ini kepada Imam Sulaiman al-Thufi (w. 716 H) yang
dikenal dengan teori maslahat yang dipahaminya sebagai “sebab yang dapat
mengantarkan kepada tujuan syariah Allah dalam ibadah (al-ibadat) dan
muamalah (al-mu’amalat).”
Pendapatnya yang sangat berbeda
dengan jumhur ulama dan mendapat kritikan tajam: “Jika ada maslahat yang
bertentangan dengan nash yang terkait dengan mu’amalat (adat),
maka maslahat harus dikedepankan daripada nash.”
Menurut ath-Thufi, hubungan antara
maslahat dan nash (dalil syar’i) berkisar pada tiga hal:
-Dalil syar’I sejalan dengan maslahat,
seperti dalam penetapan hudud terhadap pelaku pembunuhan, pencurian, qadzaf,
dan selainnya.
-Jika tidak sejalan tetapi memungkinkan untuk
dikompromikan melalui takhshish atau taqyid, maka keduanya dapat digunakan
dalam batas-batas tertentu.
-Jika terjadi benturan antara maslahat dan
nash dan tidak bisa dikompromikan, maka maslahat harus dikedepankan dan nash
ditinggalkan.[5]
Maslahat harus
dikedepankan, karena akal dapat menalar dan membedakan maslahat manusia tanpa
perlu bantuan syara’. Maslahat daoat diketahui secara pasti melalui
kebiasaan sedangkan nash-nash syar’i tidak dapat menjelaskannya karena
mengandung banyak interpretasi dan kemungkinan. Ukurannya adalah hukum muamalat
sejalan dengan akal dan kebiasaan serta mewujudkan manfaat, baik ketika sejalan
dengan nash maupun bertentangan.
Mengapa mereka keliru?
a.Akal
memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua maslahat manusia secara sempurna.
Apa yang diduga akan mendatangkan maslahat boleh justru sebaliknya.
Pengetahuannya sangat terbatas (QS. al-Isra [17]: 85; QS. an-Nahl [16]: 8 dan
lain-lain). Melepaskan akal untuk menalar tanpa kendali sama tercelanya dengan
mengekang akal untuk tidak berfikir.
b.Akal
mengikuti syara’ bukan sebaliknya
Dalam sejarah
pemikiran Islam klasik terjadi perdebatan apakah akal dapat mengetahui kebaikan
dan keburukan (at-tahsin wa at-taqbih al-aqliyyayn).
-Asy’ariyyah: akal tidak dapat membedakan
kebaikan dan keburukan tanpa bantuan syara’. Tolok ukur keduanya pada syara’.
-Muktazilah: akal dapat mengetahui keduanya,
sebab setiap perbuatan dan perkataan memiliki manfaat dan mudharat. Agama memerintahkan
dan melarang karena manfaat dan mudharat yang ditetapkan akal.
-Muturidiyah: akal dapat mengetahui dan
keburukan, tetapi hukum agama tidak selalu sejalan dengan pertimbangan akal.
Tolok ukurnya adalah perintah dan larangan agama, sebab akal boleh jadi keliru
atau berbeda dalam menetapkan keduanya.
Kendati berbeda, mereka
sepakat mangatakan, sumber penetapan huku adalah syariah, baik yang tertuang
dalam bentuk teks maupun hasil ijtihad.[6]
c.Kemaslahatan dalam muamalat
duniawi ada yang tidak diketahui akal dan hanya dapat diketahui melalui wahyu,
karena itu perlu berpegang pada ketentuan syariah untuk mencegah kekacauan dan
kebimbangan.
d.Hak-hak mukallaf (hamba)
tidak lepas dari hak Tuhan. Ath-Thufi membedakan antara ibadat yang dianggap
hak Tuhan sehingga perlu berpegang pada ketentuan syara', dan muamalat yang
merupakan hak hamba sehingga yang menjadi tolok ukur adalah kemaslahatan hamba
walaupun bertentangan dengan nash. Asy-Syathibi mengatakan, "Dalam setiap
bentuk taklif terdapat hak Allah". Bentuk hukuman kudud jika
telah sampai ke tangan hakim, selain qishash, qadzaf, dan mencuri, tidak
dapat digugurkan meski telah dimaafkan oleh pihak terkait.
e.Di dalam syariah tidak ada yang
bertentangan dengan akal. Mengedepankan maslahat daripada nash mengesankan ada
sekian maslahat yang bertentangan dengan syariah. Ini berlawanan dengan
kenyataan bahwa agama (syariah) sejalan dengan akal dan fitrah manusia.
f.Tidak ada pertentangan antara nash
dan maslahat. Kemaslahatan yang hakiki terletak pada cakupan maqdshid
syari'ah, sehingga tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya.[7]
Bagaimana al-Qur'an dipahami
sekarang?
Zhahiriyyah,
Bathiniyyah, dan 'Aqldniyyah bukan hanya milik zaman dan
waktu tertentu, melainkan selalu ada di setiap zaman dalam bentuk yang berbeda.
I.Neo-Zhahiriyyah
Mereka
mewarisi kejumudan zhahiriyah masa lampau. Di antara cirinya dalam pemahaman
teks:
a.Memahami teks secara literal (harfiyah)
dan kaku, tanpa melihat ^iliai atau maqashid di balik teks.
b.Cenderung keras (tasyaddud), mempersulit
dan berlebihan (al-ghuluww).
c.Menganggap dirinya yang paling
benar, dan lainnya salah.
d.Tidak menolerir perbedaan pendapat
atau pandangan.
e.Berburuk sangka dan bahkan
mengafirkan pandangan yang berbeda.
Di
antara produk pemikirannya saat ini: uang kertas yang beredar saat ini bukan
uang syar'i seperti dalam al-Qur'an dan Sunnah sehingga tidak wajib dizakatkan;
Zakat fithrah hanya dapat dilakukan dengan bahan makanan, tidak dapat diganti
uang; Televisi dan fotografi haram berdasarkan Hadits yang melaknat mushawwiru).
2.Neo-Bathiniyyah
Perasaan inferiority complex yang dialami umat Islam melahirkan
sikap kagum terhadap prototype peradaban Barat yang maju, sehingga
menjadi dasar sebagian kalangan untuk menetapkan hukum-hukum agama walaupun
harus berbenturan dengan nash-nash yang tsawdbit, bahkan meruntuhkan
sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat memenuhi
kemaslahatan manusia yang terus berkembang.
Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realitas dilakukan
melalui upaya mencari maqdshid syari'ah yang diduga berada di balik
simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran
akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya.
Yusuf al-Qardhawi menamakan kelompok ini dengan "al-Mu'aththilah
al-Judud" (Neo-Mu'aththilah). Kalau mu'aththilah klasik bermain
pada tataran akidah, neo-mu'aththilah bermain pada tataran akidah, neo-mu’aththilah bermain pada
tataran syariah.
Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia modern
terjadi upaya meruntuhkan syariah seperti pada hukum keluarga, warisan, kudud,
dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan
konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzul-nya.
Secara umum, kelompok ini bercirikan tidak mendalami sumber,
prinsip, dan hukum syariah dengan baik, serta memiliki keberanian mengungkap
pendapat meski tidak didukung argumentasi yang kuat.
Pijakan dalam
memahami teks:
1.Mengedepankan akal daripada
wahyu. Akal dapat menentukan mana yang lebih maslahat untuk dilakukan meskipun
harus berbenturan dengan nash syar'i.
2.Dengan dalih maslahat, Umar
bin Khaththab telah mengalahkan nash seperti pada kasus al-mu'allafah
qulubuhum yang tidak diberi zakat, menafikan hukum potong tangan saat
paceklik terjadi dan lainnya.
3.Ungkapan yang sering
disebut berasal dari Ibnu al-Qayyim, "Di mana ada maslahat di situ ada
syariah", padahal ungkapan tersebut berlaku pada kasus yang tidak ada
nashnya, atau jika ada, mengandung berbagai kemungkinan yang dapat ditentukan
melalui mana yang lebih maslahat. Ungkapan yang tepat, "di mana ada
syariah di situ ada maslahat".
4.Teks-teks yang ada harus
dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan
dengan sabab nuzul-nya. Al-'Ibrah bi khushush as-sabab, la bi 'umum
al-lafzh, demikian ungkapan yang sering digunakan.[8]
Metode Pembacaan Alternatif
Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat
atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariah Islam tidak sejalan
dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya,
terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan
berbagai ketentuan syariah. Keduanya merupakan penyelewengan yang tidak dapat
ditolerir. Diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap
mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan
makna lahir teks. Asy-Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang
mendalam ilmunya (ar-rdsikhun fi al-'ilm),[9]sedangkan al-Qardhawi menyebutnya dengan manhaj wasathi (metode
tengahan/ moderat).[10] Sikap 'tengahan' inilah
yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur'an dan Hadits. Rasulullah saw.
bersabda:
"Ilmu (al-Qur'an) akan selalu dibawa pada setiap generasi
oleh orang-orang yang moderat ('udul); mereka itu yang memelihara al-Qur'an
dari penakwilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil, dan
penyelewengan mereka yang berlebihan".
Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam
akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini disebut dalam al-Qur'an sebagai ash-Shirdth
al-Mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang
dimurkai (al-maghdhub 'alayhim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena
melakukan banyak penyimpangan.
Wasathiyyah (moderasi) berarti
keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; 'kiri' dan 'kanan',
berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal,
seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhll)
dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath
biasa diartikan dengan 'tengah'. Dalam sebuah Hadits Nabi, ummatan
wasathan ditafsirkan dengan ummatan 'udulan.
Ciri sikap moderat dalam memahami teks:
1.Memahami agama secara
menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun), dan mendalam.
2.Memahami realitas kehidupan
secara baik.
3.Memahami prinsip-prinsip
syariah (maqdshid asy-syari'ah) dan tida-iTjumud jbada tataran lahir.
4.Terbuka dan memahami etika
berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama,
dengan senantiasa "mengedepankan kerja sama dalam hal-hal yang disepakati
dan bersikap toleran pada hal-hal yang diperselisihkan".
5.Menggabungkan antara
"yang lama" (al-ashdlah) dan "yang baru" (al-mu
'dsharah).
6.Menjaga keseimbangan antara tsawdbit
dan mutaghayyirdt. Tsawdbit dalam Islam sangat terbatas, seperti
prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun Islam), akhlak, hal-hal yang diharamkan
secara qath'i (zina, qatl, riba, dan selainnya). Mutaghayyirdt;
hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanni (tsubut atau dildlah).
7.Cenderung memberikan kemudahan
dalam beragama.
Pijakan dalam Memahami Teks
1.Memadukan antara yang zhahir
dan yang batin secara seimbang dan tidak memisahkan makna batin dengan zhahir
nash.
2.Memahami nash sesuai dengan
bahasa, tradisi kebahasaan, dan pemahaman bangsa Arab (asy-Syari'ah
Ummiyyah).
3.Membedakan antara makna syar'i
dan makna bahasa. Makna syar'i dimaksud adalah yang ditetapkan oleh agama,
bukan makna yang berkembang kemudian. Kata as-Sd'ihun pada QS. at-Taubah
[9]: 112 dalam al-Qur'an bermakna orang yang berpuasa atau berhijrah, bukan
mereka yang berwisata.
4.Memerhatikan hubungan (korelasi/mundsabah)
antara satu ayat dan lainnya, sehingga tampak sebagai satu kesatuan.
5.Membedakan antara makna haqiqi
dan majdzi melalui proses takwil yang benar. Pada dasarnya, teks
harus dipahami secara haqiqi. Suatu ungkapan (kalam) dimungkinkan
untuk dipahami secara majdzi bila memenuhi tiga syarat berikut:
a.Ada hubungan yang erat antara makna zhahir sebuah teks dengan makna
lain yang dituju.
b.Adaqarinah/konteks/dalil (maqdliyyah atau hdliyyah)
yang menunjukkan penggunaan makna majdzi.
c.Ada tujuan/hikmah di balik penggunaan makna majazi yang ingin dicapai oleh pembicara (mutakallim).[11]
6.Memerhatikan hak-hak al-Qur'an
yang harus dipahami oleh setiap yang akan menafsirkannya, yaitu antara lain:
pandangan komprehensif terhadap al-Qur'an, memahami makna ragam qira'at yang
ada, memahami retorika dan konteks (siyaq) al-Qur'an, memerhatikan sabab
nuzul dan tradisi bahasa al-Qur'an, mengerti ayat-ayat yang musykil atau
terkesan kontradiktif. Demikian, wallahu a'lam.