Nabi Saw telah memberikan peringatan keras atas tuduhan kafir. Beliau
bersada, “Barangsiapa yang berkata kepada
saudaranya, ‘Wahai orang kafar,’ sesunggunya salah satu dari keduanya telah menjadi kafir.” Kami
telah menjelaskan pendapat-pendapat yang dinukil Imam Nawawi dalam mensyarahi Hadis
ini. Dalam Hadis Usamah bin Zaid Ra disebutkan bahwa oarang yang mengucapkan lâ ilâ illallâh telah masuk Islam dan
darah dan hartanya wajib dilindungi. Meskipun dia mengucapkannya demi
menyelamatkan diri. Urusannya kita serahkan kepada Allah. Kita hanya menghukumi
berdasarkan zahir. Karena itulah, Nabi Saw sangat mengingkari Usamah ketika membunuh
seseorang dalam peperangan setelah orang tadi membaca syahadat. Beliau
bersabda, “Apakah kamu membunuhya setelah dia mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan
selain Allah?’” Usamah berkata, “Sesungguhnya dia mengucapkannya untuk
melindungi diri dari pedang.” Beliau bersabda, “Apakah kamu membedah hatinya?
Apa yang kamu perbuat dengan lâ ilâha
illallâh?” Usamah berkata, “Beliau selalu mengulang-ulangnya hingga aku
berharap masuk Islam pada hari itu.”
Beberapa
Istilah yang Perlu Dijelaskan Agar Tidak Terjadi Kesalahpahaman
1. Iman.
Iman menurut bahasa adalah membenarkan, sebagaimana yang tersebut dalam Mukhtâr Ash-Shihâh. Adapun iman menurut istilah
Ahlussunnah wal-Jamaah adalah, mengucapkan dengan lisan, mebenarkan dengan
hati dan mengamalkan dengan anggota badan. Menurut sebagian ulama Hanafiyah,
iman artinya membenarkan. Dan menurut mayoritas Hanafiyah, iman artinya
membenarkan segala yang dibawakan oleh Nabi Saw dengan disertai pengakuan
lisan. Ahlussunnah wal-Jamaah mendefinisikan iman dengan perkataan dan
perbuatan.
Syaikh Hafizh Hukmi menjelaskan hal tersebut seperti di bawah ini.
Ucapan hati, artinya hati membenarkan. Ucapan lisan, artinya mengucapkan
dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad utusan Allah serta mengakui konsekwensi-konsekwensinya.
Perbuatan hati, artinya niat, ikhlas, cinta, pasrah, menghadap kepada
Allah, tawakal dan konsekwensi-konsekwensinya.
Perbuatan lisan dan anggota badan. Perbuatan lisan, artinya sesuatu yang
tidak dapat tercapai kecuali melalui lisan, seperti membaca Al-Quran, segala
zikir, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, doa, istighfar dan lain sebagainya.
Perbuatan anggota badan, artinya sesuatu yang tidak dapat terlaksana
kecuali dengan anggota badan, misalnya berdiri, rukuk, sujud, berjalan menuju ridha Allah,
pergi ke masjid, haji, jihad, dan amar makruf dan nahi mungkar.
Ibnu Bathal mengatakan, “Jika dikatakan, ‘Kamu telah menetapkan bahwa
iman adalah membenarkan,’ maka dikatakan, membenarkan merupakan awal
tingkatan-tingkatan iman dan pintu masuk pertama orang-orang yang membenarkan,
namun tidak mewajibkan penyempurnaan tingkatan-tingkatannya. Akan tetapi, yang
seperti ini tidak dinamakan iman secara mutlak.
Menurut
kalangan Ahlussunnah wal-Jamaah, iman
adalah ucapan dan perbuatan. Abu Ubaid mengatakan, “Ini merupakan pendapat Imam Malik,
Nawawi, Auza’i dan orang-orang setelah mereka dari kalangan Ahlussunnah di
berbagai tempat. Makna inilah yang ingin disampaikan Imam Bukhari dalam Kitâb Al-Îmân dan membuat bab-bab di bawah pembahasan iman.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul
Bâri menjelaskan bahwa ulama salaf mengatakan, iman adalah meyakini dengan
hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Mereka
bermaksud bahwa amal adalah syarat kesempurnaan iman. Dari sini muncullah
perkataan bahwa iman itu bertambah dan berkurang.
Sementara kaum Murjiah mengatakan, “Iman adalah keyakinan dan ucapan.”
Kelompok Karamiah mengatakan, “Iman hanyalah ucapan.” Muktazilah mengatakan,
“Iman adalah amal, ucapan dan keyakinan.”
Yang membedakan antara mereka dengan ulama salaf adalah mereka menjadikan
amal sebagai syarat sah iman, sedangkan salaf menjadikan amal sebagai
penyempurna iman.
Al-Hafizh mengatakan, “Semua ini dipandang dari apa yang ada di sisi
Allah. Adapun dipandang dari sisi kita, iman adalah pengakuan saja. Barangsiapa
yang mengaku iman, maka diberlakukan hukum-hukum iman terhadapnya di dunia dan
tidak dihukumi kafir kecuali dibarengi dengan perbuatan yang menunjukkan
kekafiran, seperti sujud kepada berhala. Jika perbuatan tidak menunjukkan
kekafiran, seperti fasik, barangsiapa yang mengatakan orang seperti ini iman
karena memandang pengakuannya dan barangsiapa yang mengkafikan iman darinya, karena
memandang kesempurnaan iman. Barangsiapa yang menyebutnya kafir, karena
memandang hal tersebut perbuatan kafir dan barangsiapa yang menafikan kafir
darinya, karena memandang hakikat iman.”
Kesimpulan penjelasan Ibnu Hajar, antara lain.
1.
Ahlussunnah wal-Jamaah menjelaskan iman dengan keyakinan dalam hati, ucapan
dengan lisan dan perbuatan dengan anggota badan.
2. Ada
perbuatan yang menggugurkan iman, seperti tidak melakukan kewajiban. Ada
perbuatan yang menjadi penyempurna iman, bukan syarat iman. Oleh karena itu,
iman bertambah dan berkurang.
3. Ada
perbuatan-perbuatan yang menunjukkan kekafiran pelakunya, seperti sujud kepada
berhala.
Syaikh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Iman apabila diungkapkan secara umum
maksudnya iman yang sempurna, yaitu iman yang mengumpulkan antara pembenaran
hati, pengakuan lisan, dan praktik anggota badan. Inilah iman yang disebutkan
dalam firman Allah Swt,
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya” (Qs. Al-Anfâl [8]: 2).
Begitu juga yang terdapat Hadis Nabi Saw,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, hendaklah menyambung tali persaudaraan.”
Dan yang terdapat dalam Hadis Nabi Saw bahwa iman mempunyai cabanya sebanyak tujuh puluh cabang. Yang paling utama, ucapan lâ ilâha illallâh dan yang paling rendah, menyingkirkan duri dari
jalan. Malu adalah cabang dari iman.”