Islam adalah agama pembawa rahmat
dan berwatak toleran. Ia sangat
mendambakan keadilan dan kedamaian serta menjunjung tinggi kemuliaan dan
kebebasan manusia. Dan, ini bukanlah slogan
kosong tanpa bukti, melainkan prinsip dasar yang inheren dalam rancang-bangun
Islam.
Sebagaimana
termaktub dalam Al-Qur’an, Allah set. mengutus rasul-Nya, Muhammad saw. sebagai
“rahmat bagi semesta alam.”[1]
Nabi Muhammad saw. sendiri menyatakan tujuan risalah Islam yang dibawanya
sebagai, “Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”[2]
Islam juga memberikan kepada manusia kebebasan menetukan pilihan, bahkan dalam
hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) sekalipun. Allah swt. berfirman:
“
Maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”
(QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Oleh
karenanya, dakwah dalam Islam harus didasari atas, dan didorong oleh,
penerimaan secara sadar yang dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, atau
berdebat secara lebih baik, argumentatif dan objektif bukan berdasarkan paksaan
dan tekanan.[3]
Demikian pula, Islam sangat menganjurkan sikap adil dan ihsân, mengecam smeua
bnetuk perbuatan keji danmunkar, serta upaya-upaya destruktif di atas muka
bumi.[4]
Oleh karena itu, sangat tidak logis bila Islam yang memerintahkan para
pengikutnya utnuk bersikap saling mengasihi antarsesama manusia dan semua
makhluk hidup, akan memerintahkan perang yang terus-menerus terhadap non-Muslim
hanya karena perbedaan akidah.[5]
Islam
dan Toleransi Agama
Dalam Islam, kebebasan beragama dan
berkeyakinan mendapat jaminan yang jelas dan pasti. Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an telah
secara jelas dan tegas menyatakan, “Lâ
ikrâha fi and-dîn” [Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam)].[6]
Di sini, Islam melarang secara tegas berbagai bentuk pemaksaan untuk menganut
agama tertentu. Kebebasan manusi adalam
memilih agama dan keimanan merupakan prinsip paling fundamental dari ajaran
akidah Islam. Secara demikian, penegasan
Al-Qur’an tentang kebebasan manusia untuk beriman atau kufur tanpa paksaan
merupakan prinsip yang tidak lagi dapat ditawar. “Maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir,” demikian pernyataan Al-Qurân.[7]
Hal
ini karena masalah keimanan, keyakinan, dan keberagamaan agar benar dan
dipercayai dengan yakin haruslah merupakan tindkan yang berdiri di atas, dan
didasari oleh, penerimaan yang sadar, tulus dan tanpa paksaan. Keimanan dan keyakinan yang hakiki tidak akan
muncul jika landasannya adalah pemaksaan dan keterpaksaan. Dengan kata lain, masalah keimanan adalah
urusan dan komitme individuall, karenanya tak seorang pun dapat mencampuri dan
memaksa komitmen individual ini. Iman,
sebagaimana ditekankan dalam teks dasar Islam dengan kata-kata yang jelas dan
tak dapat diragukan, merupakan tindakan sukarela yang lahir dari keyakinan,
ketulusan, dan kebebasan. [8]
Non-Muslim dalam Negara Islam
Jaminan
Islam terhadap kebebasan beragama sebenarnya muncul dair pengakuan Islam atas
kemajemukan atau pluralitas keberagamaan.[9] Dalam praktiknya, jaminan ini telah
ditegaskan oleh Rasulullah saw. sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah.[10] Dalam konstitusi tersebut, dijelaskan antara
lain klausul tentang pengakuan eksistensi kaum Yahudi sebagai bagian dari
kesatuan komunitas umat bersama kaum Muslimin di Madinah.[11]
Bertolak dari kebebasan beragama
yang dijamin oleh Islam ini pula, Khalifah II “Umar bin al-Khaththab memberikan
jaminan keamanan bagi penduduk Baitul Maqdis yang beragama Kristen. “Bagi mereka jaminan keamanan atas kehidupan,
gereja-gereja dan salib-salib mereka.
Mereka tidak boleh diganggu dan ditekan karena alasan agama dan
keyakinan yang mereka anut, “demikian kebijakan dan jaminan ‘Umar bin al-Khaththab
bagi umat non-Muslim dalam negara Islam.[12]
Islam dan Hubungan Antarnegara
Sebelumnya,
satu prinsip yang penting untuk dikemukakan di sini adalah: perang yang
diperbolehkan dalam Islam (jihad) sebenarnya lebih bercorak defensif yang
bertujuan semata-mata untuk membela diri dari serangan musuh. Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai prisnsip ini
sangatlah gamblang. Allah swt.
mengizinkan kaum Muslim untuk melakukan peperangan bilamana musuh-musuh Islam
telah melakukan serangan terlebih dahulu.
Allah swt. berfirman:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang
yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu”. (QS. Al-Hajj [22]: 39)
Demikian pula dengan firman-Nya:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS.
Al-Bawarah [2]: 190)
Ayat di atas secara jelas dan
gamblang menyatakan bahwa kendati peperangan diizinkan dalam Islam untuk tujuan
membela diri, akan tetapi di dalamnya terkandung ancaman untuk tidak melampaui
batas-batas diperbolehkannya peperangan, karena Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. Karena
itulah Allah swt. Mengafirmasi ayat di atas dengan firman-Nya:
“Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu,
maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”. (QS. Al-Baqaah
[2]: 194)
Menjaga perdamaian dan
anti-peperangan sebenarnya merupakan watak dasar dari wajah Islam
sesungguhnya. Ia menjadikan pertumpahan
darah dan peperangan sebagai bentuk pengecualian untuk membela diri dari
serangan musuh; suatu pengecualian yang, kendatipun tidak menyenangkan, menjadi
pilihan terbaik ketimbang menyerah kepada musuh tanpa perlawanan. Inilah pengertian yang dapat kita petik dari
fiman Alllah swt:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal
berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci”. (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Dengan demikian, peperangan ofensif
dalam bentuk dan dengan tujuan untuk menyerang musuh telebih dahulu merupakan
tindakan yang tidak direstui Islam dan tidak mendapatkan dukungan pembenaran
dari agama yang sangat menganjurkan perdamaian dan kedamaian ini.
Jihad dalam Islam yang berarti suatu
bentuk perang defensif sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya tidak terbatas
dalam arti peperangan fisik semata (qitâl), tetapi juga mencakup jihad melalui
harta, jiwa, pemikiran, serta sarana-sarana lain yang dapat membantu mematahkan
gerak ofensif musuh (penjajah) dengan berbagai bentuknya. Sebab, tujuan jihad adalah memlihara dan
menjaga eksistensi masyarakat Muslim dan keyakinan yang mereka anut; suatu hak
yang sah bagi umat mana pun untuk mempertahankannya sebagaimana ditegaskan oleh
hukum internasional modern.
Kemudian, dalam suatu peperangan,
jika kaum Muslim mendapati pihak musuh berkeinginan untuk berdamai dan
menawarkan gencatan senjata, maka Islam memerintahkan untuk menerima inisiatif
damai itu, sebagaimana firman Allah swt:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian,
maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” (QS. al-Anfâl [8]: 61)
Oleh karena itu, menjadi sangat
logis bila Islam sesungguhnya senantiasa mengajak untuk menciptakan suatu tata
kehidupan yang damai(ko-eksistensi/ al-ta’âyusy
al-silmî) dengan umat dan Negara lain selama mereka menghormati eksistensi
kaum Muslim. Di sinilah kita mendapatkan
mengapa Al-Qur’an sangat menganjurkan umat Islam untuk berinteraksi dengan umat
lain atas dasar keadilan. Allah swt.
berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS.
al-Mumtahanah [60]: 8)
Lebih jauh, Islam memerintahkan
untuk selalu menghormati dan menjalankan perjanjian dan kesepakatan. Terdapat cukup banyak nash al-Qur’an yang
mengandung perintah ini, antara lain firman Allah swt:
“Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi
cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu
di antaramu, disebabkan adanya saru golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan yang lain. Sesungguhnya Allah
hanya menguji kamu denganhal itu.
Dansesungguhnya di hari kiamat kan dijelaskan-Nya kepadamu apayang
dalhulu kamu perselisihkan itu”. (QS. Al-Nahl [16]: 91-92)
Perintah Islam untuk senantiasa
menepati dan memelihara perjanjian dan kesepakatan bukan hanya terbatas antarindividu,
tetapi juga antar kelompok/negara. Dalam
hubungan antar kelompok/negara, Al-Qur’an berpesan untuk menepati perjanjian
yang telah dibuat, sebagaimana firman Allah swt:
“Dan jika meminta pertolongan kepadamu dalam
(urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka” (QS.
Al-Anfâl [8]: 72)
Prinsip ini bukanlah teori belaka,
tetapi benar-benar telah dipraktikkan dalam kehidupan Islam melakui keteladanan
Rasul-Nya saw. Misalnya, seperti riwayat Abu Râfî’[13]
yang ingin masuk Islam tatkal bertmeu Rasulullah saat ia menjadi duta
kaumQuraisy untuk menemui Nabi di Madinah.
Abu Râfî’ meminta Nabi utnuk memperkenankannya tinggal di Madinah
bersama Nabi dan tidak kembali ke Mekkah. Namun, Nabimenolak permintaan itu
karena beliau tidak ingin mengkhianati perjanjian dengan kaum Quraisy.[14]
Demikianlah, uraian di
atas semakin memperkuat bahwa Islama dalah agama yang menyebarkan perdamaian,
toleransi dan ke-eksistensi antarindividu, golongan,dan negara. Tidak hanya
sampai disitu, Islam pun mengajak umat manusia untuk bekerja sama demi terwujudnya
cita dan harapan manusia dan kemanusiaan.
Prinsip Islam tentang dianjurkannya kerja sama lintas agama, ras,
golongan, negara demi kebaikan dan kemaslahatan dapat dilihat, misalnya, dari
keterlibatan Nabi Muhammad saw. Dalam peristiwa Half al Fudhûl, di mana satu perjanjian telah dibuat oleh
beberapa suku Arab untuk membela seorang pria yang diperlakukan secara tidak
adil oleh seorang pria dari suku Arab lainnya. [15] Nabi berpartisipasi dalam perjanjian ini
sebelum beliau dibangkitkan menjadi Nabi.
Ketika beliau mengingat peristiwa tersebut setelah diutus menjadi Nabi,
beliau bersabda:
“Sungguh dahulu aku pernah
menyaksikan di kediaman Abdullâh bin Jad’ân suatu perjanjian/ pakta )Half
al-Fudhûl). Jika aku diminta untuk ikut
serta dalam peristiwa itu lagi dalam Islam, aku pasti akan berpartisipasi”.[16]
Pernyataan beliau ini
dengan jelas menunjukkan keharusan bekerja sama dalam kebaikan dan
keadilan,tanpa melihat apakah pihak lain yang bekerjasama itu adalah Muslim
atau bukan,[17] sebagaimana yang dapat
dipetik dari pernyataan al-Qur’an:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam bebuat dosa
dan pelanggaran”.(QS. Al-Ma’idah [5]: 2)
Distorsi
Penafsiran Ayat al-Qur’an/Penyimpangan Menafsirkan Ayat/
Sampai titik ini, semakin jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan
memerangi seseorang atau negara non-Islam hanya semata-mata karena perbedaan
agama. Tetapi,beberapa ayat mengenai perang memang sering mengalami distorsi
makna akibat pemahaman parsial dan tidak utuh.
Misalnya, ayat-ayat tentang perang yang terdapat dalam surah at-Taubah
[9] ayat 5, 14, 29, dan 36 yang diambil secara sepotong-sepotong tidak jarang
menggiring ke pemahaman bahwa Islam memerintahkan untuk memerangi siapa saja
yang berbeda agama. Padahal, bila ayat
tersebut dicermati dan dibaca secara utuh, pemahaman ekstrem seperti ini
menjadi jelas penyimpangannya karena bertentangan dengan karakteristik dasar
Islam yang rahmah dan penuh damai.
Dalam ayat 5 surah at-Taubah, misalnya, potongan
ayat yang artinya, “Maka bunuhlah
orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai”, harus dibaca dalam
konteks yang utuh dan mengaitkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu
tentang orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian damai dan yang tetap
setia dengan perjanjian damai. Perintah Allah adalah memerangi orang-orang
musyrik yang berkhianat dan melanggar perjanjian damai. Dengan demikian, orang-orang musyrik yang
tetap setia dengan perjanjian damai dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi
kaum Muslim, maka tidak boleh diperangi.
Orang-orang musyrik ini dapat bebas tanpa gangguan dan dijamin
keamanannya selama masa ikatan perjanjian (ayat 4 surah at-Taubah). Dan, dalam ayat 6 sesudahnya, Allah
memerintahkan kepada Nabi saw. Dan kaum Muslim untuk memberikan jaminan
keamanan bagi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan.
Pada ayat 14 surah at-Taubah, orang-orang
non-Muslim yang diperintahkan untuk diperangi adalah mereka yangmelanggar
perjanjian damai dan berencana memerangi kaum Muslim, seperti yang dapat dibaca
dengan jelas dari ayat sebelumnya (ayat 12 dan 13surah at-Taubah). Demikian pula dengan ayat 29 dan 36 pada
surah yang sama. Dalam ayat 29, Allah
memerintahkanuntuk memerangi orang-orang kafir (Ahlul-Kitab) karenaadanya niat
permusuhan dalam dirimerekapada waktu itu untuk memerangi kaum Muslim. Sementara dalam ayat 36, perintah perang
kepadea kaum musyrik di bulan Haram, karena kaum musyrik itu telah berkhianat
dan melanggar perjanjian dengan melakukan penyerangan di bulan Haram yang dalam
tradisi Arab dilarang melakukan peperangan.[18]
Dalam konteks ini, ayat lain yang sering kali
mengalami distorsi makna sehingga terkesan radikal adalah ayat 193 surah
al-Baqarah dan ayat 39 surah al-Anfâl.
Dua ayat ini, yaitu firman-Nya, “Dan
perangilah mereka, supaya jangan ada finah dan supaya kepatuhan seluruhnya
semata-mata untuk Allah.”
Ayat 193 surah al-Baqarah yang memerintahkan kaum
Muslim untuk berperang di sini harus dibatasi untuk berperang melawan mereka
yang lebih dahulu melakukan agresi, sebagaimana terbaca dalam ayat 190
sebelumnya:
“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menukai orang-orang yang
melampaui batas”.
Kemudian, dalam ayat 192 selanjutnya, al-Qur’an
menyatakan bahwa peperangan itu harus dihentikan bila pihak musih menghentikan
serangan,”Kemudian jika mereka berhenti
(dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.” Menurut pakar tafsir M. Quraish Shihab, bila
ayat 190 berbicara tentang kapan peperangan diizikan (yaitu saat ada musuh yang
lebih dulu menyerang), maka ayat 192 dan 193 menjelaskan kapan peperangan mesti
dihentikan.
Tujuan dari aturan perang seperti ini tidak lain
agar tidak timbul fitnah, yakni “agar kekuatan syirik kaum musyrik itu tidak
menimbulkan fitnah yang dapat menyakiti kaum Muslim sebagaimana dulu mereka
menyakiti kaum Muslim di Mekkah;”[19]
dan agar “wa yakûna al-dînu Lillâh” (kepatuhan hanya semata-mata kepada Allah),
yakni bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus ditaati, antara lain member
kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan mengamalkan agama dan
kepercayaannya karena masing-masing akan mempertanggungjawabakannya, sesuai
firman-Nya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
(QS. Al-Kâfîrun [109]: 6).[20]
sengaja disebarkan untuk memperburuk citra Islam. Sebaliknya, Islam adalah agama damai yang
penuh rahmat. Bahkan, jika dicermati
lebih teliti dari aspek kata Islam itu sendiri, secara kebahasaan, sebenarnya
ada kesesuaian antara lafal Islam (îslâm) dengan kedamaian (salâm). Dua lafal itu islâm dan salâm merupakan
derivat yang berasal dari akar kata yang sama, yakni dari gabungan huruf sîn,
lâm, dan mîm, yang berarti “selamat”dan “damai”.
Demikian pula, didalam al-Qur’an, Allah menyifati
zat-Nya sebagai as-Salâm (Mahadamai).
Ucapan penghormatan umat Islam disebut ucapan salâm (kedamaian) untuk
mengingatkan pengucapannya bahwa salâm atau kedamaian itu merupakan tujuan
utama yang harus disebarkan dan tidak boleh sedikit pun lepas dari
ingatan. Lebih dari itu, setiap hari
seorang Muslim diwajibkan paling kurang lima kali mengucapkan penghormatan
Islam salâm di akhir setiap shalat; salâm kedamaian untuk sisi kanan dan kiri
yang meliputi dua belahan bola bumi.
Demikianlah, jelas kiranya karakteristik Islam
sebagai Agama yang damai dan penuh rahmat.
Dari itu,tak ada tempat dalam agama ini
bagi kekerasan dan radikalisme, atau fanatisme dan terorisme, serta
berbagai bentuk kelaliman yang merusak dan menghancurkan kehidupan dan/ atau
hak milik orang lain. Terlebih lagi bila
kita menyadari bahwa tujuan pokok dari ajaran Islam (maqâshid syari’ah) adalah
menjaga danmemelihara hak-hak manusia yang paling mendasar, khususnya hak
hidup,hak beragama, hakmemlihara akal, keluarga dan kepemilikan. Tidaklah aneh karenanya bila Islam
mengharamkan berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman kepada
orang/golongan lain, sampai-sampai Islam menganggap kelaliman yang dilakukan
kepada seorang manusia, sama artinya melakukan kelaliman kepada umat manusia
secara keseluruhan, sebagai dinyatakan dalam Kitab Suci Islam:
“Barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan, barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 32)
[1]
QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107.
