Kata 'makruf terambil dari kata 'arafa yang berarti
mengenal, mengetahui, memahami. Bentukan kata makruf bermakna sesuatu yang
telah dikenal baik oleh masyarakat. Kata 'urf yang dikenal dalam
terminologi hukum bermakna budaya yang telah diterima oleh masyarakat luas
sebagai memiliki nilai kebaikan. Menolong, menghargai, bersikap adil, jujur,
bersahabat, adalah contoh-contoh makruf yang telah menjadi budaya universal
masyarakat beradab dan diterima sebagai nilai-nilai luhur kehidupan.
Menurut al-Jurjani, yang
disebut makruf adalah semua yang baik menurut syara'.
Sesuatu yang baik menurut syara' disebut makruf karena jiwa akan merasa
tenteram padanya.[2]
Semua yang diperintahkan oleh agama, baik perintah tegas (wajib) maupun anjuran
(sunnah) membawa kebaikan pada pelaku dan lingkungannya. Pribadi norma1
jika melakukan suatu kebaikan akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan. Sebaliknya,
jika melakukan keburukan akan menimbulkan waswas, penyesalan, dan
ketidaktenangan dalam batin orang itu. Rasulullah pernah bersabda,
"Kebaikan itu adalah
berakhlak baik, sementara perbuatan dosa adalah apa saja yang menyebabkan
waswas di dalam batinmu dan engkau merasa khawatir jika diketahui orang lain.”
Lawan kata dari makruf adalah
munkar, yaitu sesuatu yang diingkari atau tak dikenal baik dalam masyarakat.
Dalam kosakata bahasa Indonesia terdapat kata ingkar dan mungkar yang merupakan
serapan dari bahasa Arab. Ibnu Manzhur dalam Lisan al-'Arab memberi
penjelasan tentang term ini:
"Kata
inkar dan munkar merupakan antonim dari makruf, yaitu semua yang dianggap
buruk, haram, dan tercela oleh syara".
Seperti
halnya istilah makruf, istilah munkar pun harus dikembalikan pada standar
agama. Sebuah perbuatan disebut munkar apabila menurut agama (syara') hal itu haram atau tercela. Dengan
demikian harus dapat dipastikan bahwa seseorang yang akan melakukan nahi munkar
harus benar-benar mengetahui dan mampu mengklasifikasi perbuatan mana yang
termasuk makruf dan yang mana tergolong munkar menurut informasi al-Qur'an dan
as-Sunnah. Orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kategori makruf dan
munkar menurut kedua sumber itu maka tentu tidak berkewajiban melakukan amar
makruf nahi munkar.
Rangkaian aktivitas amar makruf dan nahi munkar mengandung dua
aktivitas berbeda. Yang pertama, amar makruf, yaitu ajakan atau perintah
melakukan kebaikan, baik yang berwujud sikap, ucapan, maupun perbuatan nyata.
Sedangkan yang kedua, nahi munkar, yaitu upaya pencegahan atau perubahan
terhadap kemungkaran. Kedua aktivitas ini harus diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun, prioritas pertama adalah melakukan nahi munkar, karena
mencegah atau mengubah kemungkaran itu lebih utama daripada menganjurkan
kebaikan.
Di dalam masyarakat harus ada
kesadaran bersama untuk senantiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi munkar.
Salah satu superioritas umat Islam sehingga disebut sebagai "khaira ummah"
adalah aktivitasnya beramar makruf dan nahi munkar yang didorong oleh
iman kepada Allah yang kuat, sebagaimana dapat dipahami dari feurah Ali 'Imran [3]: 110. Mengapa?
Karena, kalau tidak ada orang yang selalu mengingatkan beramar makruf nahi
munkar, maka boleh jadi yang makruf menjadi munkar, atau sebaliknya, yang
munkar menjadi makruf.
Hal-hal yang makruf kalau terus ditinggalkan oleh masyarakat sangat boleh jadi menjadi munkar sehingga tidak lagi dikenal sebagai suatu kebaikan. Sikap tolong-menolong yang kental di masyarakat pedesaan menjadi sesuatu yang 'tak dikenal' oleh masyarakat di kota besar yang lebih individualistik. Atau, hal-hal munkar yang dilazimkan oleh masyarakat mungkin akan berubah menjadi makruf. Sudah tidak diketahui sejak kapan dimulai kebolehan mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohon di kebun orang lain. Meskipun diketahui buah itu milik orang yang punya kebun ketika jatuh dari pohon boleh diambil oleh siapa saja (telah menjadi 'makruf). Ibn al-Muqaffa', sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa:
Hal-hal yang makruf kalau terus ditinggalkan oleh masyarakat sangat boleh jadi menjadi munkar sehingga tidak lagi dikenal sebagai suatu kebaikan. Sikap tolong-menolong yang kental di masyarakat pedesaan menjadi sesuatu yang 'tak dikenal' oleh masyarakat di kota besar yang lebih individualistik. Atau, hal-hal munkar yang dilazimkan oleh masyarakat mungkin akan berubah menjadi makruf. Sudah tidak diketahui sejak kapan dimulai kebolehan mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohon di kebun orang lain. Meskipun diketahui buah itu milik orang yang punya kebun ketika jatuh dari pohon boleh diambil oleh siapa saja (telah menjadi 'makruf). Ibn al-Muqaffa', sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa:
"Apabila makruf sudah
kurang diamalkan, maka ia menjadi munkar, danjika munkar telah menyebar maka ia
menjadi makruf. "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar