Islam kita yakini sebagai agama penyempurna, yaitu agama yang
menuntaskan firman-firman Allah kepada umatnya. Karena itu, seharusnya dengan
disampaikannya Islam oleh Nabi Muhammad saw, maka tidak ada lagi rujukan lain
bagi umat manusia, khususnya kita yang mengaku diri sebagai Muslim, kecuali
al-Qur'an dan Hadits. Jika saja semua orang mau mengacu kepada al-Qur'an dan
Hadits itu, maka Allah menjanjikan bahwa dunia ini akan seperti surga, damai,
tenang, sejahtera, tidak ada kejahatan, tidak ada polusi, tidak terjadi
pemanasan bumi ata.u kekurangan bahan pangan dan mahalnya minyak bumi, tidak
ada perang dan terorisme dan sebagainya.
Sayangnya, faktanya umat manusia tidak seperti yang kita harapkan.
Al-Qur'an sendiri sudah mengingatkan bahwa umat manusia diciptakan berbeda-beda
dan bergolong-golongan agar saling mengenal, seperti dalam firman-Nya: "Hai
manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. al-Hujurat [49]: 13), tetapi umat
manusia justru terus-menerus saling berperang, saling berbunuhan, dan saling
menzalimi. Beberapa di antaranya, bahkan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an
tentang jihad, sebagai alasan untuk memerangi orang-orang yang tak sepaham atau
sealiran dengannya. Bukan hanya yang berlainan agama, tetapi juga yang seiman.
Tentu saja Islam bukan dimaksudkan untuk saling menghancurkan,
karena Allah sendiri menghendaki sesama Muslim untuk saling bersaudara. Bahkan,
dengan seluruh umat manusia dan mahluk hidup lain di muka bumi ini, manusia
harus saling memelihara dan menjaga. Masalahnya, setelah Nabi dan para sahabat
wafat, maka tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang mendapat petunjuk
langsung dari Allah swt. atau Rasulullah sendiri. Semua orang mendapatkan
pengetahuan, penghayatan, bahkan sampai keimanannya dari mendengar, atau
belajar dari orang lain, atau membaca karangan-karangan manusia lain. Pendek
kata, kita harus mengacu kepada narasumber lain di luar Allah dan Rasulullah
sendiri.
Narasumber itu bisa saja ulama kaliber dunia, atau ustadz lokal,
tetapi semuanya hanyalah manusia biasa, dan setiap manusia biasa tidak bisa
melepaskan diri dari sifat subjektifnya. Maka, tidak mengherankan jika
al-Qur'an yang hanya satu itu, bisa memunyai ratusan, bahkan mungkin ribuan
tafsir. Tidak aneh juga jika hadits-hadits itu berjenjang dari yang paling
shahih sampai yang paling tidak shahih. Sementara hadits shahih yang diajarkan
oleh seorang kiai atau ustadz, justru dianggap tidak shahih oleh kiai atau
ustadz yang lain. Itulah sebabnya Islam terbagi-bagi dalam begitu banyak
aliran: Syiah, Sunni, dan sete usnya, dan antaraliran itu bisa saling
berperang, seperti yang terjad antara kaum Syiah dan Sunni di Irak pada tahun
2000-an ini.
Bagaimana cara mengatasi hal vang tidak diharapkan ini? Wallahu
a'latn bis-shawwdb. Tetapi, ada satu hal yang kiranya masih bisa kita
lakukan, untuk setidaknya mengurangi atau mencegah kemungkinan penyalahgunaan
konsep 'jihad' untuk tujuan-tujuan menggunakan kekerasan terhadap golongan
lain. Terlepas dari keyakinan masing-masing, tetapi setiap perbuatan yang
merugikan orang lain (membunuh, membom, merampok, dan lain-lain), walaupun dilakukan
atas nama jihad, tetap tidak dibenarkan, karena hal itu sudah merupakan
tindakan kriminal yang terkena sanksi hukum negara. Tulisan ini ditujukan untuk
meluruskan apa yang dimaksud dengan jihad itu sebenarnya. Intinya adalah
bagaimana menafsirkan jihad itu dengan tepat, sehingga hasilnya bermanfaat
untuk membesarkan Islam dan menyejahterakan umat. bukan justru malah saling
menghancurkan antarumat.
Kami berterima kasih, karena dari penelitian-penelitian di lembaga
kami, terbukti bahwa faktor penyebab utama dari timbulnya berbagai perilaku
kekerasan (termasuk terorisme) yang dilakukan oleh beberapa saudara kita yang
seiman, adalah menafsirkan konsep jihad seperti yang diajarkan oleh guru-guru,
ustadz-ustadz, atau tokoh-tokoh panutan mereka, sedemikian rupa, sehingga
mereka beranggapan bahwa jalan kekerasan itulah jalan satu-satunya yang benar.
Karena itu, memang sangat diperlukan tafsir-tafsir yang lebih rasional dan
lebih mendekati apa yang dimaksudkan oleh Islam yang sesungguhnya, untuk
mencegah terulangnya kembali aksi-aksi kekerasan dengan nengatasnamakan jihad
di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar