Selasa, 27 November 2012

HUBUNGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM


Islam adalah agama pembawa rahmat dan berwatak toleran.  Ia sangat mendambakan keadilan dan kedamaian serta menjunjung tinggi kemuliaan dan kebebasan manusia.  Dan, ini bukanlah slogan kosong tanpa bukti, melainkan prinsip dasar yang inheren dalam rancang-bangun Islam.


            Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an, Allah set. mengutus rasul-Nya, Muhammad saw. sebagai “rahmat bagi semesta alam.[1] Nabi Muhammad saw. sendiri menyatakan tujuan risalah Islam yang dibawanya sebagai, “Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”[2] Islam juga memberikan kepada manusia kebebasan menetukan pilihan, bahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan (akidah) sekalipun.  Allah swt. berfirman:

            Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al-Kahfi [18]: 29)

            Oleh karenanya, dakwah dalam Islam harus didasari atas, dan didorong oleh, penerimaan secara sadar yang dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, atau berdebat secara lebih baik, argumentatif dan objektif bukan berdasarkan paksaan dan tekanan.[3] Demikian pula, Islam sangat menganjurkan sikap adil dan ihsân, mengecam smeua bnetuk perbuatan keji danmunkar, serta upaya-upaya destruktif di atas muka bumi.[4] Oleh karena itu, sangat tidak logis bila Islam yang memerintahkan para pengikutnya utnuk bersikap saling mengasihi antarsesama manusia dan semua makhluk hidup, akan memerintahkan perang yang terus-menerus terhadap non-Muslim hanya karena perbedaan akidah.[5]

Islam dan Toleransi Agama

Dalam Islam, kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapat jaminan yang jelas dan pasti.  Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an telah secara jelas dan tegas menyatakan, “Lâ ikrâha fi and-dîn” [Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)].[6] Di sini, Islam melarang secara tegas berbagai bentuk pemaksaan untuk menganut agama tertentu.  Kebebasan manusi adalam memilih agama dan keimanan merupakan prinsip paling fundamental dari ajaran akidah Islam.  Secara demikian, penegasan Al-Qur’an tentang kebebasan manusia untuk beriman atau kufur tanpa paksaan merupakan prinsip yang tidak lagi dapat ditawar.  Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir,” demikian pernyataan Al-Qurân.[7]

            Hal ini karena masalah keimanan, keyakinan, dan keberagamaan agar benar dan dipercayai dengan yakin haruslah merupakan tindkan yang berdiri di atas, dan didasari oleh, penerimaan yang sadar, tulus dan tanpa paksaan.  Keimanan dan keyakinan yang hakiki tidak akan muncul jika landasannya adalah pemaksaan dan keterpaksaan.  Dengan kata lain, masalah keimanan adalah urusan dan komitme individuall, karenanya tak seorang pun dapat mencampuri dan memaksa komitmen individual ini.  Iman, sebagaimana ditekankan dalam teks dasar Islam dengan kata-kata yang jelas dan tak dapat diragukan, merupakan tindakan sukarela yang lahir dari keyakinan, ketulusan, dan kebebasan. [8]

Non-Muslim dalam Negara Islam
Jaminan Islam terhadap kebebasan beragama sebenarnya muncul dair pengakuan Islam atas kemajemukan atau pluralitas keberagamaan.[9]  Dalam praktiknya, jaminan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah saw. sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah.[10]  Dalam konstitusi tersebut, dijelaskan antara lain klausul tentang pengakuan eksistensi kaum Yahudi sebagai bagian dari kesatuan komunitas umat bersama kaum Muslimin di Madinah.[11]
            Bertolak dari kebebasan beragama yang dijamin oleh Islam ini pula, Khalifah II “Umar bin al-Khaththab memberikan jaminan keamanan bagi penduduk Baitul Maqdis yang beragama Kristen.  “Bagi mereka jaminan keamanan atas kehidupan, gereja-gereja dan salib-salib mereka.  Mereka tidak boleh diganggu dan ditekan karena alasan agama dan keyakinan yang mereka anut, “demikian kebijakan dan jaminan ‘Umar bin al-Khaththab bagi umat non-Muslim dalam negara Islam.[12]


Islam dan Hubungan Antarnegara
Sebelumnya, satu prinsip yang penting untuk dikemukakan di sini adalah: perang yang diperbolehkan dalam Islam (jihad) sebenarnya lebih bercorak defensif yang bertujuan semata-mata untuk membela diri dari serangan musuh.  Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai prisnsip ini sangatlah gamblang.  Allah swt. mengizinkan kaum Muslim untuk melakukan peperangan bilamana musuh-musuh Islam telah melakukan serangan terlebih dahulu.  Allah swt. berfirman:


Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.  Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. (QS. Al-Hajj [22]: 39)
            Demikian pula dengan firman-Nya:


Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Bawarah [2]: 190)
            Ayat di atas secara jelas dan gamblang menyatakan bahwa kendati peperangan diizinkan dalam Islam untuk tujuan membela diri, akan tetapi di dalamnya terkandung ancaman untuk tidak melampaui batas-batas diperbolehkannya peperangan, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.  Karena itulah Allah swt. Mengafirmasi ayat di atas dengan firman-Nya:


“Oleh sebab itu, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu”. (QS. Al-Baqaah [2]: 194)
            Menjaga perdamaian dan anti-peperangan sebenarnya merupakan watak dasar dari wajah Islam sesungguhnya.  Ia menjadikan pertumpahan darah dan peperangan sebagai bentuk pengecualian untuk membela diri dari serangan musuh; suatu pengecualian yang, kendatipun tidak menyenangkan, menjadi pilihan terbaik ketimbang menyerah kepada musuh tanpa perlawanan.  Inilah pengertian yang dapat kita petik dari fiman Alllah swt:

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci”. (QS. al-Baqarah [2]: 216)
            Dengan demikian, peperangan ofensif dalam bentuk dan dengan tujuan untuk menyerang musuh telebih dahulu merupakan tindakan yang tidak direstui Islam dan tidak mendapatkan dukungan pembenaran dari agama yang sangat menganjurkan perdamaian dan kedamaian ini.
            Jihad dalam Islam yang berarti suatu bentuk perang defensif sebagaimana dijelaskan di atas sebenarnya tidak terbatas dalam arti peperangan fisik semata (qitâl), tetapi juga mencakup jihad melalui harta, jiwa, pemikiran, serta sarana-sarana lain yang dapat membantu mematahkan gerak ofensif musuh (penjajah) dengan berbagai bentuknya.  Sebab, tujuan jihad adalah memlihara dan menjaga eksistensi masyarakat Muslim dan keyakinan yang mereka anut; suatu hak yang sah bagi umat mana pun untuk mempertahankannya sebagaimana ditegaskan oleh hukum internasional modern.
            Kemudian, dalam suatu peperangan, jika kaum Muslim mendapati pihak musuh berkeinginan untuk berdamai dan menawarkan gencatan senjata, maka Islam memerintahkan untuk menerima inisiatif damai itu, sebagaimana firman Allah swt:


Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.  Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Anfâl [8]: 61)
            Oleh karena itu, menjadi sangat logis bila Islam sesungguhnya senantiasa mengajak untuk menciptakan suatu tata kehidupan yang damai(ko-eksistensi/ al-ta’âyusy al-silmî) dengan umat dan Negara lain selama mereka menghormati eksistensi kaum Muslim.  Di sinilah kita mendapatkan mengapa Al-Qur’an sangat menganjurkan umat Islam untuk berinteraksi dengan umat lain atas dasar keadilan.  Allah swt. berfirman:


Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.  Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. al-Mumtahanah [60]: 8)
            Lebih jauh, Islam memerintahkan untuk selalu menghormati dan menjalankan perjanjian dan kesepakatan.  Terdapat cukup banyak nash al-Qur’an yang mengandung perintah ini, antara lain firman Allah swt:



“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpahmu itu).  Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.  Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya saru golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.  Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu denganhal itu.  Dansesungguhnya di hari kiamat kan dijelaskan-Nya kepadamu apayang dalhulu kamu perselisihkan itu”. (QS. Al-Nahl [16]: 91-92)
            Perintah Islam untuk senantiasa menepati dan memelihara perjanjian dan kesepakatan bukan hanya terbatas antarindividu, tetapi juga antar kelompok/negara.  Dalam hubungan antar kelompok/negara, Al-Qur’an berpesan untuk menepati perjanjian yang telah dibuat, sebagaimana firman Allah swt:


Dan jika meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka” (QS. Al-Anfâl [8]: 72)
            Prinsip ini bukanlah teori belaka, tetapi benar-benar telah dipraktikkan dalam kehidupan Islam melakui keteladanan Rasul-Nya saw. Misalnya, seperti riwayat Abu Râfî’[13] yang ingin masuk Islam tatkal bertmeu Rasulullah saat ia menjadi duta kaumQuraisy untuk menemui Nabi di Madinah.  Abu Râfî’ meminta Nabi utnuk memperkenankannya tinggal di Madinah bersama Nabi dan tidak kembali ke Mekkah. Namun, Nabimenolak permintaan itu karena beliau tidak ingin mengkhianati perjanjian dengan kaum Quraisy.[14]
            Demikianlah, uraian di atas semakin memperkuat bahwa Islama dalah agama yang menyebarkan perdamaian, toleransi dan ke-eksistensi antarindividu, golongan,dan negara. Tidak hanya sampai disitu, Islam pun mengajak umat manusia untuk bekerja sama demi terwujudnya cita dan harapan manusia dan kemanusiaan.  Prinsip Islam tentang dianjurkannya kerja sama lintas agama, ras, golongan, negara demi kebaikan dan kemaslahatan dapat dilihat, misalnya, dari keterlibatan Nabi Muhammad saw. Dalam peristiwa Half al Fudhûl, di mana satu perjanjian telah dibuat oleh beberapa suku Arab untuk membela seorang pria yang diperlakukan secara tidak adil oleh seorang pria dari suku Arab lainnya. [15]  Nabi berpartisipasi dalam perjanjian ini sebelum beliau dibangkitkan menjadi Nabi.  Ketika beliau mengingat peristiwa tersebut setelah diutus menjadi Nabi, beliau bersabda:



Sungguh dahulu aku pernah menyaksikan di kediaman Abdullâh bin Jad’ân suatu perjanjian/ pakta )Half al-Fudhûl).  Jika aku diminta untuk ikut serta dalam peristiwa itu lagi dalam Islam, aku pasti akan berpartisipasi”.[16]
            Pernyataan beliau ini dengan jelas menunjukkan keharusan bekerja sama dalam kebaikan dan keadilan,tanpa melihat apakah pihak lain yang bekerjasama itu adalah Muslim atau bukan,[17] sebagaimana yang dapat dipetik dari pernyataan al-Qur’an:



Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam bebuat dosa dan pelanggaran”.(QS. Al-Ma’idah [5]: 2)

Distorsi Penafsiran Ayat al-Qur’an/Penyimpangan Menafsirkan Ayat/
Sampai titik ini, semakin jelas kiranya bahwa Islam tidak membenarkan memerangi seseorang atau negara non-Islam hanya semata-mata karena perbedaan agama. Tetapi,beberapa ayat mengenai perang memang sering mengalami distorsi makna akibat pemahaman parsial dan tidak utuh.  Misalnya, ayat-ayat tentang perang yang terdapat dalam surah at-Taubah [9] ayat 5, 14, 29, dan 36 yang diambil secara sepotong-sepotong tidak jarang menggiring ke pemahaman bahwa Islam memerintahkan untuk memerangi siapa saja yang berbeda agama.  Padahal, bila ayat tersebut dicermati dan dibaca secara utuh, pemahaman ekstrem seperti ini menjadi jelas penyimpangannya karena bertentangan dengan karakteristik dasar Islam yang rahmah dan penuh damai.
Dalam ayat 5 surah at-Taubah, misalnya, potongan ayat yang artinya, “Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai”, harus dibaca dalam konteks yang utuh dan mengaitkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya, yaitu tentang orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian damai dan yang tetap setia dengan perjanjian damai. Perintah Allah adalah memerangi orang-orang musyrik yang berkhianat dan melanggar perjanjian damai.  Dengan demikian, orang-orang musyrik yang tetap setia dengan perjanjian damai dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslim, maka tidak boleh diperangi.  Orang-orang musyrik ini dapat bebas tanpa gangguan dan dijamin keamanannya selama masa ikatan perjanjian (ayat 4 surah at-Taubah).  Dan, dalam ayat 6 sesudahnya, Allah memerintahkan kepada Nabi saw. Dan kaum Muslim untuk memberikan jaminan keamanan bagi orang-orang musyrik yang meminta perlindungan.
Pada ayat 14 surah at-Taubah, orang-orang non-Muslim yang diperintahkan untuk diperangi adalah mereka yangmelanggar perjanjian damai dan berencana memerangi kaum Muslim, seperti yang dapat dibaca dengan jelas dari ayat sebelumnya (ayat 12 dan 13surah at-Taubah).  Demikian pula dengan ayat 29 dan 36 pada surah yang sama.  Dalam ayat 29, Allah memerintahkanuntuk memerangi orang-orang kafir (Ahlul-Kitab) karenaadanya niat permusuhan dalam dirimerekapada waktu itu untuk memerangi kaum Muslim.  Sementara dalam ayat 36, perintah perang kepadea kaum musyrik di bulan Haram, karena kaum musyrik itu telah berkhianat dan melanggar perjanjian dengan melakukan penyerangan di bulan Haram yang dalam tradisi Arab dilarang melakukan peperangan.[18]
Dalam konteks ini, ayat lain yang sering kali mengalami distorsi makna sehingga terkesan radikal adalah ayat 193 surah al-Baqarah dan ayat 39 surah al-Anfâl.  Dua ayat ini, yaitu firman-Nya, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada finah dan supaya kepatuhan seluruhnya semata-mata untuk Allah.
Ayat 193 surah al-Baqarah yang memerintahkan kaum Muslim untuk berperang di sini harus dibatasi untuk berperang melawan mereka yang lebih dahulu melakukan agresi, sebagaimana terbaca dalam ayat 190 sebelumnya:


Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menukai orang-orang yang melampaui batas”.
Kemudian, dalam ayat 192 selanjutnya, al-Qur’an menyatakan bahwa peperangan itu harus dihentikan bila pihak musih menghentikan serangan,”Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.”  Menurut pakar tafsir M. Quraish Shihab, bila ayat 190 berbicara tentang kapan peperangan diizikan (yaitu saat ada musuh yang lebih dulu menyerang), maka ayat 192 dan 193 menjelaskan kapan peperangan mesti dihentikan.
Tujuan dari aturan perang seperti ini tidak lain agar tidak timbul fitnah, yakni “agar kekuatan syirik kaum musyrik itu tidak menimbulkan fitnah yang dapat menyakiti kaum Muslim sebagaimana dulu mereka menyakiti kaum Muslim di Mekkah;”[19] dan agar “wa yakûna al-dînu Lillâh” (kepatuhan hanya semata-mata kepada Allah), yakni bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus ditaati, antara lain member kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan mengamalkan agama dan kepercayaannya karena masing-masing akan mempertanggungjawabakannya, sesuai firman-Nya, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kâfîrun [109]: 6).[20] sengaja disebarkan untuk memperburuk citra Islam.  Sebaliknya, Islam adalah agama damai yang penuh rahmat.  Bahkan, jika dicermati lebih teliti dari aspek kata Islam itu sendiri, secara kebahasaan, sebenarnya ada kesesuaian antara lafal Islam (îslâm) dengan kedamaian (salâm).  Dua lafal itu islâm dan salâm merupakan derivat yang berasal dari akar kata yang sama, yakni dari gabungan huruf sîn, lâm, dan mîm, yang berarti “selamat”dan “damai”.
Demikian pula, didalam al-Qur’an, Allah menyifati zat-Nya sebagai as-Salâm (Mahadamai).  Ucapan penghormatan umat Islam disebut ucapan salâm (kedamaian) untuk mengingatkan pengucapannya bahwa salâm atau kedamaian itu merupakan tujuan utama yang harus disebarkan dan tidak boleh sedikit pun lepas dari ingatan.  Lebih dari itu, setiap hari seorang Muslim diwajibkan paling kurang lima kali mengucapkan penghormatan Islam salâm di akhir setiap shalat; salâm kedamaian untuk sisi kanan dan kiri yang meliputi dua belahan bola bumi.
Demikianlah, jelas kiranya karakteristik Islam sebagai Agama yang damai dan penuh rahmat.  Dari itu,tak ada tempat dalam agama ini  bagi kekerasan dan radikalisme, atau fanatisme dan terorisme, serta berbagai bentuk kelaliman yang merusak dan menghancurkan kehidupan dan/ atau hak milik orang lain.  Terlebih lagi bila kita menyadari bahwa tujuan pokok dari ajaran Islam (maqâshid syari’ah) adalah menjaga danmemelihara hak-hak manusia yang paling mendasar, khususnya hak hidup,hak beragama, hakmemlihara akal, keluarga dan kepemilikan.  Tidaklah aneh karenanya bila Islam mengharamkan berbagai bentuk tindak kekerasan dan kelaliman kepada orang/golongan lain, sampai-sampai Islam menganggap kelaliman yang dilakukan kepada seorang manusia, sama artinya melakukan kelaliman kepada umat manusia secara keseluruhan, sebagai dinyatakan dalam Kitab Suci Islam:


Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.  Dan, barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 32)


[1] QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107.
[2] Hadits riwayat Bukhâri dalam al-Adab al-Mufrad.
[3] Lihat: QS. An-Nahl [16]: 82 dan 125 al ‘Ankabût [29]: 18; Yâsin [36]: 17; asy-Syûrâ [42]: 48; dan al-Ghâsyiyah [88]: 22.
[4] Lihat: QS. Al-Nahl [16]: 90.
[5] Lihat: M.. Zaqzouq, Haqâ’iq al-Islâmiyyah fi Muwâjahat Hamalât al-Tasykîk, (Cairo: Maktabah al-Syurûq al-Dawiliyyah, 2004, h. 33.
[6] QS. Al-Baqarah [2]: 256.
[7] QS. Al-Kahf [18]: 29.
[8] Lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 256 dan al-Kahfi [18]: 29.
[9] Pengakuan ini terbaca, misalnya, melalui pernyataan al-Qur’an dalam surah al-Mâ’idah [5]:48: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.  Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja.  Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap apa yang telah diberikan kepadamu.  Maka, berlomba-lombalah dalam kebaikan.  Hanya kepada Allah-lah kamu semuanya kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa-apa yang telah kamu perselisihkan.”
[10] Kajian dan analisis menarik mengenai kandungan “Konstitusi Madinah” dapat dibaca, antara lain, dalam M.S. Al-‘Awwâ, Fî an-Nizhâm as-Siyâs li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, (Cairo: Dâr al-Syurûq, 1989), h. 50-64.
[11] Pada poin ini, al-‘Awwâ melihat bahwa ko-eksistensi antara kaum Yahudi dan kaum Muslim, sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Madinah, erat kaitannya dengan konsep Islam tentang kewarganegaraan dalam sebuah Negara (al-muwâthanah) (Fî an-Nizhâm as-Siyâsi li ad-Dawlah al-Islâmiyyah, h. 55.  Bandingkan: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lû Dzimmiyyûn: Mawqi’ Ghair al-Muslimîn fî Mujtama’ Muslimîn, (Cario: Dâr asy-Syurûq, 1990), cet, 2, h. 124.
[12] Pernyataan ‘Umar bin al-Khaththab yang sangat populer ini dapat dilihat, antara lain, dalam al-Thabarî, Târîkh al-Thabarî, Maktabah Syâmilah, versi 2, 3/105.
[13] Hadits riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan al-Hakim.
[14] Lihat: Muhammad ad-Dasûqî, Ushûl al-‘Alâqât ad-Dawliyyah, h. 602-603 dalamM.H. Zaqzouq (ed.), At-Tasâmuh fi al-Hadhâharah al-Islâmiyyah, (Cairo: al-Majlis al-A’lâ li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004).
[15] Tentang Half al-Fudhûl, lihat antara lain: Ibnu Katsir, as-Sîrah an-Nabawiyyah, 1/259 (Maktabah Syâmilah).
[16] Al-Baihaqi, As-Sunan al Kubrâ, 6/367.
[17] M. Hassan, Teroris Membajak Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah 2007), H. 47-48.
[18] Tinjauan lebih lanjut tentang ayat-ayat ini dapat dilihat dalam: Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005), cet. II h. 197 dan seterusnya.
[19] Muhammad Imârah (ed), al-A’mâl al-Kâmilah li Muhammad ‘Abduh, h. 4, 490, 491, 492.  Bandingkan M. Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, 9/552. Menarik untuk dicermati di sini bahwa al-Qur’an menggunakan kata wa qâtilûhum hattâ lâ takûna fitnah (“perangilah mereka agar tidak ada fitnah lagi”), bukan wa qâtilûhum hattâ yuslimû (“perangilah mereka sampai mereka masuk Islam”) yang menunjukkan bahwa tujuan peperangan ini bukanlah karena alasan perbedaan agama dan keyakinan (Lihat: Fahmî Huwaydî, Muwâthinûn lâ Dzimmyyûn, h. 256).
[20] M. Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar