Ulama besar, asy-Syathibi, dalam kitab al-Muwafaqat mencatat empat aliran dalam pemahaman al-Qur’an dan Hadits, yaitu Zhahiriyyah (literal), bathiniyyah, al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas (rasionalis dan cenderung liberal), dan al-Rasikhun fi al-‘Ilm (mendalam ilmunya dan moderat).[1]
- Zhaririyyah
Sebuah
mazhab fiqih yang berlandaskan pada al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, tetapi
menolak intervensi akal dalam bentu qiyas, ta’lil, istihsan, dan lain
sebagainya. Zhahiriyah, sebutan bagu para penganut mazhab ini, terambil dari
nama tokoh panutannya, Daud bin Ali azh-Zhahiri. Muncul pertama kali pada paruh
pertama abad ketiga Hijriah.
Dalam memahami teks keagamaan
Zhahiriyah berpegang kepada tiga prinsip dasar:
a.
Keharusan
berperang teguh pada lahiriah teks dan tidak melampauinya kecuali dengan teks
yang zhahir lainnya atau dengan konsessus (ijmak) yang pasti. Penggunaan akal
tidak diperkenankan.
b.
Maksud
teks yang sebenarnya terletak pada zhahir, bukan di balik teks yang perlu
dicari dengan penalaran mendalam. Demikian pula maslahat yang dikehendaki
syara’.
c.
Mencari
sebab di balik penetapan syariah adalah sebuah kekeliruan. Ibnu Hazm, salah
seorang tokohnya berkata, “Seseorang tidak
boleh mencari sebab dalam agama dan tidak diperkenankan mengatakan ‘ini’ adalah
sebab ditetapkannya ‘itu’, kecuali ada nash tentang itu.” (La yus’alu ‘amma yaf’alu wahum yus’alun).
Banyak hasil ijtihad kelompok
Zhahiriyah dalam memahami teks yang dinilai keliru oleh para ulama, antara lain
karena:
a.
Tidak
mau menggunakan akal dalam pengambilan hukum dengan memperluas cakupan zhahir,
sehinggal al-Qur’an tidak lagi mampu mengantisipasi berbagai kemaslahatan yang
timbul kemudian.
b.
Jumud
dan tidak mengikuti perkembangan zaman, sehingga bertentangan dengan fungsi
al-Qur’an sebagai kitab abadi di setiap ruang dan waktu. Teks al-Qur’an
terbatas, sementara peristiwa dan kejadian yang dialami manusia selalu
berkembang.
c.
Tidak
sejalan dengan rasionalitas al-Qur’an, karena hanya membatasi pemahaman pada
logika bahasa.
2.
Bathiniyyah
Sebuah
nomenklatur bagi sekian banyak kelompok yang pernah ada dalam sejarah Islam.
Muncul pertama kali pada masa al-Ma’mun (w.218), salah seorang penguasa
Abbasiyah, dan berkembang pada masa al-Mu’tashim (w. 227). Sebagian ulama
mensinyalir, prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam memahami teks-teks
keagamaan bersumber dari kalangan Majusi. Dinamakan Bathiniyyah karena mereka
meyakini adanya Imam yang gaib. Mereka mengklaim ada dua sisi dalam syariah;
zhahir dan batin. Manusia hanya mengetahui yang zhahir, sedangkan yang batin
hanya diketahui oleh Iman.[2]
Pola yang digunakan dalam memahami
teks-teks keagamaan:
a.
Tujuan
dan maksud dari sebuah teks (al-Qir’an dan Hadits) bukan pada makna zhahir yang
diperoleh melalui kaidah-kaidah kebahasaan dan konteks penyebutan, tetapi
terletak pada makna di balik symbol zhahirnya.
b.
Mereka
mengultuskan makna batin sebuah teks dan mengingkari zhahir teks, sehingga
banyak hokum-hukum syar’I yang diabaikan, bahkan tidak ditaati lagi.
Karena itu, Imam al-Ghazali, seperti
dikutip asy-Syathibi, mendudukkan mereka pada
tingkatan
yang paling rendah dan hina disbanding kelompok sesat lainnya.[3]
Kerusakan yang mereka lakukan, kata ar-razi, jauh lebih parah dari tindakan orang
kafir, sebeba mereka menggerus syariah Islam dengan sebutan Islam itu sendiri.[4]
Mengapa
mereka dinilai keliru dan sesat?
a.
Tidak
memiliki perangkat pemahaman yang benar. Mereka tidak menggunakan kaidah-kaidah
kebahasaan dan pokok-pokok ilmu tafsir sebagai sandaran dalam memehami
al-Qur’an, padahal al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan baru dapat
dipahami maknanya jika sesuai dengan prinsip-prinsip kebahasaan Arab.
b.
Mengira
ada yang kurang dalam syariah, dan baru sempurna jika dipahami secara batin yang
hanya bisa dilakukan oleh Imam yang ma’shum.
c.
Mengedepankan
akal daripada syariah yang dianggapnya kurang memadai dan melepaskannya tanpa
kendali untuk menyelami lautan makna batin. Patut disadari, keragaman pandangan
yang tidak didasari pada kaidah yang jelas akan menimbulkan kekacauan.
- Rasionalis (al-Aqlaniyyun), atau al-Muta’ammiqun fi al-Qiyas
Sebagian
ulama menisbatkan kecenderungan ini kepada Imam Sulaiman al-Thufi (w. 716 H)
yang dikenal dengan teori maslahat yang dipahaminya sebagai “sebab yang dapat
mengantarkan kepada tujuan syariah Allah dalam ibadah (al-ibadat) dan
muamalah (al-mu’amalat).”
Pendapatnya yang sangat berbeda
dengan jumhur ulama dan mendapat kritikan tajam: “Jika ada maslahat yang
bertentangan dengan nash yang terkait dengan mu’amalat (adat),
maka maslahat harus dikedepankan daripada nash.”
Menurut ath-Thufi, hubungan antara
maslahat dan nash (dalil syar’i) berkisar pada tiga hal:
- Dalil syar’I sejalan dengan
maslahat, seperti dalam penetapan hudud terhadap pelaku pembunuhan, pencurian,
qadzaf, dan selainnya.
- Jika tidak sejalan tetapi
memungkinkan untuk dikompromikan melalui takhshish atau taqyid, maka keduanya
dapat digunakan dalam batas-batas tertentu.
- Jika terjadi benturan antara
maslahat dan nash dan tidak bisa dikompromikan, maka maslahat harus
dikedepankan dan nash ditinggalkan.[5]
Maslahat
harus dikedepankan, karena akal dapat menalar dan membedakan maslahat manusia
tanpa perlu bantuan syara’. Maslahat daoat diketahui secara pasti
melalui kebiasaan sedangkan nash-nash syar’i tidak dapat menjelaskannya
karena mengandung banyak interpretasi dan kemungkinan. Ukurannya adalah hukum
muamalat sejalan dengan akal dan kebiasaan serta mewujudkan manfaat, baik
ketika sejalan dengan nash maupun bertentangan.
Mengapa mereka keliru?
a.
Akal
memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua maslahat manusia secara sempurna.
Apa yang diduga akan mendatangkan maslahat boleh justru sebaliknya.
Pengetahuannya sangat terbatas (QS. al-Isra [17]: 85; QS. an-Nahl [16]: 8 dan
lain-lain). Melepaskan akal untuk menalar tanpa kendali sama tercelanya dengan
mengekang akal untuk tidak berfikir.
b.
Akal
mengikuti syara’ bukan sebaliknya
Dalam
sejarah pemikiran Islam klasik terjadi perdebatan apakah akal dapat mengetahui
kebaikan dan keburukan (at-tahsin wa at-taqbih al-aqliyyayn).
- Asy’ariyyah: akal tidak dapat
membedakan kebaikan dan keburukan tanpa bantuan syara’. Tolok ukur keduanya
pada syara’.
- Muktazilah: akal dapat mengetahui
keduanya, sebab setiap perbuatan dan perkataan memiliki manfaat dan mudharat.
Agama memerintahkan dan melarang karena manfaat dan mudharat yang ditetapkan
akal.
- Muturidiyah: akal dapat mengetahui
dan keburukan, tetapi hukum agama tidak selalu sejalan dengan pertimbangan
akal. Tolok ukurnya adalah perintah dan larangan agama, sebab akal boleh jadi
keliru atau berbeda dalam menetapkan keduanya.
Kendati
berbeda, mereka sepakat mangatakan, sumber penetapan huku adalah syariah, baik
yang tertuang dalam bentuk teks maupun hasil ijtihad.[6]
c.
Kemaslahatan dalam muamalat
duniawi ada yang tidak diketahui akal dan hanya dapat diketahui melalui wahyu,
karena itu perlu berpegang pada ketentuan syariah untuk mencegah kekacauan dan
kebimbangan.
d.
Hak-hak mukallaf (hamba)
tidak lepas dari hak Tuhan. Ath-Thufi membedakan antara ibadat yang dianggap
hak Tuhan sehingga perlu berpegang pada ketentuan syara', dan muamalat yang
merupakan hak hamba sehingga yang menjadi tolok ukur adalah kemaslahatan hamba
walaupun bertentangan dengan nash. Asy-Syathibi mengatakan, "Dalam setiap
bentuk taklif terdapat hak Allah". Bentuk hukuman kudud jika
telah sampai ke tangan hakim, selain qishash, qadzaf, dan mencuri, tidak
dapat digugurkan meski telah dimaafkan oleh pihak terkait.
e.
Di dalam syariah tidak ada yang
bertentangan dengan akal. Mengedepankan maslahat daripada nash mengesankan ada
sekian maslahat yang bertentangan dengan syariah. Ini berlawanan dengan
kenyataan bahwa agama (syariah) sejalan dengan akal dan fitrah manusia.
f.
Tidak ada pertentangan antara nash
dan maslahat. Kemaslahatan yang hakiki terletak pada cakupan maqdshid syari'ah,
sehingga tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya.[7]
Bagaimana al-Qur'an dipahami
sekarang?
Zhahiriyyah, Bathiniyyah, dan 'Aqldniyyah
bukan hanya milik zaman dan waktu tertentu, melainkan selalu ada di setiap
zaman dalam bentuk yang berbeda.
I.
Neo-Zhahiriyyah
Mereka mewarisi kejumudan zhahiriyah masa lampau. Di antara
cirinya dalam pemahaman teks:
a.
Memahami teks secara literal (harfiyah)
dan kaku, tanpa melihat ^iliai atau maqashid di balik teks.
b.
Cenderung keras (tasyaddud), mempersulit
dan berlebihan (al-ghuluww).
c.
Menganggap dirinya yang paling
benar, dan lainnya salah.
d.
Tidak menolerir perbedaan pendapat
atau pandangan.
e.
Berburuk sangka dan bahkan
mengafirkan pandangan yang berbeda.
Di antara produk pemikirannya saat ini: uang kertas yang beredar
saat ini bukan uang syar'i seperti dalam al-Qur'an dan Sunnah sehingga tidak
wajib dizakatkan; Zakat fithrah hanya dapat dilakukan dengan bahan makanan,
tidak dapat diganti uang; Televisi dan fotografi haram berdasarkan Hadits yang
melaknat mushawwiru).
2.
Neo-Bathiniyyah
Perasaan inferiority complex yang dialami umat Islam
melahirkan sikap kagum terhadap prototype peradaban Barat yang maju,
sehingga menjadi dasar sebagian kalangan untuk menetapkan hukum-hukum agama
walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang tsawdbit, bahkan
meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat
memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang.
Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realitas dilakukan
melalui upaya mencari maqdshid syari'ah yang diduga berada di balik
simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran
akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya.
Yusuf al-Qardhawi menamakan kelompok ini dengan "al-Mu'aththilah
al-Judud" (Neo-Mu'aththilah). Kalau mu'aththilah klasik bermain
pada tataran akidah, neo-mu'aththilah bermain pada tataran akidah, neo-mu’aththilah bermain pada
tataran syariah.
Dengan dalih kemaslahatan (al-mashlahah) manusia modern
terjadi upaya meruntuhkan syariah seperti pada hukum keluarga, warisan, kudud,
dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan
konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sabab nuzul-nya.
Secara umum, kelompok ini bercirikan tidak mendalami sumber,
prinsip, dan hukum syariah dengan baik, serta memiliki keberanian mengungkap
pendapat meski tidak didukung argumentasi yang kuat.
Pijakan dalam
memahami teks:
1.
Mengedepankan akal daripada
wahyu. Akal dapat menentukan mana yang lebih maslahat untuk dilakukan meskipun
harus berbenturan dengan nash syar'i.
2.
Dengan dalih maslahat, Umar
bin Khaththab telah mengalahkan nash seperti pada kasus al-mu'allafah
qulubuhum yang tidak diberi zakat, menafikan hukum potong tangan saat
paceklik terjadi dan lainnya.
3.
Ungkapan yang sering
disebut berasal dari Ibnu al-Qayyim, "Di mana ada maslahat di situ ada
syariah", padahal ungkapan tersebut berlaku pada kasus yang tidak ada
nashnya, atau jika ada, mengandung berbagai kemungkinan yang dapat ditentukan
melalui mana yang lebih maslahat. Ungkapan yang tepat, "di mana ada
syariah di situ ada maslahat".
4.
Teks-teks yang ada harus
dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan
dengan sabab nuzul-nya. Al-'Ibrah bi khushush as-sabab, la bi 'umum
al-lafzh, demikian ungkapan yang sering digunakan.[8]
[1] Abu Ishaq Ibrahim
bin Musa asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Mekkah: Tazwi Abbas
Ahmad al-Baz, 1975), h. 2/394.
[2] Muhsin Abdul Hamid,
Haqiqat al-Babiyah wa al-Baha’iyyah, (Kairo: Dar al-Shahwah, 1985), h. 22.
[3] Muhsin Abdul Hamid,
Haqiqat al-Babiyah wa al-Baha’iyyah, h. 22.
[4] Asy-Syathibi,
al-I’tisham, (Riyadh: Maktabat al-Riyadh, t.th.), h. 1/331.
[5] Ahmad Abdurrahim
as-Saih, Risalah fi Ri’ayat al-Mashlahah li al-Imam ath-Thufi, (Kairo: al-Dar
al-Mashriyyah al-Lubnaniyyah, 1993), h. 39-56.
[6] Abdul Wahhab
Khallaf, Ilm’Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1408 H), h. 98-99.
[7] Abdul Karim
al-Hamidi, Dhawabith fi Fahm an-Nash, (Qatar: Kitab al-Ummah, 2005), h. 62-67
[8] Yusuf al-Qardhawi,
Dirasah fi Fiqh Maqashid asy-Syari’ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2006), cet. I, h.
97-116.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar