Amar makruf nahi munkar dengan pengertian menegakkan kebenaran dan memberantas kemungkaran adalah salah satu sendi terbesar dalam setiap agama. Para nabi: pun di utus untuk itu, sebab tanpa prinsip tersebut kerusakan di bumi akan merajalela. Di dalam al-Qur'an perintah untuk itu sangat jelas. Allah berfirman:
"Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang
beruntung".
Dalam Haditsnya Rasulullah bersabda:
Barangsiapa di antara 1 tlian mendapatkan kemungkaran
maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya (kekuatan), bila tidak bisa maka
dengan lisannya, dan kalau itu pun tidak bisa maka dengan hatinya, dan itu
adalah selemah-lemahnya iman.[1]
Dalam riwayat lain Rasulullah saw. berasabda:
Demi Zat Yang jiwaku berada di
tangan-Nya, hendaknya kalian beramar ma'ruf nahi munkar, atau (kalau tidak)
Allah akan mengirimkan azab dari sisi-Nya dalam waktu dekat, kemudian kalian
berdoa dan doa kalian tidak akan dikabulkan.[2]
Demikian prinsip-prinsip agama
menyangkut amar ma'ruf nahi munkar. Dalam tradisi keilmuan Islam, prinsip ini
dikenal dengan hisbah yang bertujuan menjaga stabilitas internal
masyarakat Muslim dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan terhadap
nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dilihat dari tujuannya sangatlah mulia, dan
bukan sebuah tugas yang ringan, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan
beberapa syarat dan perangkat kelengkapan yang memadai. Karena itu, seperti
pada ayat di atas, yang diharapkan dapat melaksanakannya adalah Vnereka yang
mencukupi syarat, tidak semua orang berkewajiban hisbah. Kata minkum mengesankan
arti sebagian di antara kalian, tidak semua.
Namun dalam kenyataan,
prinsip hisbah ini banyak dilakukan melalui cara-cara kekerasan. Tidak
sedikit aksi kekerasan dan teror dilakukan dengan dalih amar ma'ruf nahi
munkar. Ayat-ayat dan Hadits seperti di atas dipahami apa adanya, secara
literal, tanpa, mempertimbangkan
dan menghubungkannya dengan sekian ayat atau hadits lainnya sebagai sebuah
kesatuan nilai-nilai agama. Dalam sejarah Islam klasik, cara-cara seperti ini
pernah dilakukan oleh Khawarij yang di
kenal begitu bersemangat dalam keagamaan tetapi dengan pemahaman sempit
sehingga berlebihan. Fenomena ini telah di prediksi sebelumnya oleh Rasulullah
dalam sebuah sabdanya:
Pada akhir zaman nanti akan dating sekelompok
orang dari kalangan muda, dengan pemikiran yang sempit. Mereka mengutip ayat-ayat
al-Qur’an, tetapi mereka keluar dari kebenaran seperti panah lepas dari
busurnya. Iman mereka hanya sampai di tenggorokan (tidak sampai ke hati
sehingga dapat memahaminya dengan baik).
Karna kecewa dengan perkembangan politik
pasca penetapan Imam Ali sebagai Khalifah, kalangan Khawarij mengafirkan lawan-lawan
politik mereka, dan menyerukan pembangkangan dengan dalih pernyataan, hukum
hanya bersumber dari Allah (la hukma illa
lillah). Beberapa aksi kekerasan di mesir di tahun Sembilan puluhan seperti
penyerangan terhadap seniman yang dianggap mengumbar aurat, tempat-tempat
maksiat, sarana-sarana dan fasilitas milik non muslim juga terjadi atas nama
amar makruf nahi munkar. Penyerangan dan pengeboman gereja menjelang atau di
malam natal yang sering terjadi di tanah air kita juga dilatarbelakangi itu.
Jika demikian, tujuan mulia seperti apa yang ingin di capai jika cara yang di
tempuh tidak mulia? Yang terjadi, upaya memberantas kemungkaran dilakukan
dengan menimbulkan kemungkaran baru.
Agar tidak terjadi kekacauan dalam
pelaksanaan konsep hisbah, para
ulama-berdasarkan kajian mendalam terhadap teks-teks keagamaan-menyimpulkan
beberapa ketentuan bagi pelaku hiabah.
Ulama besar ibnu Taimiyah mengatakan, “Amr ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban
yang terberat. Sesuatu yang di wajibkan atau di anjurkan harus mendatangkan
kemaslahatan, bukan kemudharatan, karna para Rasul di utus untuk membawa
kemaslahatan, dan Allah tidak menyukai kerusakan. Karna itu, amar makruf nahi
munkar tidak boleh melahirkan kemunkaran
baru. Sesuatu yang banyak mengandung mudarat tidak akan di perintahkan oleh Allah”.
Lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat utama seseorang yang akan
melakukan amar makruf nahi munkar yaitu memiliki ilmu pengetahuan, bersikap lemah
lembut, berjiwa sabar dan menempuh cara-cara yang baik. Ilmu pengetahuan
mengharuskan seseorang untuk melakukan perhitungan terhadap hasil yang akan di
peroleh dari amar makruf nahi munkar. Kalau menurut dugaan upayanya itu tidak
akan menghasilkan apa-apa (tidak membawa perubahan), bahkan justru mendatangkan
bahaya maka gugur sudah kewajiban tersebut. Bahaya di maksud, menurut Imam
al-Ghazali, dapat berupa penyiksaan secara fisik, kerugian secara moril atau
materil (harta,kedudukan,harga diri). Al-Ghazali mencontohkan, jika dengan hisbah seseorang akan dipukul/dihukum di
depan umum hingga membuatnya malu, atau harta dan rumahnya terampas, maka tidak
berlaku baginya hisbah. Segala
perintah dalam agama di laksanakan berdasarkan kemampuan (Qs.ath-Thalaq [65]:
7; Qs.at-Taghabun [64]: 16). Tanpa kemampuan kewajiban gugur. Pakar tafsir
al-Qurthubi ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah [5]: 105 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu;
tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu
mendapatkan petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan”.
Berkata,”Seseorang muhtasib (pelaku
hisbah) hendaknya berdiam, jika di rasa tindakannya memberantas kemungkaran
akan mendatangkan bahaya bagi dirinya, keluarganya, atau umat Islam secara
umum”. Di tempat lain ia mengatakan, “Hadits-hadits Rasul tentang amar ma’ruf
nahi munkar banyak sekali, tetapi selalu di kaitkan dengan kemampuan. Hisbah ditunjukan kepada seorang mukmin
yang di harapkan sadar, atau orang yang tidak tahu tapi ada keinginan untuk
belajar tahu. Adapun orang yang keras kepala dengan kemungkarannya dan membela
diri dengan kekuatan sehingga jika di hadapi akan timbul bahaya sedangkan
kemungkaran itu akan tetap ada, maka tidak ada kewajiban untuk memberantasnya
dengan kekuatan”.
Aksi-aksi kekerasan yang belakangan ini banyak
di lancarkan sebagian umat Islam, apa pun motif di balik itu, termasuk
menegakan kebenaran dan memberantas kemungkaran, secara nyata telah memojokkan Islam
dan umat Islam di mata dunia. Islam dan segala yang berkaitan dengannya
dicitrakan sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Banyak kemaslahatan umat Islam
yang terganggu akibat pencitraan seperti itu. Maka, sudah saatnya kita
menampilkan wajah baru Islam yang moderat, toleran, damai, dan kasih sayang
untuk kemanusiaan.