[2]
Hadits riwayat Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad.
[3]
Lihat: QS. An-Nahl [16]: 82 dan 125 al ‘Ankabût [29]: 18; Yâsin [36]: 17;
asy-Syûrâ [42]: 48; dan al-Ghâsyiyah [88]: 22.
[4]
Lihat: QS. Al-Nahl [16]: 90.
[5]
Lihat: M.. Zaqzouq, Haqâ’iq al-Islâmiyyah fi Muwâjahat Hamalât
al-Tasykîk, (Cairo: Maktabah al-Syurûq al-Dawiliyyah, 2004, h. 33.
[6]
QS. Al-Baqarah [2]: 256.
[7]
QS. Al-Kahf [18]: 29.
[8]
Lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan al-Kahfi [18]: 29.
[9]
Pengakuan ini terbaca, misalnya, melalui pernyataan al-Qur’an dalam surah
al-Mâ’idah [5]:48: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap apa
yang telah diberikan kepadamu. Maka,
berlomba-lombalah dalam kebaikan. Hanya
kepada Allah-lah kamu semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa-apa
yang telah kamu perselisihkan.”
[10]
Kajian dan analisis menarik mengenai kandungan “Konstitusi Madinah” dapat
dibaca, antara lain, dalam M.S. Al-‘Awwâ, Fî an-Nizhâm as-Siyâs li ad-Dawlah
al-Islâmiyyah, (Cairo: Dâr al-Syurûq, 1989), h. 50-64.
[11]
Pada poin ini, al-‘Awwâ melihat bahwa ko-eksistensi antara kaum Yahudi dan kaum
Muslim, sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah, erat kaitannya dengan konsep
Islam tentang kewarganegaraan dalam sebuah Negara (al-muwâthanah) (Fî an-Nizhâm
as-Siyâsi li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, h. 55.
Bandingkan: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lû Dzimmiyyûn: Mawqi’ Ghair
al-Muslimîn fî Mujtama’ Muslimîn, (Cario: Dâr asy-Syurûq, 1990), cet, 2, h.
124.
[12]
Pernyataan ‘Umar bin al-Khaththab yang sangat populer ini dapat dilihat, antara
lain, dalam al-Thabarî, Târîkh al-Thabarî, Maktabah Syâmilah, versi 2, 3/105.
[13]
Hadits riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan al-Hakim.
[14]
Lihat: Muhammad ad-Dasûqî, Ushûl al-‘Alâqât ad-Dawliyyah, h. 602-603
dalamM.H. Zaqzouq (ed.), At-Tasâmuh
fi al-Hadhâharah
al-Islâmiyyah, (Cairo:
al-Majlis al-A’lâ li
al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004).
[15]
Tentang Half al-Fudhûl,
lihat antara lain: Ibnu Katsir, as-Sîrah
an-Nabawiyyah, 1/259 (Maktabah Syâmilah).
[16]
Al-Baihaqi, As-Sunan al Kubrâ,
6/367.
[17]
M. Hassan, Teroris Membajak Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah 2007), H. 47-48.
[18]
Tinjauan lebih lanjut tentang ayat-ayat ini dapat dilihat dalam: Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah, (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), cet. II h. 197 dan seterusnya.
[19]
Muhammad Imârah (ed),
al-A’mâl al-Kâmilah li Muhammad ‘Abduh, h.
4, 490, 491, 492. Bandingkan M. Rasyid
Ridha, Tafsîr al-Manâr, 9/552. Menarik untuk
dicermati di sini bahwa al-Qur’an menggunakan kata wa qâtilûhum
hattâ lâ takûna fitnah (“perangilah mereka agar tidak ada
fitnah lagi”), bukan wa qâtilûhum hattâ yuslimû (“perangilah mereka sampai
mereka masuk Islam”) yang menunjukkan bahwa tujuan peperangan ini bukanlah karena
alasan perbedaan agama dan keyakinan (Lihat: Fahmî
Huwaydî, Muwâthinûn lâ
Dzimmyyûn, h. 256).
[20]
M. Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar