Kamis, 27 Desember 2012

Aplikasi Nahi Munkar

              Kemungkaran bisa terjadi di mana saja terutama apabila ada peluang dan ada potensi pada individu untuk melakukannya. Kemungkaran tidak dapat dihapuskan sama sekali di muka bumi karena hal itu menjadi bagian dari ujian keimanan bagi umat manusia. Bagi setiap individu Muslim, wajib hukumnya mencegah timbulnya atau berlanjutnya sebuah kemungkaran. Istilah nahi munkar mengandung dua pengertian. Pertama, berupaya agar tidak muncul kemungkaran dengan menutup rapat potensi-potensi yang memungkinkan terjadinya kemungkaran itu. Kedua, apabila sudah terjadi maka ada dua kemungkinan yang harus dilakukan, yaitu menghentikan atau mengubahnya dengan hal lain yang makruf. Dalam bahasa 'Athiyah ibn Muhammad Salim.
"Mengubah kemungkaran dapat dilakukan dengan dua cara, bisa dengan menghentikan, dan bisa pula dengan menggantinya dengan sesuatu yang makruf."
Makna kedua inilah yang akan dibahas terinci dalam tulisan ini karena sering disalahpahmi oleh sementara orang. Istilah yang digunakan merujuk pada Hadits yang disebut pada awal tulisan ini adalah "taghyirul munkar" dengan dua makna: menghentikan dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lain yang makruf. Sebagian ulama memahami bahwa pada taghyirul munkar itu sejatinya juga terkandung makna mencegah potensi terjadinya kemungkaran, yaitu mengubah sesuatu yang berpotensi menjadi tidak berpotensi pada kemungkaran, sehingga pemahaman ini tak membedakan antara taghyirul munkar dengan istilah nahi munkar, keduanya sama. Yang mana pun dipilih, substansinya adalah bagaimana mencegah terjadinya kemungkaran itu dan bila terjadi bagaimana menghentikannya sehingga tidak berlanjut atau semakin berkembang, dengan berbagai cara dan kemampuan yang dimiliki.
Ketentuan yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan melakukan nahi munkar (taghyirul munkar)
SBB:
1.      Didasari oleh iman yang sungguh-sungguh dalam rangka memperoleh ridha Allah, bukan karena tujuan lain semisal interes pribadi, faktor etnis, kelompok, dan sebagainya.
2.      Sesuai dengan petunjuk al-Qur'an dan as-Sunnah, karena setiap amal saleh harus berlandaskan pada niat yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk kedua sumber itu.
3.      Menggunakan cara yang bertingkat-tingkat sesuai dengan intensitas kemungkaran itu dengan tetap mendahulukan hikmah, kasih sayang dan lemah lembut. Banyak sekali contoh yang ditunjukkan Rasulullah saw. dalam hal ini, misalnya bagaimana perlakuan beliau terhadap seseorang yang kencing di sudut masjid karena ketidaktahuannya. Di sisi lain, beliau juga tegas dalam penegakan hukum tanpa pandang bulu, seperti ucapan dan tindakannya dalam penegakan hukum pada kasus pencurian, beliau berdiri dan berkhotbah, penggalannya sebagai berikut:
"Adapun sesudahnya, sungguh telah hancur umat manusia sebelum kamu karena mereka (tidak menegakkan hukum dengan adil), apabila yang mencuri para pembesarnya maka hukum diabaikan, tetapi apabila yang melakukannya orang kecil dan lemah hukum dijalankan. Demi Allah yang jiwa Muhammad ditangan-Nya, andaikata Fatimah anaknya Muhammdd yang mencuri pasti aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Persoalan yang sering muncul adalah ketika pemaknaan nahi munkar (taghyirul munkar) dimaknai atau diidentikkan dengan pedang, pentungan, senjata api, dan semacamnya. Padahal, seperti dikatakan oleh Dr. Mahmud Taufiq, mengubah atau mencegah kemungkaran bukanlah dengan demonstrasi unjuk kekuatan dengan membawa pedang, pentungan, dan senjata lainnya, tetapi dapat dilakukan dengan berbagai cara lain dan bentuk-bentuk yang elegan.[3]  Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan tingkatan atau cara melakukan aktivitas nahi munkar (taghyirul munkar) dengan tangan (kekuasaan), ucapan (nasihat), dan dengan hati.
Pencegahan dengan tangan yang menjadi wilayah orang yang memiliki kekuasaan seperti pemerintah kepada rakyatnya, atasan kepada bawahannya, guru kepada muridnya, orang tua kepada anaknya, dan seterusnya dapat dilakukan dengan pendekatan yang berbeda:

a.      ayah kepada anaknya atau suami kepada istrinya cukup langsung dilakukan pencegahan saat ia mengetahui kemungkaran itu terjadi dan membuanj atau menjauhkan instrumen yang dijadikan alat perbuatan mungkar jika ada.
b.      Wilayah publik, yaitu wilayah yang melibatkan orang banyak yang mungkin berlatar belakang berbeda-beda maka pendekatannya pun hams berbeda bergantung pada banyak hal, misalnya kewajiban pencegahan ada pada yang memiliki otoritas secara beijenjang, intensitas dampak bahaya yang ditimbulkan bagi masyarakat, tingkat pengetahuan kedua pihak (yang berbuat mungkar dan yang mencegahnya), termasuk efek yang mungkin timbul akibat dari pencegahan itu.

Aktivitas nahi munkar (taghyirul munkar) dengan lisan atau ucapan (ada yang memasukkan, tulisan) merupakan tingkat kedua di bawah pencegahan dengan kekuasaan. Ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam kategori pencegahan dengan lisan, antara lain:
1.      Menyampaikan, mengusulkan, mendesak kepada pihak berwenang (orang yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam wilayah tertentu) untuk menghentikan atau mengubah kemungkaran dengan tangan (kekuasaan) yang dimilikinya.
2.      Mengingatkan akan akibat buruk yang ditimbulkan oleh kemungkaran itu dengan misalnya membacakan ayat-ayat tentang azab Allah.
3.      Menyebarkan sebab-sebab potensial yang dapat menimbulkan kemungkaran, termasuk akibatnya dalam kehidupan masyarakat, dan cara-cara memelihara diri dari hal itu, baik dalam bentuk verbal maupun tulisan (grafiti).
4.      Menceritakan sejarah timbuinya Kerusakan yang terjadi di bumi akibat orang-orang yang berbuat kemungkaran dengan harapan tidak diulangi peristiwa itu.
5.      Mendoakan pelaku munkar agar mendapatkan hidayah, kembali ke jalan yang benar, agar masyarakat terselamatkan.

Sementara itu, melakukan aktivitas nahi munkar (taghyirul munkar) dengan hati (qalbu) lebih bermakna sebagai ketidaksukaan terhadap perbuatan munkar, bukan pencegahan dalam arti sebenarnya, karena tak ada tindakan atau ucapan yang menjadi indikator pencegahan. Akan tetapi, hal ini penting untuk memberi koridor bagi orang yang tak mampu melakukan pencegahan munkar dengan tangan dan lisannya. Dengan demikian, tidak ada seorang Muslim pun yang tidak mampu melakukan pencegahan kemungkaran, walaupun hanya dengan hati, karena ketidakmampuannya dengan cara lain. Bagaimana caranya? Paling minim adalah adanya terbetik dalam hati (kata hati) bahwa perbuatan munkar yang dilihatnya adalah perbuatan buruk, perbuatan yang tak pantas dilakukan oleh orang beriman. Lebih baik jika dia menunjukkan ketidaksenangan dalam hatinya lalu diekspresikan pada raut muka terhadap perbuatan munkar yang disaksikannya termasuk pada pelakunya. Walldhu Alain [darwis hude].

Selasa, 25 Desember 2012

Aplikasi Amar Makruf

Melakukan amar makruf merupakan suatu tindakan mulia yang sangat dianjurkan agar orang lain mendapatkan kebaikan. Jika setiap individu sudah menjalankan semua tindakan makruf, maka masyarakat pun akan menikmati kesejahteraan dalam arti seluas-luasnya. Dan apabila setiap anggota masyarakat menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya, maka akan tercipta keharmonisan dalam komunitas itu. Untuk menjaga agar keharmonisan ini ietap langgeng, maka setiap individu hams menjalankan amar makruf dan nahi munkar dalam bingkai iman yang kokoh.

Dalam menjalankan amar makruf tak ada jalan lain kecuali harus dimulai dari diri sendiri. Sebuah perintah tak akan berkesan kalau yang memerintahkan ser.diri tak melakukannya. Allah swt. sangat mencela orang-orang yang melakukan amar makruf, tetapi dia sendiri tak melakukan apa yang diperintahkannya itu. Perhatikan firman Allah dalarm Surah al-Baqarah [2]: 44:
"Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahalkamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?"
Ayat lain yang berkorelasi dengan ayat ini terdapat pada Surah ash-Shaff [61]: 3 sebagai berikut:
"Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
Sinyalemen ayat-ayat ini menegaskan bahwa ada orang dalam masyarakat yang aktif menjadi penganjur kebaikan tetapi dia sendiri tak melakukan apa yang dianjurkannya itu. Orang seperti ini dibenci oleh Allah dan sebenarnya dipertanyakan kewarasannya karena tidak memfungsikan akal yang dikaruniakan Allah padanya. Dengan demikian, aktivitas amar makruf mensyaratkan makruf itu harus terlebih dahulu dijalankan oleh penganjurnya.

Orang bijak sering mencontohkan bahwa dalam melakukan amar makruf dan juga nahi munkar ibarat batu yang terjatuh ke dalam air ia memberi efek gelombang meluas dari lapisan terdekatnya baru meluas sampai ke wilayah (ring) terluar. Seorang kepaia keluarga memulai melaksanakan hal-hal makruf dalam kehidupan sehari-hari, lalu memerintahkan kepada keluarganya serumah baru orang-orang sekitarnya dan kemudian masyarakat luas.

Setiap orang yang menjalankan amar makruf harus dengan cara-cara yang santun, lemah lembut, tidak berlebihan, dan tid?k menyakiti hati orang lain. Abul Abbas dalam kitabnya al-Mishbah al-Munir fx Gharib asy-Syarh al-Kabh menulis sebagai berikut:
"Siapa yang melakukan an.ar makruf maka hendaklnh melakukannya dengan makruf pula, yaitu dengan lemah lembut dan sekedar yang diperlukan (tidak berlebih-lebihan). "[1]
Menurut 'Athiyah ibn Muhammad Salim dalam Syarh al-Arba'ln an-Nawaiviyah bahwa amar makruf harus dilakukan dengan makruf pula, tidak dengan cara kekerasan, demikian juga nahi munkar harus dengan cara cara yang baik.[2] Terdapat beberapa ayat yang menjelaskan pentingnya melakukan amar makruf dengan cara-cara yang baik, persuasif, sar.tun, tidak dengan kekasaran dan kekerasan. Ayat-ayat itu antara lain terdapat pada Surah an-Nahl ([16]: 125)^suf [12]: 108; Ali 'Imran [3]: 159. JSurah an-Nahl [16]: 125 dengan lugas menyebutkan:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. "
Aktivitas amar makruf dan juga nahi munkar harus terus dibudayakan dalam kehidupan sosial. Harus selalu ada orang yang mengingatkan dengan cara menganjurkan kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan buruk agar semua anggota masyarakat hidup tenteram, sejahtera, dan bahagia lahir batin. Jika semua orang dalam komunitas masyarakat bersikap tidak mau tahu, individualistik, mengabaikan kewajiban sosial, maka masyarakat itu menjadi sakit (patologi sosial). Untuk mencegah patologi sosial, maka aktivitas amar makruf nahi munkar harus terus berjalan.

Kamis, 20 Desember 2012

Memahami Makna Makruf dan Munkar


Kata 'makruf terambil dari kata 'arafa yang berarti mengenal, mengetahui, memahami. Bentukan kata makruf bermakna sesuatu yang telah dikenal baik oleh masyarakat. Kata 'urf yang dikenal dalam terminologi hukum bermakna budaya yang telah diterima oleh masyarakat luas sebagai memiliki nilai kebaikan. Menolong, menghargai, bersikap adil, jujur, bersahabat, adalah contoh-contoh makruf yang telah menjadi budaya universal masyarakat beradab dan diterima sebagai nilai-nilai luhur kehidupan.

Menurut al-Jurjani, yang disebut makruf adalah semua yang baik menurut syara'. Sesuatu yang baik menurut syara' disebut makruf karena jiwa akan merasa tenteram padanya.[2] Semua yang diperintahkan oleh agama, baik perintah tegas (wajib) maupun anjuran (sunnah) membawa kebaikan pada pelaku dan lingkungannya. Pribadi norma1 jika melakukan suatu kebaikan akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika melakukan keburukan akan menimbulkan waswas, penyesalan, dan ketidaktenangan dalam batin orang itu. Rasulullah pernah bersabda,
"Kebaikan itu adalah berakhlak baik, sementara perbuatan dosa adalah apa saja yang menyebabkan waswas di dalam batinmu dan engkau merasa khawatir jika diketahui orang lain.”

Lawan kata dari makruf adalah munkar, yaitu sesuatu yang diingkari atau tak dikenal baik dalam masyarakat. Dalam kosakata bahasa Indonesia terdapat kata ingkar dan mungkar yang merupakan serapan dari bahasa Arab. Ibnu Manzhur dalam Lisan al-'Arab memberi penjelasan tentang term ini:
"Kata inkar dan munkar merupakan antonim dari makruf, yaitu semua yang dianggap buruk, haram, dan tercela oleh syara".
Seperti halnya istilah makruf, istilah munkar pun harus dikembalikan pada standar agama. Sebuah perbuatan disebut munkar apabila menurut agama (syara') hal itu haram atau tercela. Dengan demikian harus dapat dipastikan bahwa seseorang yang akan melakukan nahi munkar harus benar-benar mengetahui dan mampu mengklasifikasi perbuatan mana yang termasuk makruf dan yang mana tergolong munkar menurut informasi al-Qur'an dan as-Sunnah. Orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kategori makruf dan munkar menurut kedua sumber itu maka tentu tidak berkewajiban melakukan amar makruf nahi munkar.
Rangkaian aktivitas amar makruf dan nahi munkar mengandung dua aktivitas berbeda. Yang pertama, amar makruf, yaitu ajakan atau perintah melakukan kebaikan, baik yang berwujud sikap, ucapan, maupun perbuatan nyata. Sedangkan yang kedua, nahi munkar, yaitu upaya pencegahan atau perubahan terhadap kemungkaran. Kedua aktivitas ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, prioritas pertama adalah melakukan nahi munkar, karena mencegah atau mengubah kemungkaran itu lebih utama daripada menganjurkan kebaikan.
Di dalam masyarakat harus ada kesadaran bersama untuk senantiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi munkar. Salah satu superioritas umat Islam sehingga disebut sebagai "khaira ummah" adalah aktivitasnya beramar makruf dan nahi munkar yang didorong oleh iman kepada Allah yang kuat, sebagaimana dapat dipahami dari feurah Ali 'Imran [3]: 110. Mengapa? Karena, kalau tidak ada orang yang selalu mengingatkan beramar makruf nahi munkar, maka boleh jadi yang makruf menjadi munkar, atau sebaliknya, yang munkar menjadi makruf.

 Hal-hal yang makruf kalau terus ditinggalkan oleh masyarakat sangat boleh jadi menjadi munkar sehingga tidak lagi dikenal sebagai suatu kebaikan. Sikap tolong-menolong yang kental di masyarakat pedesaan menjadi sesuatu yang 'tak dikenal' oleh masyarakat di kota besar yang lebih individualistik. Atau, hal-hal munkar yang dilazimkan oleh masyarakat mungkin akan berubah menjadi makruf. Sudah tidak diketahui sejak kapan dimulai kebolehan mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohon di kebun orang lain. Meskipun diketahui buah itu milik orang yang punya kebun ketika jatuh dari pohon boleh diambil oleh siapa saja (telah menjadi 'makruf). Ibn al-Muqaffa', sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa:
"Apabila makruf sudah kurang diamalkan, maka ia menjadi munkar, danjika munkar telah menyebar maka ia menjadi makruf. "

Minggu, 16 Desember 2012

Dakwah Dengan Pedang

Islam mulai berkembang secara spektakuler sejak hijrah Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah, yang sebelumnya disebut Yastrib. Ajaran-ajaran agama ini cenderung mengarah kepada persamaan dan penghargaan pada harkat kemanusiaan, yang pada saat itu masih masih merupakan barang langka. Selain itu, yang menyampaikannya dalah figur yang dikenal dengan keagungan akhlak, kejujuran dalam bicara, dan kesederhanaan dalam hidupnya, yang semua sifat itu diakui memang ada pada diri Rasulullah saw. Tidak aneh, bila agama ini segera menarik perhatian banyak orang, terutama mereka yang selama ini terpinggirkan. Karena perkembangan yang luar biasa ini, Sayed Ameer Ali mengatakan bahwa agama yang dibawa Rasulullah saw. ini menyebar dengan sangat cepat di muka bumi, sehingga dinilai sebagai suatu gejala yang amat mengagumkan dalam sejarah agama-agama.[1] Islam setahap demi setahap menyebar dan di peluk oleh berbagai suku di Jazirah Arab. Pada sisi lain, sejalan dengan perkembangan Islam, komunitas yang didasarkan pada ajaran agama ini muncul dan mulai meluas sebagai suatu kekuatan politik. Dalam wakyang tidak terlalu lama, kekuatan ini segera mengejawantah menjadi negar Islam yang kuat.[2] Pada saat Rasulullah saw. wafat, Islam sebagai agama telah dipeluk oleh semua suku bangsa Arab dan secara politis seluruh Jazirah Arab telah pula berada di bwah kekuasaan pemerintahan Islam.
             
          Demikian hebatnya perkembangan Islam, baik sebagai agama maupun kekuatan politik. Hal yang sedemikian ini tak pelak lagi telah mengundang berbagai komentar, baik dari kalangan muslim maupun non-muslim. Di antara mereka ada yang mengemukakan pendapat positif, tetapi banyak pula yang ungkapannya cenderung mengarah pada hal yang negative. Yang bernada positif berpendapat bahwa semangat yang di bawa agama ini sungguh sangat besar, sehingga hal itu mampu membangkitkan dorongan untuk mengembangkannya. Karena Islam suatu bangsa yang sebelumnya tidak disebut dalam sejarah menjadi sangat popular dengan kekuatan politiknya dikalangan para sejarawan. Komunitas ini juga kemudian dikenal dengan peradabannya yang sangat mengagumkan, sehingga sanggup mewarnai kemajuan umat manusia. Inilah kesan positif dari kemunculan dan perkembangan Islam yang memberikan pengaruh hingga sekarang. Sedangkan yang bernada negative berpendapat bahwa dibalik perkembangan pesat yang memang mengagumkan itu, ada sesuatu yang dinilai kurang sedap dalam pandangan mereka. Hal yang sedemikian ini diakibatkan oleh perkembangan dan penyebarannya dipengaruhi dengan kuat oleh semangat penakhlukan yang mengandalkan ketajaman pedang. Denagn demikian berkembangnya Islam yang sangat spektakuler itu tidak lain karena disebarkan dengan kekuatan pasukan bersenjata. Inilah kesan yang kemudian selalu diembuskan dengan tujuan untuk mendiskreditkan keberadaannya. Logika sebaliknya dari pemikiran ini adalah bahwa bila saja perluasannya dilakukan dengan jalan damai, kemungkinan fenomena yang dapat disaksikan tidaklah seperti yang terlihat selanjutnya.
Islam disebarkan dengan pedang. Inilah pendapat sebagian orang, terutama mereka yang termasuk kelompok orientalis dan yang kurang senang kepada agama ini. Pendapat demikian tentu menuai beragam respons dari umat Islam sendiri dan juga dari mereka yang menilainya secara jujur. Sebagian besar pemeluk agama ini jelas tidak sependapat dengan ungkapan tersebut. Kendati demikian, ada baiknya juga bila diungkapkan bahwa dalam sumber-sumber utama ajaran Islam sendiri terdapat dalil-dalil tekstual yang melegitimasi kebenaran pendapat tersebut. Di antaranya adalah yang berasal dari hadits Nabi saw.riwayat Imam Bukhari yang berasal dari Abdullah bin Umar bin khathab, yaitu:
Abdullah bin Muhammad al-Musnadi berkata; ketika member tahu kami, bahwa Abu Rawh al-Harami bin Umarah berkata bahwa Syu’bah menerima berita dari Waqid bin Muhammad yang berkata, “saya mendengar ayahku berbicarqa tentang (berita dari) Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Saya diperintahkan untuk mememrangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka mengerjakan itu (semua) maka mereka terjaga dariku darah dan harta mereka hanya dengan kebenaran Islam, dan perhitungan mereka (diserahkan) kepada Allah.” (HR.Al-Bukhari)[3]

Dalam hadist lain riwayat Imam Ahmad yang juga berasal dari Ibnu Umar disebutkan hal yang senada, yaitu:
Muhammad bin Yazid, yaitu al-Wasithi, memberitahu bahwa Ibnu Tsauban membertahu dari Hassan bin ‘Athiyah dari Abi Munib al-Jurasyi dari ibnu Umar yang berkata Rasulullah saw. bersabda: “Saya diutus dengan pedang sehingga Allah disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan rezeki ku ditetapkan di bawah bayangan panahku, serta telah ditetapkan kehinaan dan kerendahan bagi yang menentang perintahku, dan siapa saja yang meniru (perilaku) suatu umat maka ia termasuk kelompoknya. (HR. Ahmad)[4]
             
       Kedua hadits tersebut mengisyaratkan bahwa Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyebarkan Islam dengan pedang, yaitu dengan memerangi mereka yang tidak mau menerima Islam sebagai agama sampai mereka memeluk agama ini, mengakui tidak ada tuhan selain Allah, mengakui bahwa Muhammad itu rasul Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat sebagaimana yang telah ditetapkan. Siapa saja yang menentang dakwah ini, maka ia wajib diperangi. Inilah makna yang tersurat dari hadits-hadits tersebut. Berdasar kedua pesan ini,tidak aneh kalau muncul anggapan bahwa Islam itu disebarkan dengan pedang.
           
         Secara harfiah, hadits-hadits tersebut memang menyiratkan makna seperti yang telah dipaparkan, yaitu penyebaran Islam dengan memerangi orang yang tidak mau memeluknya. Meskipun begitu, kesan ini tidak dapat dijadikan sebagai pedoman secara umum dalam penyebaran agama. Hal yang sedemikian ini disebabkan oleh adanya fakta lain yang berbeda dari yang tersurat dalam pesan Rasulullah saw. sendiri adalah wahyu Allah yang tercantum dalam surat al-Baqarah [2]: 256, yaitu:
Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu sapa saja yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, mka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Al-Baqoroh [2]: 256)

Ayat ini turun disebabkan adanya peristiwa yang berkaitan dengan Hashin dari golongan Anshar, yang berasal dari Bani Salim biun A’uf. Ketika itu ia mempunyai dua orang anak yang memeluk agama Nasrani. Kemudian Allah menurunkan ayat ini sebagai jawabannya, yaitu bahwa umat Islam (termasuk Rasulullah saw) tidak diperbolehkan untuk memaksa seseorang untuk memeluk Islam.[5]
            
        Informasi ini menjelaskan bahwa memaksa anak sendiri untuk memeluk Islam saja tidak diperbolehkan. Rasulullah saw. dengan sangat elegan, berdasar wahyu ini, menyampaikan bahwa agama menyerupakan hak setiap orang untuk menentukannya, sehingga umat Islam tidak punya hak untuk memaksa orang lain memeluknya. Logika sebaliknya, atau dalam istilah ilmu ushul al-Fiqh disebut dengan mafhum al-Mukhalafah, adalah kalau memaksa anak sendiri saja tidak diperbolehkan, apalagi memaksa orang lain atau memeranginya untuk tujuan yang sama. Dengan demikian berdasar ayat ini dapat dikatakan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang adalah jelas tidak benar. Rasulullah saw. tentunya tidak akan memberikan informasi yang bertentangan dengan wahyu Allah tersebut.
            
         Perlu juga diperhatikan bahwa ayat yang melarang adanya pemaksaan untuk memeluk Islam merupakan ayat Madaniah, yaitu yang turun sesudah hijrah Rasulullah saw. pada saat itu, umat Islam sudah merupakan suatu kekuatan yang tangguh dan tidak takut menghadapi musuh. Fakta ini menunjukkan bahwa Islam ternyata mengajarkan agar pemeluknya tidak bersikap sewenang-wenang ketika mereka dalam keadaan kuat. Kekuatan pasukan yang dimiliki umat  Islam bukan ditujukan untuk mempertahankan diri dan membela mereka yang tertindas karena keyakinannya. Menurut Marcel A. Boisard, selain tujuan di atas, kandungan ayat ini juga ditujukan kepada umat non-muslim agar mereka juga tidak memaksakan keyakinan kepada siapa saja atau lebih jelasnya bila ada orang yang ingin memeluk Islam, maka mereka pula tidak diperbolehkan untuk memaksanya untuk membatalkan niatnya untuk memeluk Islam. Dengan logika ini, adalah wajar bila Islam menganjurkan agar umatnya menyiapkan kekuatan untuk melindungi siapa saja yang tertindas kelompok lain dan menderita karena keyakinan atau agamanya.[6]
           
         Itulah fakta-fakta yang diungkapkan dalam al-Qur’an. Namun, bagaimana halnya dengan pesan Rasulullah saw. yang terkandung dalam dua hadits tersebut. Apakah keduanya, yang secara tersurat bertentangan dengan kandungan ayat, dianggap tidak benar dan tidak dapat dijadikan dasar dari munculnya anggapan tidak benar dan tidak dapat dijadikan dasar dari munculnya anggapan seperti yang telah diungkapkan, padahal hadits-hadits itu dinilai shahih dan dapat dijadikan sebagai dalil  hukum. Di sini secara sekilas tampak adanya pertentangan antara ajaran al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw. dalam haditsnya, padahal kedua sumber itu diyakini berasal dari Allah juga, sehingga adanya pertentangan  di antara keduanya merupakan sesuatu yang sulit diterima. Berkaitan dengan kasus semacam ini, biasanya para ulama menyelesaikan dengan mempromikan tuntunan-tuntunan yang terkesan bertentangan itu. Para ulama dan cendikiawan Muslim, seperti Muhammad Quhub[7]  dan Muhammad As-sayyid Ahmad al-Wakil,[8] dalam rangka memberikan penjelasan tentang hal tersebut, menyebutkan beberapa persoalan yang dihubungkan dengan masalah-masalah yang mesti dipahami terlebih dahulu. Persoalan-persoalan itu adalah seperti yang dikemukakan berikut ini.
            
        Masalah pertama yang mesti diperhatikan adalah bahwa Islam merupakan agama dakwah. Ajarannya  menganjurkan agar setiap pemeluknya selalu mengajak orang lain untuk mememluk agama ini. Oleh karena itu, sejak kemunculannya, Rasulullah saw., para sahabat, tabi’in, dan generasi-generasi  berikutnya samapai sekarang selalu berupaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada mesyarakat yang  belum memeluknya. Tuntunan Islam menegaskan bahwa ajakan untuk memeluk agama ini mesti dilakukan dengan cara yang bijaksan, nasihat yang baik, dan diskusi yang dapat mewncerahkan. Pesan ilahi yang menegaskan tuntutnan ini adalah firman-Nya yang tercantum dalam Surah an-Nahl [16]: 125, yaitu:
Ajaklah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, dan nasehat (pelajaran) yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.an-Nahl [16]:125)
           
      Ajaran Islam melarang sama sekali pemaksaan terhadap non muslim untuk memeluk agama ini, sebagaimana telah diungkapkan pada surah al-Baqarah ayat 256 yang dikutip sebelumnya. Selain itu, fakta sejarah juga menunjukkan hal demikian, seperti yang diungkapkan oleh Marshall G.S. Hodgson bahwa umat Kristiani Najran, suatu daerah yang terdapat di Yaman, siap untuk tunduk pada pemerintah di Madinah, namun mereka bersedia untuk memeluk Islam dan tetap pada keyakinan agamanya. Ternyata Rasulullah saw. meluluskan keinginan mereka dan memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk tetap memeluk agama mereka semula.[9] Thomas W. Arnold, seorang orientalis yang banyak menulis buku tentang Islam, mengungkapkan bahwa fakta adanya orang Yahudi dan Nasrani di Negara-negara Islam sejak dahulu sampai kini merupakan bukti yang tidak dapat diragukan bahwa Islam tidak pernah memaksa orang memeluk agamanya dengan kekuatan pedang.[10]
            
          Masalah kedua adalah bahwa umat Islam pada saat itu merupakan komunitas yang baru tumbuh. Kehadirannya dinilai sebagai duri bagi suku-suku bangsa yang terdapat di jazirah Arab. Keberadaannya tidak pernah terlepas dari adanya kekhawatiran terhadap keinginan pihak lain untuk menumpas dan menghapusnya dari muka bumi. Umat Islam dituntut untuk selalu siaga mempertahankan eksitensinya dari rongrongan yang  berasal dari mereka yang tidak menyukai kehadirannya di muka bumi. Mereka mesti selalu siap menghadi pmusuh, yang kapan saja dapat dating untuk menyerang. Oleh karena itu, tidak salah bila umat ini terpaksa memakia kekerasan dengan mengangkat senjata untuk membela diri. Dengan dasar ini, Marcel A. Boisard menyebutkan bahwa fenomena kemunculan Islam ditandai dengan tiga konsep utama dalam hubungan dengan pihak luar yaitu  takwa, siap berperang dan kebesaran jiwa.[11] Dengan demikian, kondisi dan danya tantangan dari luar merupakan factor utama dari selalu siapnya umat Islam pada awl perkembngannya dengan senjata. Dengan kata lain kesiapan mereka dengan pedang atau senjata adalah dalam rangka mempertahankan diri dari serangan musuh. Kalupun terjadi penakhlukan dengan senjata yang dilakukan pasukan Islam terhadap suatu daerah, dan kemudian terjadi konversi dari masyarakat yang ditakhlukan, dan mereka memeluk Islam, maka itu semua berjalan dengan sukarela, bukan karena adanya tekanan, paksaan atau apa pun namanya.
             
        Masalah ketiga adalah bahwa Islam sesungguhnya meruopakan agama yang mencintai perdamaian dan bukan agama yang mengandalkan penyebarannya dengan perang. Kata salam yang artinya damai, selamat atau keselamatan dan sejahtera atau kesejahteraan banyak disebut dalam al-Qur’an. Rasulullah saw. sendiri selalu mengajak umat lain untuk memeluk Islam dengan cara damai. Ajakan untuk hidup berdampingan dalam suasana damai selalu digaungkan. Pesan-pesan beliau tentang perdamaian ini juga terekam dalam hadits-haditsnya, di antaranya:
Rasulullah saw. bersabda, sesungguhnya Allah menjadikan salam sebagai cara penghormatan bagi umat kita, dan juga sebagai tanda kesejahteraan (ketentraman”) bagoi orang-orang dzimmi (non-muslim yang tinggal di daerah kekuasaan Islam) di lingkungan kita.”
             
            Pada sisi lain, kenyataan tentang adanya peperangan dalam perjalanan sejarah Islam merupakan fakta yang tidak dapat di sangka. Perang memang diperintahkan dalam Islam seperti yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun yang dipesankan Rasulullah saw. sendiri dalam berbagai haditsnya. Kendati demikian, perlu dipahami bahwa perang itu hanya diperintahkan ketika umat Islam dalam keadaan terancam. Muhammad as-Sayyid Ahmad al-Wakil menegaskan bahwa Islam tidak melaksanakan perang penghancuran. Karena itu, menurut pendapatnya, perang dalam Islam itu ada dua macam. Yang pertama adalah perang yang kejam dengan tujuan utama untuk menguasai, membanggakan diri, memperbudak, menghina dan memonopoli hasil suatu bangsa. Perang semacam ini merupakan sesuatu yang tidak disukai dan Allah secara tegas melarangnya. Pelarangannya disebabkan oleh kenyataan bahwa perang seperti ini hanya merupakan pellanggaran terhadap hak-hak manusia.[12] Pendapat demikian juga dikemukakan oleh Sayid Sabiq yang mengatakan bahwa perang yang bersifat ekspansif atau perluasan daerah, perluasan pengaruh, motivasi mengumpulkan harta, atau menambah kekuasaan yang menyebabkan, mengumpulkan harta, atau menambah kekuasaan yang menyebabkan kemusnahan suatu umat atau peradaban yang berkaitan dengan kemanusiaan adalah terlarang.[13] Yang kedua adalah perang yang tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, membebaskan mesyarakat dari pemaksaaan dalam berakidah, untuk melindungi kesinambungan daklwah Islam, dan untuk mempertahankan diri dari serangan atau ancaman musuh. Perang seperti ini adalah yang diperintahkan dalam Islam.[14] Pada kenyataannya, banyak masyarakat atau bangsa yang tidak menyukai perang, namun karena keadaan yang memaksa seperti adanya serangan dari luar yang bertujuan merebut tanah air atau untuk menguasai mereka, maka tidak ada jalan lain kecuali mesti melakukan perang pula. Tuntunan ilahi yang menegaskan prinsip ini antara lain:
Dan perangilah jlan Allah orang-orang yang menerangi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-Baqoroh [2]:190)
             
      Dalam ayat lain ditegaskan bahwa perang ditujukan untuk menghilangkan ancaman dan hal-hal yang tidak sejalan dengan aturan Allah. Ayat tentang tuntunan ini adalah:
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi,dan agama (ketaatan) itu menjadi hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap  orang-oarang yang zalim.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 193)
             
         Mempertimbangkan kenyataan di atas, tampaknya diperlukan analisis secara historis dan sosiologis terhadap kandungan pesan yang tercantum dalam dua Hadits Rasulullah saw. yang dikutip di atas. Secara kesejarahan, dapat diketahui bahwa pada saat Rasulullah saw. mengungkapakan pesannya, hal itu di latarbelakangi oleh suasana yang tidak kondusif bagi kesinambungan eksitensi Islam dan umatnya. Pada masa itu, berbagaii kelompok atau golongan di sekitar Madinah selalu mengintai dan mencari kesempatan untuk menghancurkan Islam. Mereka tidak senang bila umat yang baru muncul ini berkembang dan menjadi kuat. Selagi masih lemah, komunitas ini mesti dimusnahkan, demikian kira-kira pendapat mereka. Karena itulah, mereka selalu berupaya setiap ada kesempatan untuk menghancurkannya, ketimbang di kemudian hari menjadi pesaing atau bahkan menguasai mereka. Fakta sejarah mengungkapkan bahwasannya pada saat itu memang terdapat ancaman-ancaman yang mesti terus mewaspadai oleh masyarakat yang baru tumbuh ini. Ancaman pertama datang dari suku penduduk Mekkah yang belum merelakan keberadaan Nabi Muhammad saw. dan umatnya, walau mereka sudah berhijrah ke Madinah. Penduduk Mekkah masih tetap merasa khawatir bahwa peran mereka dalam masalah kepamimpinan, social, maupun ekonomi akan tereduksi atau bahkan hilang diambil oleh kekuatan baru tersebut. Ancaman kedua yang dinilai juga sangat mengkhawatirkan dating dari kelompok Yahudi yang tinggal di sekeliling Madinah. Yang terakhir ini palng tidak mempunyai dua alas an, yaitu mereka tidak ingin melihat Nabi Muhammad sebagai penyelamat, seperti yang disebut dalam kitab suci, dan adanya keinginan untuk melestarikan dominasi ekonomi mereka di Madinah. Ancaman ketiga dating dari orang Nasrani yang selalu menyebut Rasulullah saw. sebagai Nabi palsu. Sedang ancaman keempat dating dari penduduk Madinah yang kelompok sebagai kaum munafik yang selalu merongrong dari dalam. Inilah fenomena yang dikenal pada masa tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi dari ungkapan Rasulullah saw. itu adalah karena danya ancaman serius yang selalu mengintai dan mencari kesempatan untuk menghancurkan Islam dan umatnya.
            
      Pada saat lain, ketika ancaman itu dinilai tidak signifikan dalam kehidupan bermasyarakat, Rasulullah saw. selalu menganjurkan agar umat Islam selalu bertindak adil, jujur, dan berbuat baik pada siapa saja yang tidak memusuhi atau memerangi. Allah menegaskan ajaran ini dalam surah al-Mumtahanah [60]:8-9, yaitu:
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, sebagai kawanmu. Siapa saja yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS.Al-Mumtahanah[60]:8-9)

Sesudah Rasulullah saw. wafat, ancaman terhadap Islam dan umatnya terus saja muncul. Hanya saja pada kurun waktu ini, upaya tersebut dilakukan oleh dua kerajaan besar di sekitar jazirah Arab, yaitu kekaisaran Romawi Timur dan Persia. Kedua kerajaan besar ini tidak senang dengan kemajuan Islam sebagai suatu kekuatan politik baru di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu, keduanya selalu mencari kesempatan yang baik untuk mengalahkan kekuatan Islam yang dipandang sebagai pesaing baru bagi keduanya yang sangat mungkin berpotensi sebagai ancaman bagi keberadaan kedua imperium tersebut.
             
        Menghadapi situasi seperti ini, umat Islam selalu dituntut untuk siaga setiap saat. Keadaan demikian tentu membuat mereka merasa selalu terancam dan menjadikan mereka tidak tenang. Salah satu upaya untuk mewujudkan ketentraman hidup adalah dengan menghilangkan ancaman yang  selalu menggelisahkan itu. Cara terbaik yang mesti dilakukan adalah dengan lebih dahulu menyerang musuh yang dinilai memiliki potensi untuk menyerang. Tampaknya, doktrin “menyerang adalah pertahanan diri yang paling baik” juga sudah dilakukan oleh umat Islam pada masa itu. Dalam rangka mewujudkan ketenangan hidup inilah, perang diperbolehkan dalam Islam.
             
          Dari uraian di atas, dapat dipahami dengan jelas ketidakbenaran anggapan bahwa Islam itu disebarkan dengan pedang. Hadiots Rasulullah saw. yang mengarah pada pengertian seperti itu mesti dipahamai secara kontekstual, yaitu dalam suasana yang bagaimana pesan itu diungkapkan. Lebih lanjut, dalam suasana yang berbeda dan umat Islam tidak sedang berada dalam ancaman, maka kandungan dari pesan itu tentunya tidak dapat diwujudkan. Pada masa kini, di saat bangsa-bangsa dunia menghendaki perdamaian dengan tidak saling mengganggu antara satu dengan yang lain, maka doktrin tentang perang mesti tidak lagi mengemuka. Sebaliknya, yang mesti ditegaskan adalah ajaran  tentang kedamaian, ketentraman, dan keselamatan yang juga banayk diungkapkan baik dalam Al-Quran maupun pesan Rasulullah saw. Sendiri dalam berbagai haditsnya.

Dakwah Rasulullah saw. untuk mengajak umat manusia ke jalan Allah dilanjutkan oleh kaum Muslim sejak masa sahabat, tabi’in, sampai sekarang. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan persamaan dan penghargaan pada harkat  dari berbagai bangsa di dunia. Dalam praktiknya, kaum muslim selalu mengajak umat lain untuk memeluk Islam. Bila mereka berkeberatan, umat Islam tetap memberikan kebebasan pada mereka untuk tetap memeluk agamanya semula. Hanya saja, bagi mereka ini ditetapkan untuk membayar jizyah (pajak perlindungan). Dengan adanya kebebasan ini, tidak sedikit bangsa non-Arab yang dengan senang lebih memilih berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam ketimabang dikuasai oleh kelompok lain yang cenderung memaksa mereka untuk memeluk agama sang penguasa. Inilah salah satu alas an dari perkembangan Islam yang sangat spektakuler secara politis.

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamain. Ajaran ini merupakan ketetapan yang telah digariskan Allah dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, tuntunan-tuntunannya juga akan mengarah pada terwujudnya kedamaian dan ketenteraman di dunia. Dengan arah yang demikian doktrin yang mengacu pada tindak kekerasan atau yang menjurus pada penindasan umat melalui kekuatan senjata, tanpa dibarengi alasan yang kuat pasti dilarang dan tidak ditolerin. Dengan demikian anggapan bahwa Islam identik dengan kekerasan adalah tidak benar. [hamdani anwar]



[1] Lihat Sayed Ameer Ali, Api Islam, terj. HB Yasin, (Jakarta : Bulan Bintang,1978), h.352.
[2] Lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London : The MacMillan Press Ltd,1974), h. 120.
[3] Imam al-Bukhari, shahih al-Bukhari, jilid 1, h.42.
[4] Imam Ahmad, Musnad Ahmad,jilid 10, h.404.
[5] Qamaruddin Shaleh et al, Asbab an-Nuzul, (Bandung: Diponegoro, 1974),h.81.
[6] Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,1680), h.273.
[7] Seorang cendikiawan Muslim dari Mesir yang banyak menulis buku untuk menjelaskan ajaran Islam dan menjawab kritikan para orientalis yang menilai ajaran dan umatnya secara keliru. Di anatara karyanya adalah syubhathawl al-Islam. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul jawaban terhadap alam pikiran barat yang keliru tentang Islam.
[8] Seorang ulama dari Saudi Arabia yang juga banyak menulis buku dan menjelaskan tentang ajara-ajaran Islam. Di antara bukunya yang berkaitan dengan masalh perang ini adalah hadza al-din baina Jahl Abna’ih wa Kaidi A’da’ih. Kemudian buku ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Agama Islam: Antara Kebodohan Pemeluk dan Serangan Musuhnya.
[9] Marshall G.S.Hodgson, The Venture of Islam,(Chicago: The university of Chicago press,1988), vol.1, h. 195.
[10] Thomas W.Arnold, The Preaching of Islam, (London:Constable,1913), h.57.

[11] Marcel A. Boisard,Humanisme dalam Islam, terj.HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang,1980), h.272.
[12] Muhammad as-Sayyid Ahmad al-Wakil, Agama Islam:antara kebodhan pemeluk dan serangan musuhnya, terj. Burhan Jamaluddin,(Bandung: Al-Ma’rif ,1988), h.57
[13] Sayid Sabiq,Unsur-unsur kekuatan dalam Islam, terj. Muhammad Abdai Rathomy,(Surabaya: Ahmad Nabhan,1981), h. 272.
[14] Muhammad as-Sayyid al-Wakil, Agama Islam: Antara Kebodohan Pemeluk dan serangan Musuhnya, h.57.