Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat
atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariah Islam tidak sejalan
dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya,
terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan
berbagai ketentuan syariah. Keduanya merupakan penyelewengan yang tidak dapat
ditolerir. Diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap
mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan
makna lahir teks. Asy-Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang
mendalam ilmunya (ar-rdsikhun fi al-'ilm),[1]
sedangkan al-Qardhawi menyebutnya dengan manhaj wasathi (metode
tengahan/ moderat).[2]
Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur'an dan
Hadits. Rasulullah saw. bersabda:
"Ilmu (al-Qur'an) akan selalu dibawa pada setiap generasi
oleh orang-orang yang moderat ('udul); mereka itu yang memelihara al-Qur'an
dari penakwilan mereka yang bodoh, manipulasi mereka yang batil, dan
penyelewengan mereka yang berlebihan".
Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam
akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ciri ini disebut dalam al-Qur'an sebagai ash-Shirdth
al-Mustaqim (jalan lurus/kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang
dimurkai (al-maghdhub 'alayhim) dan yang sesat (adh-dhallun) karena
melakukan banyak penyimpangan.
Wasathiyyah (moderasi) berarti
keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; 'kiri' dan 'kanan',
berlebihan (ghuluww) dan keacuhan (taqshir), literal dan liberal,
seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit (taqtir/bakhll)
dan boros tidak pada tempatnya (tabdzir). Karena itu, kata wasath
biasa diartikan dengan 'tengah'. Dalam sebuah Hadits Nabi, ummatan
wasathan ditafsirkan dengan ummatan 'udulan.
Ciri sikap moderat dalam memahami teks:
1. Memahami agama secara
menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun), dan mendalam.
2. Memahami realitas kehidupan
secara baik.
3. Memahami prinsip-prinsip
syariah (maqdshid asy-syari'ah) dan tida-iTjumud jbada tataran lahir.
4. Terbuka dan memahami etika
berbeda pendapat dengan kelompok-kelompok lain yang seagama, bahkan luar agama,
dengan senantiasa "mengedepankan kerja sama dalam hal-hal yang disepakati
dan bersikap toleran pada hal-hal yang diperselisihkan".
5. Menggabungkan antara
"yang lama" (al-ashdlah) dan "yang baru" (al-mu
'dsharah).
6. Menjaga keseimbangan antara tsawdbit
dan mutaghayyirdt. Tsawdbit dalam Islam sangat terbatas, seperti
prinsip-prinsip akidah, ibadah (rukun Islam), akhlak, hal-hal yang diharamkan
secara qath'i (zina, qatl, riba, dan selainnya). Mutaghayyirdt;
hukum-hukum yang ditetapkan dengan nash yang zhanni (tsubut atau dildlah).
7. Cenderung memberikan kemudahan
dalam beragama.
Pijakan dalam Memahami Teks
1.
Memadukan antara yang zhahir
dan yang batin secara seimbang dan tidak memisahkan makna batin dengan zhahir
nash.
2.
Memahami nash sesuai dengan
bahasa, tradisi kebahasaan, dan pemahaman bangsa Arab (asy-Syari'ah Ummiyyah).
3.
Membedakan antara makna syar'i
dan makna bahasa. Makna syar'i dimaksud adalah yang ditetapkan oleh agama,
bukan makna yang berkembang kemudian. Kata as-Sd'ihun pada QS. at-Taubah
[9]: 112 dalam al-Qur'an bermakna orang yang berpuasa atau berhijrah, bukan
mereka yang berwisata.
4.
Memerhatikan hubungan (korelasi/mundsabah)
antara satu ayat dan lainnya, sehingga tampak sebagai satu kesatuan.
5.
Membedakan antara makna haqiqi
dan majdzi melalui proses takwil yang benar. Pada dasarnya, teks
harus dipahami secara haqiqi. Suatu ungkapan (kalam) dimungkinkan
untuk dipahami secara majdzi bila memenuhi tiga syarat berikut:
a. Ada hubungan yang erat antara makna zhahir sebuah teks dengan
makna lain yang dituju.
b. Ada qarinah/konteks/dalil (maqdliyyah atau hdliyyah)
yang menunjukkan penggunaan makna majdzi.
c. Ada tujuan/hikmah di balik penggunaan makna majazi yang ingin dicapai oleh pembicara (mutakallim).[3]
6.
Memerhatikan hak-hak al-Qur'an
yang harus dipahami oleh setiap yang akan menafsirkannya, yaitu antara lain:
pandangan komprehensif terhadap al-Qur'an, memahami makna ragam qira'at yang
ada, memahami retorika dan konteks (siyaq) al-Qur'an, memerhatikan sabab
nuzul dan tradisi bahasa al-Qur'an, mengerti ayat-ayat yang musykil atau
terkesan kontradiktif.
[1] Al-Muwafaqat, 2/391
[2] Dirasah fi Fiqh
Maqashid alsy-Syari’ah, h. 135.
[3] Muhammad Salim
Abu’Ashi, Maqalatani fi at-Ta’wil, (Kairo: Dar al-Basha’ir, 2003), h. 25-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar